Pagi hari menjelang. Terjadi hal yang menggemparkan di istana ketika semua orang di istana mendapati kediaman permaisuri yang porak poranda seperti diterjang badai. Pagi itu, semua berkumpul di sana. Termasuk juga Se Hwa dan Min Ju yang berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Pangeran tampak cemas melihat permaisurinya terluka parah. Sementara Se Hwa yakin kalau itu karena semalam dia berhasil melukai ular besar itu dengan pedang dan panah. Luka-luka itu membuktikan jika, permaisuri benar-benar ular siluman itu?
"Apa yang terjadi?" Pangeran bertanya sesaat setelah tabib selesai mengobati permaisuri.
Wanita itu mengerang. Hebat juga ular itu karena tidak mati terkena serangan Se Hwa. Permaisuri menatap Se Hwa sebentar, lalu mengalihkan pandangannya kepada pangeran.
"Semalam ada orang-orang tak dikenal menyerang ke sini. Mereka menutupi semua tubuhnya dengan pakaian serba hitam." Permaisuri menjelaskan. Dia berpura-pura tidak tahu kalau Se Hwa dan teman-temannya-lah yang menyusup ke tempat itu.
Mendengar perkataan permaisuri, pangeran marah besar. Dia pun memerintahkan untuk mencari tahu siapa yang berani melakukan penyerangan di dalam istana. Perintah hukuman mati diturunkan dan segera disahkan oleh raja di dalam sidang istana. Penyerangan itu tadak main-main. Keluarga kerajaan benar-benar merasa terancam. Bagaimana kalau penyusup itu menyerang keluarga kerajaan yang lain?
Selepas memastikan perpindahan permaisuri kek kediamannya yang baru dan memastikan keadaannya, pangeran pun meninggalkan wanita itu agar dia bisa beristirahat. Namun, sebelum dia pergi, Se Hwa telah lebih dulu berpamitan.
Se Hwa menyusuri jalan setapak menuju ke istananya. Tak ingin tertinggal jauh dengan Se Hwa, pangeran segera menyusulnya.
"Se Hwa." Dia memanggil.
"Iya, Yang Mulia." Se Hwa memberi hormat kepadanya.
"Ikutlah denganku." Pangeran pun berjalan mendahului. Se Hwa mengerutkan dahi, antah apa yang diinginkan pria itu, Se Hwa tak mengerti. Namun, wanita itu memutuskan untuk mengikutinya dari belakang.
Sampai di tepian kolam, pangeran meminta seluruh dayangnya untuk tetap ada di tempat mereka. Begitu juga dayang-dayang Se Hwa. Setelahnya dia mengajak Se Hwa untuk masuk ke paviliun.
"Kemarilah, ada yang ingin aku ceritakan kepadamu," ucapnya.
Se Hwa duduk di sebelah pangeran sesuai permintaan laki-laki itu. Pangeran berdiam diri sejenak memikirkan apa yang akan dia katakan. Semalam pangeran memang tidak mendatangi kediaman wanita itu karena dia merasa begitu bingung berhadapan dengan Se Hwa. Namun, sekarang dia telah memutuskan untuk mengakui semuanya. Dia tak ingin jadi pengecut. Bukankah, Se Hwa juga telah menjadi istrinya.
"Se Hwa." Pangeran bicara pelan. Awalnya dia menundukkan wajah, lalu perlahan mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap Se Hwa. Wanita itu hanya bisa memandang bibung.
Setelah menimbang beberapa saat, pangeran duduk berlutut di hadapan Se Hwa membuat wanita itu terkejut.
"Pangeran ini ...."
"Maafkan aku," ucap pria itu. "Setelah melihat keadaan permaisuri hari ini, aku jadi mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau penyusup itu menyerangmu?"
Se Hwa menghela napas. "Tak akan ada yang menyerangku. Kenpa meminta maaf karena sesuatu yang tak perlu."
"Bukan itu." Pangeran mempertahankan posisinya. "Aku ingin minta maaf atas kematian ayahmu."
Mendengar itu, Se Hwa pun membeku. Dia penasaran akan lanjutan kata-kata pangeran, tapi ada rasa tak sanggup juga dalam dirinya untuk menerima sebuah kebenaran.
"Aku ... aku pun tak mengira kalau ayahmu akan meninggal saat itu. Aku memang memberinya perintah untuk memimpin pasukan untuk melumpuhkan siluman rubah itu, tapi aku tak mengira dia meninggal di tangan siluman itu."
Se Hwa terdiam. Dia sedang mencerna kata-kata sang pangeran. "Lalu, malam itu bukankah seluruh orang di kediaman keluargaku meninggal karena bisa ular, adakah hal yang ingin kau jelaskan mengenai hal ini?"
Pengeran masih menunduk. Se Hwa menatapnya kesal.
"Di istana ini, bukankah ada tempat yang menjadi tempat persembunyian ular-ular itu. Katakan kepadaku apa kau dan ular itu bekerjasama? Kau dan siluman ular yang menghabisis seluruh keluargaku, kan? Lalu, kalian menuduhkannya kepada Jeong Guk."
"Se Hwa ...."
"Katakan saja yang sejujurnya, Pangeran. Aku sudah lelah hidup dalam kebohongan. Lihatkah karenamu aku membunuh begitu banyak nyawa di desa itu. Nyawa anak-anak, wanita, orang tua yabg tak berdosa dan tak mampu melakukan perlawanan. Untuk apa? Hanya untuk memenuhi ambisimu memilikiku? Kau cemburu kepada Jeong Guk? Benar begitu?"
Pangeran tak menjawab. Dia masih berlutut dan menunduk. Se Hwa menghela napas. Dia bangkit dari duduknya dan bermaksud meninggalkan pria itu. Namun, pangeran bangkit dan langsung memeluknya dari belakang.
"Jangan pergi," bisiknya. "Aku tau aku salah, kau boleh membenciku, tapi jangan tinggalkan aku, kumohon."
"Apa kau tau aku tak mencintaimu?"
Pria itu mengangguk.
"Kau tau aku mencintai rubah itu?"
"Aku tahu saat kau memanahnya malam itu. Waktu itu ... waktu itu Jeong Guk menangis. Dia menerima seranganmu dan kebencianmu sambil menangis."
Se Hwa tergugu. Kebenaran itu baru diketahuinya hari ini. Malam itu dia tak tahu kalau Jeong Guk sampai menangis ketika dia memahnya.
"Ja-ja-di ...." Perempuan itu tergagap. Dia pun melepaskan pelukan pangeran dengan paksa, lalu berlari pergi dari sana diikuti dayang dan pengawalnya.
Pangeran terdiam. Dia merasa hancur. Cinta telah membutakan nuraninya. Cinta yang buta dan terlalu dalam telah melumpuhkan logikanya.
Sementara itu, Se Hwa terus berlari makin jauh meninggalkan dayang-dayang dan pengawal mereka. Dia terus menangis. Rasa sesal dan rindu yang dia tahan terus menghujam dadanya. Seakan-akan ada yang menghimpit dadanya, dia merasa sangat kesakitan. Se Hwa memukul-mukul dadanya sendiri.
"Jeong Guk ...," lirihnya, lalu terus berlari melompati pagar istana. Se Hwa terus berjalan tak tahu arah. Hingga kakinya kelelahan dan tubuhnya lemas, barulah dia berhenti. Sebuah tebing terpampang di hadapannya. Dia terjatuh di tanah dan terduduk di bawah pohon sambil menangis.
"Jeong Guk ... Jeong Guk!" Dia berteriak sehingga menimbulkan gema. Tapi, semua hanya kesia-siaan. Sekeras apa pun Se Hwa memanggil, Jeong Guk tak akan pernah datang.
Wanita itu terus menangis hingga matanya tampak bengkak. Dia enggan beranjak dari sana. Bahkan, saking lelahnya dia pun terlelap sambil bersandar di batang pohon itu.
Kupu-kupu keemasan terbang melintasi lembah, seberkas cahaya putih mengikutinya. Lalu, kaduanya memutari tubuh Se Hwa yang terlelap. Tubuh itu pun melayang di tengah lingkar cahaya yang berpendar di sekitarnya.
Jarak dua ratus meter dari sana ada sebuah gubuk yang ditinggalkan pemiliknya. Tempatnya sedikit kotor, tapi dua cahaha itu menyulapnya menjadi bersih kembali. Se Hwa ditidurkan di ranjang.
Kupu-kupu itu berubah menjadi sosok nenek tua yang selalu melinungi Se Hwa semala ini, lalu cahaya putih itu berubah menjadi sosok pria tampan yang selalu dirindukan Se Hwa.
Nenek itu menatap Se Hwa yang masih terlelap. Selanjutnya dia menoleh kepada Jeong Guk.
"Kembalilah besok pagi, sebelum semua orang terbangun dan ayam-ayan jantan berkokok."
"Aku mengerti, Nek. Terima kasih atas kebaikanmu."
Nenek itu pun berubah lagi menjadi kupu-kupu dan terbang. Jeong Guk menatap wajah Se Ha yang kelihatan letih. Matanya sebab setelah menangis hampir seharian. Jeong Guk mengulurkan tangan guna merapikan anak rambut wanita itu, tapi semua sia-sia sebab dia hanya sesosok bayangan.
"Se Hwa ...." Pria itu sedikit kecewa, tapi dia tak menyerah. Jeong Guk menyatukan kedua bibir mereka. Seosok yang awalnya hanya bayangan itu, perlahan terbentuk sebagai sosok yang berwujud. Jeong Guk pun memanfaatkan kesempatan itu untuk melumat bibir kekasihnya.
Energi dari mutiara rubah rupanya mengembalikan dirinya dalam wujud yang bisa disentuh. Tanpa sepengetahuan wanita itu, Jeong Guk melepaskan kerinduannya kepada wanitanya.