Terhitung dua jam sejak keberangkatan Lawson untuk menjemput Halum dan Hores setelah lelaki itu menerima telepon dari Winessa terakhir kalinya. Perempuan itu tidak bisa tidur dengan tenang. Akhirnya ia memutuskan untuk menanti kedua anaknya itu tiba dengan mata terbuka. Ia duduk di sofa ruang tamu yang menghadap ke pintu. Beberapa kali ia mengintip ke jendela. Gelisah sudah menggerayangi pikirannya bahkan sejak senja bergelayutan di langit. Anna yang kebetulan terjaga, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa begitu kering kerontang. Ia tidak tahu, kalau adik perempuannya itu belum juga terlelap.
“Kau belum tidur, Winessa? “
Pertanyaan yang keluar dari bibir Anna rupanya membuat Winessa tersentak. Ia menengok ke belakang, menggelengkan kepalanya pelan.
“Anak-anakku masih di perjalanan,” jawabnya setelah itu.
Anna menghampirinya, memberi segelas air yang tadi ia bawa dari dapur. Membiarkan Winessa meneguknya.
“Ini masih dini hari. Bukankah lebih baik kau tidur? Mungkin mereka akan sampai besok pagi,” kata Anna yang masih terlihat mengantuk. Dari matanya yang memerah, Winessa tahu kalau perempuan yang menyodorkan segelas air untuknya itu masih butuh untuk memejamkan mata.
Sekali lagi, Winessa menggeleng mendengar perkataan dari bibir Anna. Wanita itu seolah tahu, ada hal yang tidak beres. Bahkan, sejak Halum bercerita padanya lewat telepon tadi.
“Lagi pula, Lawson bersama mereka. Apa yang kau cemaskan?” perempuan yang lebih tua itu lagi-lagi bersuara. Tidak langsung bungkam. Ia masih mencoba meskipun ia tahu, perempuan yang sedak ia ajak bicara ini adalah orang paling keras kepala yang pernah ia temui. Dari sinilah sepertinya sifat kedua anak lelaki itu diturunkan.
“Tidak, Anna. Aku akan menunggu mereka di sini. Lagipula aku belum mengantuk. Kau, kembalilah ke kamarmu. Aku sungguh tidak apa-apa.”
Tak lama, dering telepon menghentikan percakapan mereka.
Awalnya, Anna mengabaikan telepon yang terus berdering itu. Ia berpikir, itu ulah orang usil yang mengerjainnya di dini hari seperti ini.
Namun, Winessa akhirnya buka suara.
“Coba kau angkat dulu, Anna. Telepon itu sudah berbunyi lebih dari dua kali.”
Akhirnya perempuan itu mengalah. Ia menghampiri asal suara dan mengangkat gagang telepon. Dari seberang, terdengar suara seorang laki-laki yang sama sekali tidak ia kenali. Dengan suara yang berat, Laki-laki itu membuka percakapan begitu tahu Anna menjawab panggilannya.
“Apa benar ini kediaman ibu Anna?”
Kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulut lelaki itu. Anna menaikkan alisnya, siapa?
“Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu?”
Winessa menghampiri Anna. Ingin tahu, siapa yang meneleponnya di jam seperti ini. Dengan wajah yang bertanya-tanya, ia mencoba bertatap mata dengan perempuan yang sedang memegang gagang telepon itu.
“Lawson?”
Wajah Anna seketika berubah. Winessa yang sejak tadi sudah berdiri di depannya, mengeluarkan mimik yang seolah bertanya ‘ada apa?’ ia semakin penasaran dibuatnya.
Tanpa berkata apa pun, tangan Anna yang bergetar menyerahkan gagang telepon pada perempuan yang sejak tadi ingin tahu. Winessa mengambil alih pembicaraan.
“Halo? Dengan siapa saya bicara?”
Winessa membuka percakapan begitu gagang telepon berpindah ke tangannya.
“Kami dari pihak kepolisian. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan keluarga saudara. Saat ini, keluarga saudara dilarikan ke Hera Hospital.”
Setelah mendengar kalimat itu, Winessa ambruk. Firasat yang ia rasakan sejak tadi ternyata tidaklah salah. Sesuatu terjadi pada kedua jagoan kecilnya.
Setelah mendengar kabar buruk itu, Winessa lari seperti orang kesetanan. Ia berkali-kali menghubungi taksi, menerobos pintu menuju jalanan di malam yang masih gelap. Tidak ada satu mobil pun yang melintas. Bukankah wajar terjadi di jam-jam seperti ini?
Perempuan itu masih mencoba menghubungi taksi meskipun berkali-kali pula ia harus kecewa karena tidak ada satu pun taksi yang tersedia di jam-jam seperti ini. Sampai akhirnya, ia meraung-raung di jalanan depan rumah Anna. Sementara Anna yang juga menangis, sudah tidak bisa memikirkan apa pun selain pasrah pada kenyataan.
Tangisan yang pecah di dini hari itu rupanya membuat Tuan Lukas, tetangga Anna terjaga. Ia menyalakan lampu dan membuka pintu rumahnya demi melihat apa yang terjadi. Dengan iba yang merayap di dadanya karena ia pernah merasakan apa yang dirasakan kedua perempuan itu kini, akhirnya lelaki yang cukup berumur itu mengeluarkan mobilnya dari garasi. Ia memboyong Winessa juga Anna menuju Hera Hospital untuk mengetahui keadaan anak-anak mereka.
Hera Hospital berjarak cukup jauh dari kediaman mereka. Kira-kira satu jam jika berkendara dengan mobil. Terlebih, penglihatan Tuan Lukas di kegelapan seperti ini kurang baik. Winessa tidak banyak berpikir. Tadinya, ia meminta izin untuk mengendarai mobil tersebut. Namun, Tuan Lukas tahu, tidak ada yang menjamin keselamatan mereka ketika kekalutan berselimut di d**a perempuan itu. Meski begitu, Winessa hanya ingin cepat sampai dan menemui bayi-bayi kecilnya. Ia terus menggigit kuku-kuku jarinya, berharap Tuan Lukas dapat menginjak pedal lebih kuat agar mereka lebih cepat sampai di sana. Air mata sudah menganak sungai di pipi Winessa juga Anna, bahkan saat baru saja mendengar jikalau mobil yang dinaiki kedua anak dan keponakannya itu terguling di tengah perjalanan menuju rumah Anna.
‘Ini bukan hanya sebuah kebetulan. Ini bukan kebetulan,’ gumamnya.
‘Shin, apa yang telah kau lakukan pada anak-anak ku?’
***
Winessa dan Anna berlari ketika tiba di rumah sakit. Masih dengan air mata yang membanjiri pipi, mata perempuan itu mengerdar ke sekeliling. Ia harus menemukan dua anak kesayangannya. Harus!
Langkah Winessa terhenti, tepat di depan lorong panjang yang cukup gelap. Ia melihat ranjang dorong memasuki pintu di ujung sana. Terlihat darah yang bersimbah, merembes ke kain yang dipakai untuk menyelimuti seseorang di atas ranjang dorong tersebut.
Perempuan itu terbelalak saat menemukan tulisan yang terpampang di atas pintu. Kamar Jenazah. Benar. Kamar di seberang sana adalah tempat terakhir para pasien yang sudah kehilangan nyawa mereka sebelum akhirnya keluarga membawa mereka pulang.
Sekali lagi, bagai orang kesetanan, ia berlari sembari berteriak.
“Tunggu! Oh, tidak! Jangan bawa bayiku!”
Suara itu terdengar amat menyakitkan. Ia pernah merasakan kehilangan, maka ia tidak ingin merasakannya lagi untuk kedua kalinya.
“Tidak! Bayiku!”
Ia masih berlari dengan tangis yang pecah. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Winessa melihat dua anak lelaki yang selalu bersamanya itu terluka. Tidak Halum, tidak Hores. Keduanya benar-benar berharga untuk perempuan itu setelah kepergian Willy.
Ranjang dorong itu terhenti saat mendengar teriakan Winessa. Mereka semua menatap perempuan itu penuh iba. Mereka berpikir bahwa perempuan itu adalah pemilik jenazah yang ada di hadapan mereka kini.
Ia sudah sampai. Berdiri dengan kaki gemetar di depan ranjang dengan seseorang yang ditutup kain. Perempuan itu masih terus menangis.
“Ibu di sini, Nak. Ibu di sini. Maafkan ibu datang terlambat,“ katanya lagi.
Tangan yang gemetar itu mencoba meraih kain yang menutupi wajah seseorang yang berbaring di depannya. Belum sempat ia tarik kain tersebut, seorang perawat menghentikan gerakan tangannya.
“Apa ibu akan kuat melihatnya? Wajahnya sangat rusak.”
Salah satu suster berujar yang akhirnya membuat tangis perempuan itu semakin pecah. Ia membekap mulutnya, menahan teriakkan yang saat itu juga ingin ia keluarkan. Ia menarik napas panjang dan mencoba untuk menenangkan hatinya. Setelah cukup tenang, ia akhirnya mengangguk.
“Aku harus melihatnya.”
Perempuan itu tercengang setelah membuka kain tersebut.
***
Perempuan itu duduk di antara dua ranjang, seperti yang selalu ia lakukan menjelang tidur pada masa kecil mereka. Winessa akan berada di tengah, menceritakan kisah menarik tentang Centaur, Melusine, Rocky, Blachessier, Whichessenova, dan semua yang ia ketahui. Setelahnya, akan ia lantunkan alunan pengantar tidur yang akan mengantarkan kedua anaknya pada mimpi yang indah. Alunan yang bahkan sampai saat ini selalu terngiang-ngiang di kepala anak-anaknya. Winessa amat menyukai hal itu. Berada di antara ranjang mereka dan berbagi kisah saat malam tiba. Namun, tidak saat ini. Ketika biasanya senyuman selalu tersungging di bibir tipis itu, kini hanya tersisa garis datar yang menahan isak kepedihan. Tidak ada lagi mata yang penuh cinta dan keceriaan, melainkan hanya mata yang penuh derai air mata juga luka yang dalam. Tidak ada lagi sahutan dari bibir Hores yang mengundang perdebatan dengan Halum. Tidak ada lagi.
Winessa menghela napas panjang. Meski gaduh seringkali memekakkan telinga, ia lebih menyukainya dibanding hening seperti ini. Keheningan ini seperti pedang yang menghunus dadanya berkali-kali. Ia merindukan bagaimana anak bungsunya berlari dan mengadu bahwa si cikal sedang berbuat jahil. Ia juga rindu bagaimana anak-anaknya itu bertengkar demi sekotak jus jeruk yang tersisa di lemari pendingin. Ia rindu melihat bibir Hores dan Halum menguap, menahan kantuk demi mendengar kisah yang Winessa ceritakan sampai selesai.
Kini, di ruang yang senyap itu hanya terdengar suara deteksi detak jantung. Tidak ada lagi tawa maupun nada tinggi penuh kesal yang biasa anak-anaknya keluarkan. Ia hanya sendirian. Meratapi kedua anaknya yang terbaring lemah tak berdaya.
Kata-kata yang sejak tadi terus terngiang di telinga, membuat hatinya semakin hancur berkeping. Ia hanya berharap, bahwa keajaiban akan menghampirinya untuk kedua kali.
‘Hores mengalami luka cukup dalam di bagian d**a sebelah kiri. Sepertinya karena pecahan benda yang tajam. Kami sudah melakukan operasi untuk mengambil bagian yang masuk ke dalam dadanya.’
Winessa menundukkan kepalanya yang begitu terasa berat. Ia berkali-kali mengusap rambut yang kini sudah mulai kusut tak beraturan. Kenapa hal ini harus terjadi pada mereka? Mengapa tidak pada dirinya saja?
‘Sedangkan Halum, ia mengalami luka cukup serius di kepalanya. Ada keretakan di tengkorak, juga luka sobek yang mengakibatkan ia banyak kehilangan darah.’
‘Kenapa mereka harus merasakan sakit seperti ini?’ perempuan itu membatin.
“Kenapa tidak aku saja?”
“Kenapa?”
Tangisnya kembali pecah. Ia menelungkupkan tangan ke wajahnya yang terlihat pucat. Winessa sudah kehilangan akal. Terlebih, ketika terakhir kali ia mendengar Dokter yang menangani kedua anaknya itu berbicara, “Sepertinya akan sulit melihat mereka kembali seperti sedia kala. Kita tunggu keajaiban saja.”
Perempuan itu bangkit dari duduknya. Menyeka air mata yang tumpah entah untuk keberapa kali. Tidak. Ia tidak boleh menyerah hanya karena ucapan yang membuatnya semakin terpuruk. Ia harus berpikir positif. Perempuan itu perlahan mendekati ranjang Hores. Menatap anak bungsunya dengan lekat.
“Hores, bisakah kau dengar ibu? Ayo, anak ibu yang pintar. Kau bisa dengar ibu, kan?”
Winessa menggenggam tangan Hores yang begitu dingin. Sesekali, ia mengecup punggung tangan kecil itu. Namun tetap saja. Sekuat ia menahan sesak di d**a, air mata itu tetap menerobos mengaliri pipinya.
“Ayo, Hores! Ibu akan ceritakan banyak kisah menarik dan kau akan menjadi pendengar setia ibu, seperti yang kau katakan dulu. Bukankah kau sudah berjanji pada ibu untuk mendengar semua cerita yang ibu dongengkan sampai kamu tumbuh dewasa?”
Tidak ada yang berubah. Anak itu tidak membuka mata. Tidak menggerakan tangan, tidak menggerakan anggota tubuh yang lain. Ia masih tergeletak lemah, seperti sejak pertama kali sampai ke ruangan ini.
Perempuan itu beralih, menuju ranjang Halum yang berada di sebelah kiri. Belalai medis terlihat memenuhi tubuh anak lelaki itu, bahkan lebih banyak dibanding Hores. Kepalanya dililit perban, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya sama dingin dengan tubuh Hores.
“Halum, ibu ada di sini. Kau bilang, kau ingin berlibur ke pantai, bukan? Bangun, Halum. Ayo, ibu akan mengajakmu ke pantai!”
Winessa terus mengeluarkan celotehannya dengan suara yang gemetar. Ia hanya mencoba menghibur dirinya sendiri. Terus berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun jauh dari lubuk hatinya, ketakutan akan kehilangan mereka berdua terus menerus menggilas kepala.
Perempuan itu kembali ambruk ketika sadar bahwa kedua anaknya tidak akan bangun. Ia terduduk dengan tangisan yang semakin terasa menyakitkan. Sampai akhirnya, suara dari salah satu pendeteksi detak jantung mengeluarkan bunyi yang berbeda.
Ia segera bangkit, berlari menuju pintu dan berteriak, “Dokter!”