“Selamat Pagi, Pak.”
“Pagi, Pak.”
“Selamat pagi, Pak Ndra.”
Silih berganti para karyawan perusahaan menyapa dan menyambut kedatangan Hendra pagi itu di perusahaan Lintang Azka Group. Hendra hanya mengangguk dan sesekali melempar senyum tipis untuk menyapa para karyawan yang menyapanya itu. Semua orang terlihat sangat hormat dan takut saat Hendra masuk ke gedung perkantoran itu. Sedangkan Hendra berjalan dengan langkah tegap dan wajah yang sangat serius seperti sedang menghadapi masalah serius.
Saat sampai di dalam ruangannya, Hendra langsung melepaskan jas kerjanya dan menggantungkan pada tiang yang ada di samping kursi kebangsaannya. Hendra membuka beberapa dokumen yang sudah berada di atas meja kerjanya dan memperhatikannya satu persatu sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu dan tak lupa juga sebuah cap resmi perusahaan itu. Hendra memencet nomor pada telepon kantor yang terletak di atas meja kerjanya.
“Jihan, datang ke ruanganku sekarang!” titah Hendra pada seseorang yang menjawab teleponnya dnegan ramah di seberang sana.
“Baik, Pak.” Perempuan yang dipanggil dengan Jihan itu menjawab dengan patuh.
Hendra kembali fokus pada pekerjaannya memeriksa beberapa dokumen yang masih menunggu untuk ditandatanganinya itu. Seperti itulah keseharian Hendra di tempat kerjanya dan sama sekali tidak pernah diketahui oleh Mira karena memang Mira tidak tahu pasti apa jabatan Hendra di perusahaan besar itu. Mira sendiri bukan lah gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa.
Mira sendiri adalah seorang Sarjana Hukum yang memilih untuk tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga sesuai dengan perintah yang Hendra berikan ketika mereka baru menikah dulu. Hendra yang memang hanya lulusan SMA itu merasa gengsi jika istrinya yang sarjana harus bekerja sementara dia sendiri tidak memiliki pekerjaan tetap.
Selesai menjelaskan segalanya pada Jihan, Hendra tidak lantas merasa bahwa semua masalah sudah selesai. Setelah menelpon seseorang tadi, Hendra sangat yakin bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya dan mungkin saja akan meminta sesuatu yang sudah sangat sulit bagi Hendra untuk melepaskannya saat ini. Hendra sudah terlanjur masuk ke dalam Setelah sebuah lingkaran permainan dan tidak sanggup jika harus keluar secepat ini.
“Aku akan melakukan segala macam cara agar kau tidak bisa kembali lagi, Ndra,” gumam Hendra dengan sorot mata tajam dan tangannya memutar-mutarkan ponsel yang sedari tadi ia genggam.
Hendra seperti sedang memikirkan sesuatu dengan mimik wajah yang serius, dan fokus pada sesuatu hal. Entah apa yang sebenarnya sedang Hendra pikirkan dan entah apa pula yang kini menjadi rahasia besar Hendra. Banyak hal yang terjadi semenjak kehamilan Mira dan Hendra selalu merasa was-was di setiap waktu. Saat Hendra sedang merenungkan hal yang menjadi beban pikirannya, tiba-tiba terdengar dering ponsel pertanda ada panggilan masuk dan Hendra langsung menatap nama yang tertera pada layar ponselnya itu.
Dengan penuh pertimbangan dan karena sudah dua kali telepon itu ia abaikan, setelah panggilan masuk yang ketiga kalinya Hendra memutuskan untuk menjawabnya. Tentu saja Hendra sudah dapat menebak apa yang akan penelpon itu bahas serta katakan padanya. namun, Hendra juga sudah mempunyai jawaban yang ia rasa cukup jitu untuk membuat si penelpon itu tak berkutik.
“Ada apa, Bro? sepertinya penting sekali,” tanya Hendra langsung pada intinya saat baru saja ia mengangkat telepon itu.
“Bagaimana kabar istriku dan apakah dia bertambah cantik saat ini? Kau menidurinya?” tanya seseorang di seberang telepon dengan penasaran yang sangat jelas terdengar.
“Untuk saat ini tentu saja aku masih bisa mengendalikan diriku. Namun, aku tidak yakin itu akan terus bisa kulakukan,” jawab Hendra dengan suara datar nyaris seperti orang yang tidak bersalah sama sekali.
“Indra! Sadar lah siapa dirimu dan siapa yang akan kau tiduri. Aku tidak sudi jika Mira mengandung benihmu!” hardik pria itu dengan suara lantang.
“Hendra … Hendra … Kau juga harusnya tau resiko apa yang akan kau dapatkan saat memilih untuk bertukar posisi denganku. Aku bahkan merelakan semua asetku kau pakai, kau nikmati untuk berfoya-foya dan juga tunanganku itu, pasti akan kau tiduri juga nantinya. Aku tidak percaya kau akan melewatkan kesempatan untuk menikmati tubuh indah kekasihku itu,” ungkap Hendra yang ternyata adalah Hendra.
Seorang pria yang memiliki wajah mirip dengan Hendra. Keduanya bertemu secara tidak sengaja di Kalimantan. Saat itu karena penasaran, akhirnya Indra mendekati Hendra untuk mendapatkan sehelai rambutnya sebagai satu-satunya cara dalam mencari tahu identitas dari pria itu dan menjawab kenapa dirinya bisa begitu mirip dengan Hendra.
Setelah mendapatkan hasil test DNA dari rumah sakit barulah Indra tahu jika Hendra ternyata adalah saudra kembarnya. Hal yang membuat Indra memikirkan sebuah rencana dalam benaknya untuk melakukan pertukaran posisi dengan Hendra.
“Tapi, semua itu berbeda. Kau belum menikah dengannya, sementara Mira adalah istriku yang sah,” bantah Hendra dengan tegas.
“Meski pun begitu, semua sudah kita lakukan dengan keuntungan dan kerugian masing-masing bukan?” balas Indra lagi tak mau mengalah pada Hendra.
“Aku mencintainya dan aku melakukan semua ini demi dirinya agar dia bisa merasakan kehidupan yang serba berkecukupan dan kemewahan. Kalau sampai kau meniduri Mira, maka semua kesepakatan ini sebaiknya batal saja. Aku tidak akan pernah merelakan istriku ditiduri pria lain, meski itu dirimu sekali pun,” ungkap Hendra masih merasa tidak terima jika kini Mira sudah sepenuhnya percaya bahwa Indra adalah dirinya.
“Jangan terburu-buru, Hendra. Semua baru dimulai dan kau sudah ingin menyerah? Lagi pula, jika terlalu lama aku menolak Mira saat memintaku bercinta dengannya, bukannya dia akan curiga padaku?” tanya Indra dengan tawa mengejek dan jelas sekali hal itu tidak pernah terpikirkan oleh Hendra.
“Kau ternyata sangat licik, Indra! Aku akan memberitahukan semua orang tentang pertukaran identitas ini dan aku jamin kau pasti akan menyesalinya nanti,” ancam Hendra yang terdengat sangat serius sekali saat ini.
“Silakan kalau kau memang ingin melaukannya. Aku akan menunggu dengan senang hati.” Indra menjawab santai dan mematikan teleponnya, membuat Hendra di seberang sana kepanasan karena belum selesai meluapkan amarahnya pada Indra.
Indra memang sudah berusaha sebaik mungkin bersikap dan berprilaku seperti Hendra yang asli agar Mira tidak pernah curiga padanya. Hanya ada satu pertanyaan yang pasti akan Mira lontarkan pada Indra di kemudian hari. Yaitu mengenai tato yang tidak ada lagi pada tempatnya. Hal itu karena Hendra yang asli memiliki sebuah tato berinisalkan namanya dan nama Mira di pundak belakang. Saat itu terjadi Indra hanya bisa menjawab bahwa tato itu sudah ia hapus menggunakan laser saat merantau di luar kota waktu itu dan tentu saja Mira akan dengan mudahnya percaya pada ucapan Indra itu.
“Hendra … kau terlalu terburu-buru menyetujui semua hal hanya demi kemewahan dan harta benda. Dan sampai mengabaikan bahwa istrimu bisa saja jatuh dalam pelukanku cepat atau lambat. Kontrak kerja sama kita baru berjalan dan tentu saja itu akan memakan waktu cukup lama hingga selesai. Sekarang kau sudah merasa takut kehilangan istrimu, padahal aku belum menyentuhnya sama sekali,” gumam Indra dan tersenyum sinis pada sebuah foto yang ada di layar ponselnya.
Itu adalah foto Mira yang tadi pagi tersenyum manis melambaikan tangan padanya saat ia akan berangkat ke kantor. Indra dengan sengaja mencuri foto Mira untuk berjaga-jaga andai saja ia membutuhkannya suatu saat nanti. Indra memang sudah mengetahui semua tentang Mira dengan sangat detail dari Hendra, akan tetapi ia masih tetap perlu mengenalinya lebih dekat.
“Mira … ternyata kau sangat cantik dan hampir saja membuatku terpesona dengan kesederhaanmu itu. Sudah pasti aku akan kesulitan jika terus menolakmu untuk bercinta,” lirih Indra yang menyunggingkan sebuah senyum di sudut bibirnya dan mengusap lembut wajah Mira yang ada di layar ponselnya itu.