Pagi harinya Hendra bangun lebih awal dan sudah menyiapkan sarapan untuk Mira di meja makan yang terbuat dari kayu jati. Memang, semenjak Hendra bekerja di sebuah perusahaan tambang batu bara di kota Kalimantan, uang belanja yang ia kirimkan sangat banyak melebihi kata cukup bagi Mira pribadi. Oleh sebab itu, perlahan-lahan Mira memperbaiki rumahnya dan mengisi rumah dengan perlengkapan sederhana yang tetap mempunyai kualitas bagus.
Kesannya, seperti Mira tidak ingin menghambur-hamburkan uang yang diberikan Hendra itu. Mira lebih memilih untuk membelikannya ke perlengkapan rumah dan ia rasa itu akan lebih berguna dari pada uang habis tidak terkira begitu saja. Hendra sendiri tidak pernah menuntut untuk apa dan ke mana uang yang ia kirimkan itu dipakai oleh Mira. Justru ia menyuruh Mira untuk bersenang-senang dan membeli apa saja yang ia suka dengan uang itu. Meski ia tahu Mira bukan lah tipe wanita yang senang berfoya-foya.
“Hen, kamu yang masak semua ini?” tanya Mira takjub saat melihat beberapa hidangan sarapan pagi sudah tersaji di meja makan.
“Iya. Aku bangun terlalu cepat, dan bingung akan melakukan apa,” jawab Hendra dengan senyum ramah pada Mira.
“Sejak kapan kamu pandai masak, Hen?” tanya Mira dengan heran dan menatap Hendra lekat.
Hendra terdiam mendengar pertanyaan Mira dan terlihat sedikit gugup dan tubuhnya menjadi tegang. Mira memperhatikan perubahan sikap dan reakasi Hendra itu dengan sangat seksama. Mira jelas-jelas merasa bahwa Hendra sangat berubah sejak kepulangannya semalam. Namun, Mira masih mencoba untuk tidak mempermasalahkan hal itu karena tidak mau membuat Hendra menjadi tidak nyaman di hari pertama kepulangannya.
“Sayang … aku kan di sana tinggal sendirian dan nggak ada istriku yang cantik ini yang akan memasakkanku makanan setiap harinya. Tentu saja aku harus belajar masak sendiri agar pengeluaran juga tidak terlalu banyak. Jadi, uangnya bisa aku kirimkan ke kamu semua.” Hendra akhirnya menjawab sambil tersenyum dan menarik kursi untuk Mira duduk.
“Benar juga. Kalau beli terus, pasti biayanya akan sangat banyak dan bisa-bisa gaji bekerja hanya habis untuk makan dan kebutuhan lain kamu di sana,” ucap Mira membenarkan perkataan Hendra.
“Nah, tu kamu tau. Sekarang, makan aja apa yang aku masak, ya.”
“Oke. Aku coba dulu nih masakan orang yang pulang merantau. Enak apa ga? Mudah-mudahan ga sekedar bisa masak agar bisa mengganjal perut aja deh,” ucap Mira dengan senyum menggoda pada Hendra.
Hendra menyuapi sesendok spaghetti buatannya pada Mira dan Mira merasa sangat teranjung atas sikap Hendra padanya. Memang, selain tidak ingin berdekatan dengannya, Hendra menjadi lebih romantis karena sering memanggilnya dengan sebutan sayang. berbeda sekali dengan Hendra yang dulu, saat ia belum pergi merantau. Hendra yang dulu selalu bicara dengan nada tinggi dan terkesan kasar pada Mira. Sampai-sampai Mira acapkali menangis dibuatnya dan merasa seperti seorang istri yang tidak dihargai oleh suaminya sendiri.
Melihat banyaknya perubahan yang dibawa oleh Hendra sejak pulang dari perantauan, tentu saja membuat hati dan perasaan Mira sangat bahagia. Itu tandanya, banyak hal positif yang membuat Hendra berubah dan mungkin saja setelah jarak memisahkan mereka selama satu tahun penuh, membuat Hendra lebih bisa menghargai dan mencintai Mira dengan tulus serta menjadi suami yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Itu lah yang ada di dalam pikiran Mira saat ini.
Saat keduanya sedang asik bersantap sarapan, telepon genggam yang ada di dalam saku celana Hendra berbunyi menandakan bahwa ada panggilan masuk. Hendra merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Tertulis nama ‘Rekan Bisnis’ di sana dan Mira sempat melirik ke ponsel yang saat ini Hendra genggam. Tentu saja Mira kembali merasa curiga karena ponsel yang digunakan Hendra adalah ponsel canggih yang harganya berkisar belasan juta rupiah.
Menyadari tatapan Mira yang berbeda pada ponselnya, Hendra memasukkan kembali ponsel itu ke dalam kantong celananya dan melanjutkan suapannya. Hendra berpura-pura tidak memperhatikan bahwa saat ini Mira sedang menatapnya penuh rasa curiga.
“Sayang, ayo habiskan makannya. Setelah ini aku harus pergi ke kantor cabang yang ada di kota ini,” ucap Hendra yang masih fokus pada sarapannya dan enggan menatap langsung pada mata Mira.
“Kantor cabang? Maksudnya, perusahaan tempat kamu bekerja di Kalimantan itu juga punya cabang di sini?” tanya Mira tak menyangka dengan hal itu.
“Iya. Kamu senang nggak kalau aku pindah kerja ke kota ini?” tanya Hendra dengan sebuah senyuman yang tersimpul di sudut bibirnya.
Kedua bola mata Mira tampak menampilkan cahaya kegembiraan mendengar apa yang ditanyakan oleh Hendra. Tentu saja dia akan merasa senang jika suaminya itu kembali tinggal bersamanya dan sudah memiliki pekerjaan tetap pula. Sudah pasti anggota keluarga Mira akan merestui hubungan yang selama ini berjalan dan terjalin tanpa restu keluarganya itu. apalagi sebabnya kalau bukan karena sikap Hendra yang seperti berandalan dan lagi ia tidak pernah bisa memiliki pekerjaan tetap yang membuat keluarga Mira ragu bahwa Hendra bisa membuat Mira hidup layak dan juga bahagia.
Mira sudah membayangkan bahwa Hendra akan diterima oleh keluarganya dan keluarga mereka akan hidup dengan sangat harmonis. Apalagi, Mira dan Hendra tidak perlu lagi berjauhan dalam waktu yang cukup lama.
“Udah pasti aku senang, dong, Hen. Gimana sih kamu, gitu aja pake ditanyain. Aku malah berharap banget kamu bisa kerja di sini dan kita nggak perlu berjauhan lagi,” jawab Mira dan menggenggam tangan Hendra dengan sangat erat.
“Syukur lah kalau kamu senang. Aku memang sengaja minta pindah ke kota ini supaya kita nggak jauh-jauhan lagi tinggalnya,” ungkap Hendra dan membalas genggaman tangan Mira.
“Makasih, Sayang. Kamu memang suami terbaik, Hen. Dan terimakasih, dengan semua perubahanmu dalam hal kebaikan. aku yakin, sebentar lagi Mama, Papa, dan Abangku akan memberikan restunya pada hubungan kita.”
“Amin. Semoga aja, ya, Sayang. Kalau gitu, lanjutin makannya biar aku bisa pergi ke kantor dengan tenang.” Hendra memberikan titahnya pada Mira untuk menghabiskan sisa sarapannya yang belum habis.
Mira menuruti perintah Hendra dan mereka berdua melanjutkan santap pagi yang belum selesai. Namun, dalam hati Mira masih terus bertanya-tanya. Mira tetap saja merasa heran pada Hendra, dan hal itu tak bisa ia abaikan. Setelah selesai sarapan, Hendra pergi ke kantor dengan stelan kerja yang rapi dan Mira tahu bahwa itu bernilai jutaan dalam satu stelannya. Mira pergi ke kamar dan mengambil ponselnya untuk menelpon Hanifa.
Beberapa kali panggilan telepon itu berdering, baru terdengar suara sapaan dari Hanifa di seberang sana. “Halo, Hanifa. Aku mau tanya sesuatu sama kamu,” ucap Mira tanpa basa-basi pada Hanifa.
“Apa?” tanya Hanifa yang juga penasaran dengan sikap sahabatnya itu.
“Apakah benar kalau suami berubah menjadi romantis dan sangat perhatian pada kita, itu artinya dia memiliki wanita lain? Aku curiga kalau Hendra punya selingkuhan atau mungkin saja di sana dia sudah punya istri lagi!” tanya Mira meluapkan kecurigaannya tentang Hendra pada Hanifa.