Part 15

1548 Kata
Hwang Se Hwa menanggalkan pakaian prianya di sebuah penginapan. Dia pun berganti rupa menjadi sosok gadis cantik. Dia mengenakan cadar putih bersulam bunga persik. Kemudian, dia dan Naya, sang pelayan meninggalkan penginapan itu untuk melanjutkan perjalanan ke sungai Tuman. Di perjalanan, sesekali mereka berpapasan dengan prajurit istana yang berhasil menangkap beberapa warga yang sakit dan menolak untuk diisolasi. Se Hwa merasa iba melihat semuanya. Bagaimana prajurit menyeret orang-orang sakit itu, membuatnya sakit hati. Setelah menempuh perjalanan tiga hari lamanya, mereka pun sampai di salah satu desa yang terkena wabah paling parah. Ditambah semua warga yang sakit dialokasikan ke sana membuat tempat itu semakin mengerikan. Jerit kesakitan dan erangan rakyat yang sakit membuat siapa pun bergidik ngeri. Prajurit menendang dan memukuli mereka yang mencoba melarikan diri. Beberapa perawat masih bertugas di sana dan berusaha menyembuhkan mereka meski kemungkinan sembuh sangat tipis. Namun, dedikasi mereka patut diacungi jempol. Mereka tak peduli meski akhirnya nyawa mereka melayang karen menangani kasus penyakit mengerikan itu. Karena orang-orang sehat dilarang masuk ke sana, Hwang Se Hwa terpaksa sengaja berinteraksi dengan penduduk yang sakit yang diseret oleh prajurit untuk di isolasi di tempat itu. Se Hwa dan Naya pun diisolasi di sana agar tak menulakan virus yang mungkin telah menjangkitinya akibat bersentuhan langsung dengan pasien. Prajurit di sana memakai pakaian pelindung khusus agar tubuhnya tak bersentuhan langsung dengan pasien. Namun, masih ada juga di antara mereka yang akhirnya jatuh sakit. Jika prajurit yang terjangkit, mereka diharuskan untuk langsung bunuh diri sebelum sakitnya tambah parah dan berpotensi menjangkiti orang lebih banyak lagi. Se Hwa dan Naya mematung, menatap kondisi desa itu yang begitu memprihatinkan. Mayat-mayat bergelimpangan dan hanya tertutup kalin seadanya. Lalat beterbangan mengerumuni mayat yang sudah menebarkan bau busuk. Jerit penduduk kelaparan berebut bubur yang hanya tersisa sebagian. Stok beras dan gandum di sana sudah sangat menipis. Seorang pria memuntahkan isi perutnya di hadapan Se Hwa dan Naya. Naya menutup mulutnya, guna menahan diri agar tidak ikut muntah. Akan tetapi, Se Hwa justru mendekati pria itu dan membantunya untuk duduk beristirahat. Se Hwa meraba denyut nadi pria itu yang semakin lemah. Di divisi militer, selain taktik perang, para prajurit juga dibekali ilmu medis. Itu penting karena ketika mereka berperang, mereka juga diwajibkan bisa mengobati diri sendiri saat mereka terjebak dan tidak ada bantuan medis di sekitarnya. Se Hwa menatap pasien itu. Dia mencoba mengira-ngira apa yang sebenarnya menjangkiti warga. Selama perjalanan menuju desa itu, dia sudah mempelajari penyakit itu dari beberapa kajian medis yang pernah dilaporkan ke pemerintah. Naya memperhatikan apa yang dilakukan tuan mudanya. Meski dia ketakutan, tapi dia sudah bersumpah setia. "Sebenarnya, bagaimana penyakit ini bisa menjangkitimu? Apa karena kau berinteraksi dengan orang-orang yang sakit?" Se Hwa menatap iba pria di sebelahnya. Pria itu menggeleng. "Aku bukan warga desa ini dan belum pernah bertemu satu pun dari mereka yang sakit. Beberapa hari lalu, aku pergi ke hutan di sana untuk mencari kayu bakar. Lalu, setelah pulang dari hutan tubuhku tiba-tiba saja gatal, perih, dan melepuh." Pria itu bercerita sambil menunjuk hutan yang ada di sisi utara desa. Se Hwa menatap ke arah rimbunan pohon-pohon di sana. Yang nampak dari tempatnya sekarang hanya pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sepertinya dia harus masuk menyusuri desa itu jika ingin masuk ke dalam hutan. Akan tetapi, apa tidak ada prajurit yang berjaga di sana? "Jadi, apa kau pikir, ada sesuatu yang menggigitmu di tengah hutan yang membuatmu gatal-gatal?" "Tidak." Pria itu menggeleng. "Selain nyamuk, tidak ada binatang apa pun yang menggigitku." "Jadi mungkin bukan binatang yang jadi perantara penyebaran penyakitnya. Rasanya ini bukan karena virus yang disebarkan oleh nyamuk." Se Hwa bergumam. Dia terkejut saat pria itu kembali muntah-muntah. Gadis itu pun berusaha membantunya dan mengatarkannya ke tempat pengobatan. Se Hwa dan Naya menepekur menatap puluhan anak kecil yang mengeluh kesakitan. Dua diantaranya tampak meregang nyawa. Tubuhnya memberontak, bergelojotan melepaskan jiwa dari badannya, lalu terkulai tak bergerak. Isak tangis tak lagi terdengar dari orang tua yang duduk di sebelahnya. Sepertinya mereka sudah siap dengan segala kemungkinan itu. Lagipula, sebentar lagi mereka akan berkumpul kembali diakhirat karena tempat itu akan dibumihanguskan. Kedua gadis itu saling berpandangan, lalu mendekati seorang perawat yang pergi meninggalkan ruangan itu. Perawat tadi tampak menyeka air matanya. Dia juga sudah terjangkit penyakit itu. Tubuhnya dipenuhi bercak-bercak gatal yang memerah. Namun, kondisinya masih cukup baik untuk bisa membantu pasien yang lainnya. "Nona." Naya memanggil perawat itu. Gadis perawat menoleh, lalu alangkah terkejutnya dia tatkala mengenali siapa orang yang memanggilnya. "Naya ...." Gadis itu menangis. "Sung Jihye, kau ...." Naya pun ikut menangis. "Bagaimana bisa kau ada di sini, lalu ini? Kau terjangkit?" "Aku dikirim kemari oleh ketua tabib istana bersama beberapa tim medis lainnya. Lalu, mereka mengurung kami semua di sini. Mengatakan kalau kami akan menjadi pemicu menyebarnya wabah itu karena kami semua sudah berinteraksi dengan banyak pasien. Tapi, menurutku bukan itu penyebab utamanya. Aku mencurigai hal lain yang jadi perantara." "Lalu, menurutmu apa yang jadi penyebabnya? Apa kalian semua menyelidikinya?" Se Hwa memotong pembicaraan mereka. Gadis bernama Jihye itu pun menoleh ke arahnya. "Dia siapa, Naya? Aku belum pernah melihatnya? Dan, apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian juga terjangkit penyakit aneh ini?" "Kami tidak terjangkit dan kami datang ke sini untuk menyelidiki apa yang terjadi di sini. Jadi ceritakan saja semua yang kau ketahui." Jihye menatap Naya seolah-olah meminta persetujuan. Naya pun mengangguk. Sesaat kemudian, Jihye mulai menceritakan beberapa kejanggalan yang terjadi di sana. Ada kalanya angin tiba-tiba berhembus dari arah hutan, lalu warga yang terjangkit jadi semakin banyak. Itu membingungkan. Apakah angin itu pengebabnya atau ada serbuk-serbuk tanaman yang berasal dari hutan yang terbawa arus angin dan menempel di kulit-kulit penduduk yang menjadi pemicunya. Beberapa hari lalu, beberapa pemuda bersama tim medis pernah masuk ke dalam hutan mencoba mencari sumber masalahnya, tapi mereka semua kembali dalam keadaan sakit parah. Mereka tak menemukan apa-apa. Tidak ada tanaman aneh yang tumbuh di tempat itu. Se Hwa menyimak semua informasi yang disampaikan oleh tabib tadi. Setelah itu, dia pun mengajak Naya untuk melanjutkan perjalanannya. Kali ini keputusannya sudah bulat. Mereka akan menyelidi sendiri ke dalam hutan. Rencananya, besok pagi mereka akan mulai masuk hutan. Untuk sekarang mereka berdua akan menginap di salah satu penginapan. Malam menyapa. Desa itu seperti desa mati. Sepertiga penduduknya sudah meninggal karena wabah. Meski ada penambahan warga yang diisolasi di sana, tetap saja desa itu terlihat sepi. Se Hwa duduk menatap keluar jendela. Gelap menyelimuti desa. Bahkan rembulan pun seakan-akan enggan menyinari desa itu. Di kejauhan, bayangan pohon-pohon di hutan tampak seperti benteng yang menjulang tinggi mengisolasi desa itu. Dahulu, desa itu terkenal begitu subur. Desa Yong Sang mendapat air yang melimpah dari sungai Tuman. Penduduk memanfaatkan air sungai untuk mengairi sawah, juga untuk disalurkan ke rumah-rumah untuk kebutuhan warga akan air bersih. Air sungai desa Tuman memang terkenal jernih dan segar. Air itu berasal dari gunung Rubah yang ada di belakang hutan belantara. Gunung itu dinamakan gunung Rubah karena banyaknya rubah berkeliaran di sana. Namun, tak ada yang berani menyentuh binatang itu. Mereka semua percaya kalau di gunung rubah dijaga oleh gumiho atau siluman rubah berekor sembilan. "Gumiho ...." Se Hwa bergumam. "Apa mungkin penyakit ini memang disebarkan olehnya?" "Nona, Anda belum tidur?" Naya baru saja kembali dari bawah untuk meminta selimut tambahan kepada pemilik losmen. Beruntung pemilik losmen itu masih belum terjangkit. "Kata pemilik losmen, banyak juga orang yang tiba-tiba mengeluh gatal setelah mandi di sungai Tuman." Se Hwa menoleh. "Tapi, jika itu pengebabnya, maka semua penduduk di sepanjang aliran sungai Tuman pasti akan terjangkit. Nyatanya tidak demikian. Itu berarti memang ada hal lain yang membuat kondisi jadi separah ini. Se Hwa akan menemukan itu tak peduli meski dia harus kehilangan nyawa. "Bagaimana pemilik losmen ini bisa tidak terjangkit?" "Dia juga tidak tahu. Hanya saja, katanya dia menghindari semua hal yang berasal dari hutan dan juga air dari sungai. Dia menggunakan air sumur di belakang rumah untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sedangkan sebagian besar warga desa memang menggunakan saluran air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Sangat jarang yang membuat sumur di rumah-rumah mereka." "Jadi, bisa disimpulkan, memang semuanya bersumber dari hutan, ya." Se Hwa kembali bergumam. "Apa seluruh keluarga pemilik losmen ini baik-baik saja." "Tidak. Kemarin putri tertua mereka terjangkit." "Hmm ...." Se Hwa nampak berpikir keras. "Apa itu artinya apa yang dilakukannya tidak menjamin kalau mereka akan terhindar dari penyakit itu? Ini makin membingungkan." "Tapi, dari ceritanya tadi. Dia sempat mengatakan kalau putri tertuanya kemarin mengunjungi rumah pamannya. Jadi kemungkinan dia memakan sesuatu di sana." "Berarti kau benar-benar berpikir kalau semua yang berasal dari hutan itulah sumber masalahnya?" "Iya, Nona." Naya mengangguk yakin. "Pemilik losmen ini hanya memakan gandum hasil pertanian dan tidak memakan buah-buahan yang berasal dari hutan, dan seperti yang kita lihat, mereka sangat sehat." "Aku mengerti." Se Hwa bangkit dari duduknya. "Selama di sini jagalah makananmu. Kita tidak boleh mengkonsumsi makanan sembarangan." "Baik, Nona." Se Hwa seakan-akan mendapat satu petunjuk penting hari ini. Dia merasa sangat bersemangat. Ingin rasanya dia pergi ke hutan malam ini juga, tapi tentu saja itu sangat berbahaya. Dia harus bersabar menunggu pagi tiba. Namun, untuk itu dia akan membuat pengumuman agar masyarakat untuk sementara berhenti memakan makanan dari hutan dan berhenti beraktifitas menggunakan air dari sungai Tuman. Semoga saja langkah kecil yang akan dia lakukan di awal, bisa sedikit membawa hal baik sehingga warga desa itu tidak harus dimusnahkan sebab mereka semua sangat berhak untuk sembuh dan kembali sehat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN