Tuan Hwang terduduk diam di depan pusara tanpa jasad di pemakaman. Sebuah nisan bertuliskan nama Hwang Se Hwa yang dilaporkan telah meninggal saat putrinya itu akan dikirim ke Hokdo untuk menjalani masa hukumannya.
Sesal terus menerus menyayat-nyayat hatinya. Dua puluh lima tahun lalu, dia pernah bertengkar dengan sang istri terkait pengumuman kelahiran Hwang Se Hwa sebagai seorang pria. Guna menjaga rahasia itu tetap aman, Tuan Hwang bahkan tega membunuh semua tabib yang membantu proses kelahiran anak mereka. Mungkin itulah kenapa mereka harus menerima takdir yang begitu kejam, yakni kematian putri kesayangan mereka. Namun, seberapa menyesal pun dirinya, Se Hwa tak akan pernah kambali.
Di sisi lain, di dalam istana, pangeran seakan-akan menutup mata dengan berita kematian Se Hwa. Dia terus menyibukkan diri dengan berlatih dan berburu. Satu-satunya kesalahan yang membuat penyamaran Se Hwa terbongkar adalah adanya penyakit sialan itu. Penyakit yang disebarkan oleh siluman rubah. Setidaknya, itulah yang dia yakini sampai saat ini. Itu pula yang membuatnya bersumpah akan membunuh siluman rubah itu guna membalaskan dendam Se Hwa.
Bekerjasama dengan Min Ju, pangeran terus berlatih mempersiapkan dirinya agar bisa membunuh Jeong Guk. Bahkan, tak hanya Jeong Guk, dia akan menumpas habis orang-orang yang ada di desa itu, desa di mana siluman itu tinggal dan diberikan perlindungan.
Pangeran telah banyak mengumpulkan informasi terkait dengan keberadaan siluman itu, juga kisah-kisah kenapa siluman itu bisa ada di sana, juga kelemahan utama mereka. Dendam telah membuatnya jadi bergitu terobsesi.
Suara dentingan pedang masih terdengar meski malam sudah menggelar selimutnya. Rakyat Joseon sebagian besar sudah terlelap dan bergelut dengan mimpi-mimpi mereka. Akan tetapi, sang pangeran masih berlatih dengan pengawal pribadinya. Emosi membakar jiwanya sehingga yang ada di pikirannya saat ini adalah; pengawal itu si siluman rubah.
Pertarungan tak sebanding. Bagaimanapun, rasa emosi dan keinginan yang kuat untuk membalas dendam selalu memberikan dorongan kekuatan yang jauh lebih besar. Itu kenapa pangeran seakan-akan tidak pernah kehabisan tenaga. Sang pengawal terdesak. Pedangnya terlepas dari tangan dan tubuhnya terjerembab ke tanah, ujung pedang pangeran tepat ada di lehernya. Nyaris saja pedang itu menebas lehernya.
Pangeran menatap puas. Sesaat kemudian dia menarik pedangnya dan bergerak menjauh. Kasim mendakat untuk mengambil pedang itu.
"Siapkan air, aku mau mandi."
Sang kasim mengiyakan sambil membungkuk. Segera dia berlari ke istana pangeran untuk memberi tahu para pelayan. Sementara itu, pangeran mengayun langkah meninggalkan tempat latihan diiringi para prajuritnya.
"Kita akan memulai perburuan beberapa hari lagi," ucapnya kepada Min Ju.
Sahabat kecil Se Hwa pun mengiakan. Mereka sudah lama menyusun rencana bagaimana cara menangkap siluman rubah itu. Sekarang sudah saatnya mereka menyerang. Serangan pertama mereka waktu itu gagal. Anak buah pangeran semuanya tak kembali dari hutan. Jadi, bisa dipastikan mereka semua telah mati. Jiwa mereka semua pasti telah dimakan oleh rubah itu. Setidaknya itulah anggapan mereka. Walau memang benar mereka mati di tangan Jeong Guk, tapi tidaklah benar jika siluman rubah itu memakan jiwa-jiwa mereka.
Sampai di kediamannya, pangeran pun merendam dirinya di tempat permandian pribadinya. Min Ju telah kembali ke rumahnya. Pangeran memejamkan mata. Bayangan Se Hwa menghampirinya. Kerinduan dan rasa bersalah mengusiknya. Harusnya dia bisa menyelamatkan gadis itu. Ya, jika dia mau berusaha lebih sedikit lagi untuk meminta kepada baginda, mungkin Se Hwa tak harus dikirim ke Hokdo dan dia tak harus meninggal di hutan larangan.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Se Hwa telah mati dan pangeran butuh seseorang untuk dipersalahkan. Pangeran menghela napas. Dia menenggelamkan diri di air untuk beberapa saat. Hampir sejam lamanya dia berendam. Setelah itu, barulah dia kembali ke kamarnya.
Sampai di sana, seorang kasim dan seorang teliksandi sudah berdiri di depan pintu. Pangeran memberi kode kepada kasim agar pintu dibuka dan membiarkan teliksandi itu masuk. Sementara kasim itu sendiri harus tetap berjaga di depan pintu guna mengawasi situasi.
"Katakan ada apa?" Pangeran berjalan melewat pria mata-mata itu. Dia mendudukkan dirinya di atas bantal duduk empuk yang menopang pantatnya.
"Maafkan aku, Yang Mulia," kata mata-mata itu setelah memberi hormat. "Tapi, saya melihat Nona Se Hwa di Tuman."
"Apa maksudmu!" Sang Pangeran menggebrak meja. Berita itu cukup mengejutkannya.
"Ampuni hamba, Yang Mulia. Tapi, itulah yang saya saksikan. Dia bersenang-senang di perayaan kelahiran dewi rubah bersama seorang pemuda."
"Tapi ... bagaimana mungkin?" Pangeran terdiam. Ucapan teliksandinya tak mungkin salah. Dia adalah teliksandi terbaik. Apa pun yang dilaporkannya hampir tak pernah meleset.
Mata-mata itu berusaha meyakinkan agar pangeran menerima laporannya dan setuju dengan temuan besarnya. Setelah berbicara beberapa saat, pangeran pun menyuruh teliksandinya untuk pergi. Sementara dia sendiri bersiap untuk tidur.
Pangeran tak bisa memejamkan mata. Dia menatap langit-langit kamar. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya setelah mendapatkan laporan yang begitu mengejutkan. Kalau benar demikian, lalu siapa pemuda itu? Apa pemuda itu yang menyelamatkan Se Hwa dari hutan larangan?
Pangeran bangkit dari tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan menyusup pergi dari istana. Bagaimanapun, dia akan mencari tahu sendiri siapa pemuda itu, dan apakah benar Se Hwa masih hidup? Jika iya, kali ini, apa pun resikonya, dia akan menjadikan Se Hwa istrinya.
Pangeran membuka jendela kamarnya. Kegelapan menyambut matanya. Dia berdiam diri sejenak, kemudian menulis selembar surat untuk kasim agar membantunya merahasiakan kepergiannya.
Pangeran melompati pagar, lalu berjalan menyusuri taman di sekitar istananya. Gerakannya begitu senyap dan hati-hati. Dia pergi untuk mengambil kuda kesayangannya. Tak berapa lama, dia sudah ada di pintu gerbang ibu kota. Para penjaga gerbang ibu kota sudah cukup hafal dengan kebiasaan pangeran pergi ke rumah pelacuran untuk minum-minum. Itulah kenapa pangeran dibiarkan pergi begitu saja tanpa rasa curiga.
Pangeran memacu kudanya tanpa mempedulikan cuaca dingin dan malam yang masih menenggelamkan Joseon dalam kesunyian. Pangeran bergerak cepat, seakan-akan dia akan kehilangan Se Hwa jika dia tak berangkat malam itu juga. Rasa ingin membuktikan kata teliksandinya, mungkin hampir sebesar rasa rindunya kepada Se Hwa. Karena itulah, dia tak tahan lagi jika harus menunggu hingga esok tiba.
Sementara itu, di gunung rubah, Se Hwa hampir kewalahan menerima serangan Jeong Guk yang begitu brutal. Di bawah cahaya lampion yang beterbangan di udara, juga beratapkan bintang dan rembulan malam, Se Hwa mengerang di atas hamparan bunga-bunga ketika Jeong Guk mereguk kenikmatan atas dirinya.
Keringat membanjir di tubuh keduanya yang telanjang. Sejoli itu seakan-akan terbang ke nirwana mereguk candu surgawi yang tak ingin mereka hentikan. Jeong Guk terus memacu gerakannya, meraup sebanyak mungkin rasa yang di sajikan di bawahnya. Gerakan-gerakan penuh cinta dan begitu b*******h terekam dalam memori kedua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu.
Se Hwa menjerit frustasi untuk kesekian kalinya. Sesuatu yang begitu nikmat melesak menghujamnya di bawah sana sehingga dia tak bisa menahan diri untuk tak menjerit dan mencakar tubuh Jeong Guk dengan membabi buta.
Jeong Guk memejamkan mata merasakan perih di punggungnya karena tergores kuku kekasihnya, tapi rasa perih itu justru kian membangkitkan gelora nafsunya untuk menghujam lebih dalam dan lebih cepat. Se Hwa menggelepar tatkala berada di puncak kenikmatannya. Jeong Guk pun mengalami hal yang sama. Dia mengerang tertahan, lalu merendahkan kepalanya guna menikmati bibir Se Hwa yang tak henti mendesah. Gadis itu begitu nikmat.
Setelah entah berapa lama mereka bertarung dalam peluh kenikmatan, keduanya pun terkulai lelah. Jeong Guk tersenyum menatap kekasihnya. Enggan penyatuannya terlepas, dia tetap mempertahankan Se Hwa dalam pelukan dan himpitan kakinya. Se Hwa hanya bisa tersenyum melihat kelakuan pria itu.
"Kita kembali ke kamar, ya," kata Jeong Guk.
"Iya. Tapi, bagaimana caranya jika kau tak mau melepaskan yang di bawah sana?"
Jeong Guk terkekeh-kekeh pelan, lalu keduanya menghilang dari sana dan berakhir di tempat tidur yang empuk di kamar Jeong Guk.
"Ah, aku selalu lupa kalau kau rubah. Siluman rubah," kata Se Hwa.
Mendengar hal itu, Jeong Guk dengan sengaja kembali menggerakkan penyatuan mereka. Se Hwa menggelinjang.
"Aku harap kau tak akan lupa juga kalau nafsu dan tenagaku masih tersimpan cukup besar untuk membuatmu menggelepar sepanjang malam dan hingga pagi menjelang," ucapnya. Se Hwa pun hanya bisa merona malu dan kembali menikmati setiap hentakan Jeong Guk atas tubuhnya karena dia juga menyukainya.