Malam menyelimuti Hanyang. Burung malam berusara di atas cabang kayu sembari mengawasi kota yang gelap gulita. Seandainya burung itu hidup di jaman modern, dia tak akan punya kesempatan untuk bertengger di sana dan menghitung berapa penduduk yang berani keluar di malam hari.
Airin dan pangeran masih ada di pegunungan. Mereka duduk di dekat tebing sembari melihat ke bawah sana. Kota Hanyang di masa lalu memang tak seramai Joseon di masa kini yang telah berubah menjadi Korea Selatan. Yang tergambar di Joseon kala itu hanya kota yang remang-remang dengan pencahayaan seadanya yang berasal dari lampu minyak bikinan warga.
Lampu-lampu itu diletakkan di dalam lampion agar terlindung dari embusan angin, lalu digantung di dekat-dekat pintu masuk sebagai penerangan jalan. Di saat malam tiba, hampir seluruh penduduk menghentikan kegiatannya. Mata pencaharian mereka berfokus pada pertanian dan perdagangan, tapi ada sebagian masyarakat yang juga menjalankan bisnis hiburan, seperti; judi dan rumah pelacuran. Itulah kenapa ketika malam tiba masih ada sebagian masyarakat yang wara-wiri di jalanan.
Pada umumnya mereka berasal dari golongan bangsawan dan pejabat negara. Jika dibandingkan dengan dunia modern, mereka mungkin bisa dibilang golongan borju. Menghabiskan uang di tempat maksiat menjadi hiburan yang menyenangkan buat golongan yang berada pada strata sosial paling tinggi itu. Para wanita penghibur senantiasa menyambut mereka dengan suka cita. Namun, kendati demikian, tak semua orang yang ada di sana senang menjadi wanita bayaran. Sebagian besar dari mereka terpaksa melakukannya karena sistem p********n di masa itu membuat nasib para b***k banyak yang berakhir di tempat pelacuran.
"Pangeran, apa tak masalah kau ada di luar istana saat malam seperti ini?" Airin menoleh ke arah pangeran yang menegak minuman keras langsung dari botolnya.
"Aku ingin sekali melihatmu memakain hanbok dan merias dirimu seperti perempuan pada umumnya," sahut pria tampan berbalut hanbok sutra terbaik itu.
Airin menghela napas. Yang dapat dia tangkap dari kata-kata sang pangeran adalah, pria itu menyukai gadis bernama Hwang Se Hwa. Kalau tidak, rasanya tidak mungkin pria itu bersikap begitu manis kepadanya.
"Kau tau, sesungguhnya aku pun ingin melakukannya. Aku ingin lihat secantik apa diriku saat menjadi seorang gadis. Tapi ...." Airin menggantung ucapannya. Pangeran terdiam menatapnya, terlihat begitu penasaran dengan lanjutan kata-kata gadis di sebelahnya. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya. "Ayo, ikut aku," ajaknya kemudian.
Pangeran sedikit bingung, tapi dia mengikuti kemauan gadis itu. Tak berapa lama mereka pun menunggang kuda menuruni pegunungan. Keadaan sangat gelap saat mereka melewati kawasan hutan. Namun, hal itu tak jadi masalah buat mereka karena mereka orang-orang terlatih. Airin membawa pangeran ke tempat pelacuran.
"Apa yang akan kita lakukan di sini?" Pangeran memasuki kawasan itu dengan hati-hati agar tak ada yang mengenalinya.
Airin hanya tersenyum sambil menggandeng tangan pria itu. Dia sendiri tak mengerti kenapa dalam pikirannya tercetus ide untuk membawa pangeran ke sana. Yang terlintas di benaknya saat ini hanyalah bagaimana cara mengabulkan harapan pangeran itu. Melihat pangeran dan Se Hwa cukup akrab, Airin menduga pemilik asli tubuhnya saat ini pasti juga menyukai pangeran itu.
Airin meminta ketua atau pemilik tempat itu untuk melayani pangeran dengan baik. Tentu saja pemilik tempat itu sudah mengenal putra mahkota dengan sangat baik. Meski ini pertamakalinya putra mahkota menginjakkan kaki di sana, Sanjae Ji, pemilik tempat itu sudah sering melihat pangeran di istana ketika dia diundang ke istana untuk menjadi penari. Sebagian besar wanita di tempat itu adalah penari yang handal.
Pangeran yang ditempatkan di satu ruangan dengan berbagai makanan tersaji di depannya hanya diam saja menunggu apa yang akan dilakukan oleh Se Hwa. Dia enggan mencicipi apa pun. Sekitar tiga puluh menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Seorang gadis berdiri di ambang pintu. Pangeran mengangkat wajahnya.
Pria itu tergugu menatap sesosok wanita cantik yang perlahan masuk dan menutup pintu itu kembali serta menguncinya dari dalam. Hanbok berwarna peach membalut tubuhnya yang ramping. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit rambut bunga sakura menghiasi sisi kanan dan kirinya. Gadis itu bersimpuh di hadapan sang pangeran dan memberi hormat.
"Hwa ... Hwang Se Hwa ...." Pangeran begitu gugup. Airin tersenyum. "Bangunlah, Se Hwa. Kau ... kau benar-benar sangat cantik."
Airin mengangkat wajahnya. "Lalu, apa sekarang kau akan menarik kata-katamu tadi di permandian?" Gadis itu mengedipkan sebelah matanya.
"Oohoo ... kau sedang menggodaku rupanya." Pangeran bangkit dari duduknya. Airin segera berdiri dan berlari menjauh. Ruangan yang tak begitu luas itu tak memberinya ruang yang cukup untuk berlari. Segera gadis itu tertangkap dan jatuh ke dalam pelukan sang pangeran, lalu mereka berdua tertawa.
Airin menjauhkan diri dari pangeran dan berputar-putar di depan pria itu. "Bagaimana penampilanku?" kata gadis itu. "Apa aku sudah terlihat seperti putri?"
Pangeran mengusap-usap dagunya seperti sedang berpikir keras, lalu menggeleng.
"Mwo? Apa katamu? Aku tak bisa menyandingi putri di kerajaanmu?" Airin tak terima.
Pangeran mengangguk. "Masih ada yang harus kau tambahkan jika ingin jadi seperti putri."
"Benarkah? Apa itu?" Gadis itu memperhatikan penampilannya, merapikan rambutnya, ketika pangeran menarik tangannya dan membuat Airin kembali berada dalam pelukan pria itu.
Pangeran mengulurkan tangan mengusap lembut rambut gadis itu. Kedua mata mereka saling tatap. Ada rasa yang membuncah di hati keduanya. Degup di d**a mereka kian menjadi saat pangeran mendekatkan wajahnya dan mencuri kecupan di bibir Airin. Gadis itu terpaku. Pangeran tersenyum, lalu kembali mencium bibir sang gadis.
Lumatan-lumatan lembut pun beradu di antara keduanya. Pangeran secara perlahan membimbing Airin menuju peraduan yang telah siap di ruangan itu. Airin melenguh saat pangeran menyecap lehernya. Tangan pria itu pun melepas ikatan hanbok sang gadis. Saat itulah Airin tersadar. Dia mencegah gerakan tangan sang pangeran.
"Kenapa?" Pangeran menatap bingung.
"Kita tak seharusnya melakukan ini. Aku bukan putri mahkota. Selain dirimu bahkan tak ada yang tahu aku wanita."
Pangeran terdiam.
"Bagaimana kau akan menjelaskan keadaan ini? Bagaimana jika orang-orang tau dan aku dihukum karena telah melakukan pelanggaran. Peraturan jelas menegaskan bahwa wanita dilarang menjadi prajurit, sedangkan aku malah menjadi jendral di kerajaanmu."
Pangeran terdiam. Dia bangkit dan duduk. Ekspresi wajahnya nampak frustasi. "Aku harus bagaimana?"
"Lupakan saja apa yang terjadi hari ini." Airin bangkit dan merapikan pakaiannya. "Aku akan mengganti pakaianku."
"Tunggulah aku." Pangeran menunduk. "Akan kuterima penobatanku segera. Setelah itu akan kuhapus peraturan pelarangan wanita menjadi prajurit."
"Itu masih akan terjadi beberapa tahun lagi, Yang Mulia. Dan lagi, sebelum itu kau pun pasti sudah dinikahkan dengan putri mahkota. Aku tak ingin menjadi selir di mana putraku nanti hanya akan dianggap remeh oleh orang lain. Kehidupan kerajaan tak pantas untukku." Airin mengayunkan kaki meninggalkan ruangan itu.
Di ruang ganti air mata gadis itu mulai menetes. Dia tak mengerti. Ini hari pertamanya di Joseon, tapi hatinya sudah merasakan sakit. Sebenarnya apa yang terjadi pada sosok Hwang Se Hwa? Apa dia benar-benar pacaran dengan pangeran itu?
Muda-mudi itu menunggangi kudanya dalam diam. Mereka memutuskan untuk kembali ke istana malam itu juga. Saat itu mungkin waktu sudah lewat tengah malam. Hanya hentakan kaki kuda yang meramaikan kebungkaman mereka berdua.
Sampai di depan gerbang ibu kota, pangeran menghentikan laju kudanya. Sementara Airin tetap melaju meninggalkan pria itu mematung seorang diri. Pangeran menatap punggung Airin yang kian menjauh. Dadanya berdenyut sakit. Sudah lama dia memendam rasa kepada Hwang Se Ha, tapi dia tak menemukan cara untuk mendapatkan gadis itu.
Jika kebenaran terungkap, bukan hanya gadis yang dicintainya yang bakal kena hukum, tapi juga seluruh keluarga Hwang. Paling ringan mereka akan diasingkan dan dijadikan b***k. Yang paling parah mereka akan dianggap pengkhianat yang melalukan segala cara demi sebuah kekuasaan. Mereka semua pasti akan dihukum pancung. Jelas pangeran tak ingin hal itu terjadi. Dia tak mungkin mencelakakan gadis yang dicintainya.
Bagaimanapun, cara yang terbaik adalah, dia harus segera naik tahta. Namun, Yang Mulia Raja bahkan masih terlalu muda untuk turun jabatan. Apa yang dikatakan Se Hwa benar. Sebentar lagi dia akan dijodohkan dengan seorang gadis yang akan dinobatkan sebagai putri mahkota. Kenyataan itu sangat menyesakkan hati sang pangeran. Percuma saja dia menjadi pangeran jika dia bahkan tak bisa memiliki pujaan hatinya.
Pangeran kembali memacu kudanya memasuki gerbang ibu kota. Airin sudah tak terlihat. Gadis itu sudah kembali ke rumahnya.
Sampai di istana, pangeran menanggalkan pakaiannya. Dia tak bisa memejamkan mata. Tangannya meraba bibirnya. Bayangan ketika dia dan Se Hwa saling memagut menyambangi ingatannya. Bibir Se Hwa begitu lembut dan manis, sudah seperti candu baginya. Rasanya dia sangat ingin menyecap bibir itu lagi. Desahan Se Hwa membuat pangeran tak bisa memejamkan matanya. Jika dia meminta yang mulia mencabut larangan itu mungkinkah yang mulia raja akan mengabulkannya? Mungkin dia harus mencoba bicara dengan yang mulia tentang hal itu.
Sementara itu, di kamarnya Airin pun terjebak bayangan yang sama. Ini pertama kali dia berciuman dengan seorang pria. Ada geleyar aneh yang terus mengganggunya. Ada rasa ingin melakukannya lagi, tapi ada ketakutan juga dalam dirinya. Dia tak tahu bagaimana nanti dia harus bersikap saat bertemu dengan pangeran. Mampukah dia tetap bersikap biasa saja seperti sebelumnya? Haruskah dia membaskan perasaan hatinya.
Ketika pikiran Airin tengah mengembara, tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Airin terperanjat teringat dengan jati dirinya.
"Tidak, aku harus pulang kembali ke asalku. Aku tak mau tau dengan urusan gadis aneh ini." Airin bergumam. Dia bangkit dari tidurnya dan memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Waktu itu, ketika dia datang ke Joseon juga saat hujan tiba. Itu artinya, saat hujan inilah dia akan kembali ke tubuh aslinya. Dia hanya harus mencelakai dirinya sekali lagi, dengan cara yang sama seperti yang dikisahkan di drama-drama Korea.
Airin mengendap-endap mencari tempat yang pas untuknya menjatuhkan diri agar bisa pulang. Di dalam sebuah bilik dayang-dayang sedang bercengkrama sesuatu yang aneh. Mereka bergosip tentang siluman rubah yang menebarkan sihirnya sehingga Joseon dilanda virus aneh yang mematikan. Di sana, di dekat jendela para dayang, Airin mematung. Di jamannya, kedua orang tuanya juga sering bertengkar tentang siluman rubah. Apakah kedatangannya ke Joseon ada hubungannya dengan siluman rubah itu?