Part 25

1033 Kata
"Se Hwa!" Jeong Guk melesat untuk bisa menahan kepergian gadis itu. Se Hwa tak lantas mau berhenti, dia mengempaskan tangan Jeong Guk dengan sangat kasar. Keinginannya menerbangkan lampion hilang sudah. "Se Hwa, dengarkan aku." Jeong Guk memaksa gadis itu untuk menghadapnya dan menatap kedua mata indah sang gadis. "Dengarkan aku, aku berhutang budi kepada warga desa ini. Kalau saja enam ratus tahun lalu leluhur mereka tidak merawatku dan menyelamatkanku, aku pasti sudah mati. Jadi, mengertilah. Jangan bertindak terlalu kasar kepada mereka." "Bahkan meski mereka menghina dan memfitnahku?" "Iya. Karena aku tau kau bukan kau yang bersalah." Plak! Se Hwa langsung menampar pipi Jeong Guk. "Bukan begitu cara membalas budi, Sialan! Jika kau begitu ingin membalas budi, menikah saja dengannya!" Se Hwa mendorong tubuh pria itu, lalu kembali melarikan diri. Jeong Guk terdiam. Sementara Se Hwa berlari sambil menangis. Dia berhenti di tepian sungai Tuman. Lonceng berdentang entah dari mana, Se Hwa tak mempedulikannya. Lampion-lampion beterbangan menghiasi langit dan aliran sungai. Se Hwa menyeka air matanya. Dia yang begitu tegar ketika menjadi seorang jendral berakhir menjadi sosok gadis yang cengeng dan suka menangis. "Kenapa aku jadi seperti ini?" Gadis itu bergumam. Beberapa lampion lewat di aliran sungai menjadi fokus perhatiannya kini. "Apakah begini rasanya jatuh cinta? Aku jadi begitu lemah. Bukankah harusnya aku tak boleh jatuh cinta? Aku harus kembali ke jamanku." "Siapa yang melarangmu jatuh cinta?" Se Hwa menoleh kepada sosok pria yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Maafkan aku," bisik pria itu, lalu mencium pipinya. Se Hwa menunduk. "Lihat ini." Jeong Guk melepaskan satu pelukannya, lalu menengadahkan tangannya. Sebuah lampion ada di telapak tangan pria itu. "Aku tak membutuhkannya jika kau lebih memilih membela orang lain daripada kekasihmu sendiri." "Aku hanya tidak tau bagaimana cara menyalahkan Song Nam." Se Hwa membalik badan, lalu menatap Jeong Guk dengan garang. "Kau bilang umurmu berapa? Hah? 600 tahun! Dan, kau tidak tau bagaimana cara menyalahkan orang untuk membela kebenaran." "Masalahnya tak semudah itu, Se Hwa. Dia perempuan." "Aku juga perempuan! Dan, aku kekasihmu!" "Dia ...." Jeong Guk terdiam. Sesaat kemudian dia menunduk dalam. "Enam ratus tahun lalu, saat para manusia memburuku, memanah tubuhku hingga aku sekarat, kakek buyut gadis itu melindungiku dengan nyawanya, lalu neneknya merawatku sampai sembuh." Jeong Guk kembali diam, kemudian dia mengangkat wajah dan menatap gadis di depannya. "Aku berhutang budi pada keluarga itu, lebih dari siapapun, Se Hwa. Jadi, meski buyut mereka sudah meninggal, aku telah bersumpah akan melindungi keluarga itu, selalu. Tak peduli mereka benar atau salah." Kali ini Se Hwa yang terdiam. Dia mencoba memahami apa yang dikatakan pria itu. Bukankah itu janji yang sangat berat. Lalu, sampai kapan dia akan menjadi pelindung dari para manusia itu. Lagipula, hati manusia begitu mudah berubah. Tidak mungkin mereka selamanya baik, sebab sebaik-baiknya manusia, selalu ada sisi jahat dalam diri mereka. Ditambah lagi ada kekuatan besar yang mendukung mereka, bukankah itu artinya mereka bisa melakukan apa pun dengan hal itu? "Bodoh!" Se Hwa bergumam, lalu kembali menghadap sungai. Hatinya campur aduk. Satu-satunya hal yang bisa memutus sumpah itu adalah dengan menghabisi semua keturunan buyut itu dan itu jelas tidak mungkin. "Se Hwa ...." "Aku ingin menerbangkan lampion itu." Gadis itu mengalihkan pembicaraan. Jeong Guk pun tersenyum, lalu mengajak Se Hwa berdiri. Dia mengambil lampionnya. Tangan Jeong Guk memeluk pinggang kekasihnya sebelum mereka menghilang dari sana. Keduanya muncul kembali di puncak bukit rubah, di dekat tebing yang menghadap ke desa. "Kenapa kita di sini?" "Kita akan menebangkannya dari sini agar bisa menjadi yang pertama mencapai surga." "Curang." Se Hwa tertawa. Jeong Guk pun tersenyum, lalu bersama-sama mereka menerbangkan lampion mereka. "Apa kau yakin ini akan berhasil? Bahwa dewi rubah akan membuat cinta kita abadi?" "Tentu saja. Jika tidak, aku akan mengobrak-abrik kahyangan." "Jangan membual. Apa kau ingin dikurung seperti ibumu?" Senyum Jeong Guk makin manis. Dia mengusap rambut Se Hwa. "Jadi, kau sudah tau, ya." "Tentu saja. Kau pasti putra sang dewa dan dewi rubah itu. Karena itulah kau tinggal di sini. Lalu, karena kau ditinggalkan saat masih bayi, kau tak tau care melindungi diri, dan pemburu hendak mengangkapmu." "Kau gadis yang cerdas." "Kalau aku tidak cerdas, aku tak akan jadi jendral kerajaan dan tak akan membuatmu jatuh cinta." Sejenak Se Hwa menyentuh perutnya, lalu dia kembali bicara, "Apa itu sebabnya mutiara rubahmu memiliki kekuatan yang berbeda dari apa yang kuketahui?" "Memang apa yang kau ketahui?" "Bahwa siluman rubah selalu mencari jiwa-jiwa manusia untuk menambah kekuatan mutiara rubahnya agar rubah itu bisa berubah jadi manusia." Jeong Guk mengulurkan tangannya saat ada sesuatu yang terbang. Rupanya itu sekuntum magic bloom flower terbang ke arahnya. Pria itu menyematkan bunga cantik itu ke telinga Se Hwa. "Ini bunga apa?" Gadis itu meraba telinganya. Rasanya dia belum pernah melihat bunga itu, baik di jamannya di abad 21 atau pun di jaman Joseon yang masih begitu alami. Bunga itu di d******i warna biru dengan putik sari warna kuning bercahaya. Gradasi warna biru muda dan biru tua pada tiap kelopaknya memantulkan cahaya yang muncul dari putiknya. Helaian bunga itu begitu lembut menyerupai helaian bunga teratai. Wanginya semerbak memabukkan. "Itu namanya Magic Bloom. Bunga itu hanya mekar seratus tahun sekali dan sangat jarang. Pohonnya hanya ada di sini. Besok akan kubawa kau melihatnya. Ini bunga ajaib yang bisa mengabulkan keinginannmu, tapi hanya ketika jatuhnya bunga itu mengenaimu. Dalam artian, bunga itulah yang memilih harapan siapa yang ingin dia kabulkan." "Jadi, karena kau menangkapnya, maka itu artinya kau bisa mengajukan permohonan apa pun?" "Huum. Dan, aku meminta agar bunga itu mengabulkan satu keinginan terpenting dalam hidupmu nanti. Apa pun itu." "Kau memberikannya untukku?" Se Hwa menatap haru. Jeong Guk pun memeluk gadis itu. "Aku bahkan sudah memberikan nyawaku kepadamu, Se Hwa." "Mutiara rubahmu, ya." Jeong Guk mengangguk. Bunga magic bloom menghilang begitu saja. Se Hwa meraba telinganya. Ketika gadis itu akan bertanya, Jeong Guk lebih dulu berbicara, "Jangan pikirkan apa pun. Bunga itu akan menghilang ketika dia telah menyimpan keinginan yang kau sampaikan." Se Hwa pun terdiam. Mereka sama-sama menatap lampion yang diterbangkan oleh warga desa yang makin naik ke udara. Pemandangan begitu indah malam itu. Langit yang dipenuhi bintang, juga cahaya ribuan lampion di udara dan di aliran sungai Tuman yang juga terlihat dari puncak bukit. "Terima kasih," bisik Se Hwa membuat Jeong Guk tersenyum dan mencuri kecupan di bibir manisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN