“Harusnya tak kubiarkan kau pergi tadi, Lawson! Ayolah, Buddy. Kau pasti bisa melewati ini."
Lelaki itu duduk di pinggir ranjang rumah sakit. Di wajahnya ada raut penyesalan. Di sana, tergeletak Lawson yang terluka begitu parah. Belalai medis yang juga memenuhi tubuhnya, sama seperti milik Halum. Bagaimana tidak? Benturan dari mobil yang terguling itu lebih dulu menghantam tubuh Lawson sebelum menghantam tubuh-tubuh yang lain.
Sementara itu, Lucio yang juga mendengar kabar tersebut memutar setirnya di malam yang gelap. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit, setelah tadinya akan pulang ke kota. Mereka berdua memang berpisah, tak lama setelah Lawson berpamitan pergi.
Tiba-tiba, Gary teringat sesuatu tentang apa yang sering kali diucapkan Lawson sebelum hal buruk ini terjadi.
Tentang perempuan rambut pirang yang melambai-lambaikan tangan, menuntunnya menaikki tangga, sampai tidur di ruangan paling pojok.
Ia juga ingat, bahwa Lawson bahkan menceritakan mimpi anehnya sebelum handphone Lawson berdering.
“Apa hal ini saling berkaitan?” Gary mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri karena merasa kalau ini bukan hanya sebuah kecelakaan.
Tiba-tiba seseorang terdengar membuka pintu. Seorang perempuan yang terlihat seperti mayat hidup. Seolah hidup segan mati tak mau. Bibirnya begitu pucat. Tatapannya kosong, bahkan sejak ia mendengar kabar buruk yang menimpa Lawson dan kedua keponakannya.
Ia mengambil bangku lalu duduk di sebelah Gary.
“Hal apa yang saling berkaitan, Gary?”
Anna mulai mengeluarkan suara setelah sejak tadi hanya air mata tanpa suara yang menghiasi wajahnya.
“Sebelumnya kami memang bertemu di sebuah bar untuk acara reuni.”
Anna mulai mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Gary.
“Setelah terhitung lima tahun lamanya, akhirnya kami dapat berjumpa lagi. Kebetulan, apa tante ingat Lucio?”
Anna mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Lucio, rasanya tidak asing di telinga.
“Sebentar lagi ia akan tiba, aku sudah mengabarinya. Kami berpisah di bar, tak lama setelah Lawson berpamitan untuk melakukan sesuatu yang mendesak.”
“Lalu?” Anna mulai bertanya-tanya, ia ingin segera tahu ke mana inti pembicaraan ini berarah.
“Saat pertama kali melihat Lawson duduk seorang diri di tengah kerumunan, aku melihat kabut hitam mengitari kepalanya.”
“Kabut?”
“Iya. Kabut. Seperti kepulan asap yang tebal. Benda itu berputar mengitari kepala Lawson. Aku pikir karena pengaruh alkohol, tapi aku sadar, aku bahkan belum minum satu tegukan pun.”
Anna memandangi Lawson yang terkulai di ranjang. Perempuan itu tidak pernah tahu, kalau anaknya akan turut serta dalam kejadian yang memilukan ini.
“Aku duduk di seberangnya. Mulai berbicara dan melepas kerinduan kami masing-masing. Tidak lagi kulihat kabut hitam yang kupikir tadinya mungkin asap dari rokok Lawson. Namun, aku lupa sesuatu, Lawson bahkan tidak merokok.”
“Benar, anakku berhenti merokok lima tahun yang lalu. Sejak ia lulus dari bangku sekolah, Lawson menjalani hidup dengan benar, Gary.”
Gary mengangguk. “Aku tahu. Lawson memang seperti itu.”
“Awalnya pembicaraan kami mengalir dengan begitu santai. Tawa tidak luput dari bibirku maupun Lawson. Sampai akhirnya, Lawson bilang ia melihat seorang gadis berambut pirang tengah memperhatikannya dari tangga.”
“Gadis berambut pirang?”
Lagi-lagi Gary mengangguk.
“Tak lama Lucio datang dan mengalihkan perhatian Lawson pada perempuan itu. Kami kembali berbincang, bernostalgia pada masa lalu kami yang begitu indah dan tak terlupakan.”
Anna mengangguk, ia mulai mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Gary.
“Tante ingat sekarang. Lucio, yang paling tampan di antara kalian, kan? Yang terpeleset saat membawa kue ulang tahun?”
“Benar, anak itu! Setelahnya, di tengah pembicaraan kami yang begitu mengasyikan, Lawson berpamitan untuk pergi ke kamar mandi. Namun, ia lama kembali. Aku khawatir, jadi kususul dia ke sana.”
“Lalu, apa yang terjadi?”
“Aku tidak menemukannya di sana. Semuanya kosong dan pintunya terbuka.”
“Ke mana Lawson pergi?”
“Aku melihat ada satu ruangan di paling pojok. Entah kenapa rasanya aku harus ke sana. Benar saja, aku menemukan Lawson tengah tertidur seperti bayi beruang. Tenang sekali.”
Anna tersenyum. Lawson memang bayi beruang kesayangannya.
“Aku menepuk pundaknya, bermaksud untuk menyuruhnya pulang. Bukankah lebih nyaman bila ia tidur di rumah?”
“Gary, apa mungkin Lawson sedang dalam keadaan mabuk?”
Gary menggeleng, “Sepertinya tidak. Vodka yang ada di mejanya bahkan belum tersentuh. Sejak aku datang, ia tidak meneguknya sama sekali. Botol itu hanya berkurang sedikit isinya. Kurasa, itu tidak akan membuatnya mabuk sama sekali.”
Anna kali ini yang mengangguk, seolah paham dengan maksud Gary.
“Lawson berkata padaku bahwa ia bermimpi di tengah tidurnya itu.”
“Bermimpi?”
“Iya. Lawson bilang, ia mengikuti gadis yang sejak tadi melambai-lambaikan tangannya di tangga. Lawson mengikutinya dan sampailah ia di ruangan pojok itu.”
“Lalu?”
“Interior ruangan itu terlihat seperti bangunan kuno. Tiba-tiba, Lawson dikejutkan oleh seorang lelaki asing yang mengacungkan pedang ke arahnya. Lawson berkali-kali bertanya ‘ke mana lukaku pergi?’ yang ini aku tidak mengerti maksudnya.”
“Tak lama, dering telepon terdengar.”
“Telepon dari Winessa.”
“Benar. Telepon itu darinya. Lawson mengangkat panggilan, mengucap beberapa patah kata, lalu berpamitan padaku untuk pergi saat itu juga.”
“Sebelum pergi, ia memberitahuku tentang gadis yang melambai-lambaikan tangannya itu. Katanya, gadis itu adalah Melyn.”
“Melyn? Kekasih Lucio sejak di sekolah menengah? Tante ingat, Lucio pernah membawanya saat pesta ulang tahun Lawson.”
Gary mengangguk, “Benar, Tante. Perempuan itu. Namun, di sinilah letak kejanggalannya.”
“Maksudnya?” Anna tidak begitu paham.
“Perempuan itu tewas sejak dua tahun lalu.”
Anna tercengang. Mungkinkah orang yang lama mati bisa menemui orang hidup?
“Ingat kejadian Badai Eta? Kebetulan Melyn dan Lucio sedang berada di Guatemala saat badai itu terjadi. Lucio terselamatkan, tapi tidak dengan Melyn. Perempuan itu tertimbun longsor.”
Anna membekap mulutnya. Betapa menyedihkan kisah cinta Lucio dan Melyn.
“Dan maksud mimpi yang Lawson ceritakan? Apakah ini saling berkaitan?”
Gary mengangkat bahunya pelan. Ia juga tidak tahu. Tak lama, seseorang membuka pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Di belakang sana, setelah pintu itu terbuka, seorang lelaki dengan wajah pucat baru saja tiba.
“Lucio!”
***
Anna mendekati Winessa yang tertidur di tepian ranjang milik Halum. Setelah tangisnya pecah semalaman, kepalanya terasa berat dan linglung. Ia menyandarkan kepalanya sambil terus menggenggam tangan anak lelaki yang sangat ia cintai. Berharap, ketika ia tak sengaja tertidur, tangan itu akan bergerak membangunkannya seperti yang selalu mereka lakukan saat mereka masih kecil.
Dengan hati-hati, Anna meletakkan salah satu tangannya di pundak Winessa. Perempuan itu menepuknya berkali-kali agar ia terbangun.
Tak lama, tubuh itu tergerak. Winessa mendongakkan kepalanya yang begitu berat. Dengan mata yang sudah bengkak karena tangis semalaman, hampir sama dengan mata milik Anna, ia akhirnya memandang perempuan yang sudah membangunkannya dari tidur.
Anna menarik bangku tunggu, menjejerkan diri hingga berhadap-hadapan dengan Winessa. Ia menatap mata adiknya begitu dalam. Rasa sakit yang menghujani d**a bukan hanya milik Winessa, tapi juga menjadi miliknya karena Lawson turut menjadi korban atas apa yang terjadi.
“Aku tahu, kau menyimpan sesuatu, Winessa,” katanya, memulai pembicaraan dengan suara yang parau.
Winessa yang duduk tepat di depan Anna masih terdiam. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang sudah pucat.
“Lawson, sebelum hal ini terjadi, ia mengalami sesuatu.”
Mendengar ucapan Anna, Winessa mulai merespons. Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk, menutupi air mata yang sudah mulai membanjiri lagi kedua pipinya. Tiap kali mata itu terbuka, tiap kali ia melihat kedua anaknya terkulai lemah tak berdaya, air mata itu akan menerobos tanpa ampun dan mengalir di pipinya.
“Ia bertemu dengan Melyn. Perempuan yang tewas dua tahun lalu dalam kejadian Badai Eta di Guatemala.”
Anna mengeluarkan handphone dari sakunya. Ia membuka pesan bergambar dari Gary. Terlihat empat orang berjajar dengan senyum yang mengembang. Gary, Lawson, Lucio, dan Melyn.
Anna menyodorkannya pada Winessa. Raut wajah Winessa seketika berubah. Terlihat begitu terkejut. Ia tahu perempuan itu. Sangat tahu.
“Bagaimana mungkin?”
“Itu adalah Melyn.”
Winessa membekap mulut seakan tidak percaya dengan perkataan Anna.
“Perempuan itu terus melambaikan tangannya pada anakku.”
“Sebelum mengangkat telepon darimu, Lawson sempat tertidur dalam sebuah ruangan di Bar. Gary yang menemukannya.”
Dihujani banyak pernyataan dari Anna, Winessa masih terlihat kaget.
“Katakan padaku, Winessa. Kau tahu sesuatu?”
Winessa mengangguk cepat.
“Perempuan ini. Aku tahu perempuan ini, Anna. Dia penghuni abadi Riveria.”
Anna mengerinyitkan dahi.
“Apakah Lawson mengalami hal lain?”
“Ah, Gary bilang Lawson bermimpi bertemu seorang lelaki bertopeng besi. Lelaki itu bahkan mengacungkan pedang ke arahnya. Lawson berkali-kali bertanya pada Gary tentang luka di tubuhnya. Namun, bukankah itu hanya mimpi?”
“Mimpi yang sama.”
“Mimpi yang sama? Dengan?”
“Halum. Sebelum anakku menutup telepon, ia bercerita bahwa banyak orang memasukki rumah kami. Mereka terdengar seperti saling serang dan mengacungkan pedang. Sampai satu orang yang berbaju besi mengacungkan pedangnya pada Halum.”
Anna terperangah. Bagaimana mungkin mimpi milik Lawson sama persis dengan mimpi milik Halum?
Keduanya saling tatap, Winessa menaruh lengannya di bahu Anna.
“Ini bukan sebuah kebetulan, Anna.”