Episode 6 : Apes

1210 Kata
Apes. Slamet bahkan baru memasuki ruang tamu dari rumah dukun sakti bernama Sakri, tapi pria tua yang kepalanya sudah dipenuhi uban dan tidaklah lain Sakri sendiri, langsung sibuk muntah. Sakri tunggang langgang meninggalkan Slamet dengan kedua tangan sibuk meremas perut. Sakri muntah-muntah parah, sedangkan Slamet yang ditinggalkan hanya terdiam pasrah. Slamet melepas kepergian Sakri sambil sesekali menatap cempe atau anak kambing yang Slamet dekap penuh sayang. “Padahal aku cuma pengin jadi orang ganteng tanpa operasi plastik, sama kaya tanpa harus capek-capek kerja, loh. Eh ini, belum apa-apa si Mbah dukun sudah langsung huwe-huwe!” keluh Slamet. Slamet Rahardi, merupakan perjaka tua yang memiliki kehidupan kelewat susah. Berusia tiga puluh tahun, dan paling malas kalau disuruh mandi. Dan selain terlahir menjadi miskin, Slamet yang notabene pengembala kambing, memang memiliki kelebihan lain yaitu kelebihan bau badan. Bau badan Slamet memang sangat ‘keterlaluan’, di mana Sakri baru saja membuktikannya sendiri. Aromanya yang begitu busuk sekaligus menusuk, membuat isi perutnya berputar kencang seolah mendadak dihantam tsunami sebelum akhirnya menuntut untuk dimuntahkan. Byurr ... Satu gayung air menyiram wajah Slamet. Slamet yang awalnya masih berdiri termenung, merenungi nasibnya yang malang dan selalu jadi bahan hinaan, refleks terpejam. Kemudian, tanpa mengusap wajahnya yang basah, Slamet menatap Sakri. “Mbah ... ‘kumaha keprimen’, sih? Kan saya belum cerita apa-apa, kok malah langsung diguyur? Yang saya mau itu, ganteng tanpa operasi, terus kaya tanpa harus capek-capek kerja!” ucap Slamet nyaris menangis saking nelangsanya. “Ganteng tanpa operasi, kaya tanpa capek-capek kerja, saya saja mau kalau gitu! Masalahnya, jangankan manusia, setan pesugihan saja langsung pada pingsan karena enggak kuat nahan bau badan kamu!” omel Sakri sambil melotot menatap Slamet sedangkan tangan kanannya yang memagang gayung, terus menunjuk-nunjuk wajah Slamet. “Heran ... bisa-bisanya ada tubuh sebau busuk ini? Hobi makan bangkee apa gimana?” gerutu Sakri sambil berlalu dari sana. “Eh ... Mbah ... Mbah, terus aku gimana?” rengek Slamet sembari menyusul Sakri. Sakri kembali balik badan, membuatnya menatap sekaligus kembali menghadap Slamet. “Bisa-bisanya kamu masih di sini? Minggat kamu! Setan pesugihanku langsung pada pingsan bahkan sebagiannya minggat gara-gara baumu keterlaluan! Panjang urusannya kalai sudah begini!” omel Sakri. “Te-terus?” Slamet benar-benar bingung harus berbuat apa. “Te-terus?” Sakri kian memelotot kesal, sebelum akhirnya melemparkan gayung di tangan kanannya ke arah Slamet. Pletak ... gayung memang mendarat di jidat Slamet. Namun, yang membuat Sakri kesal, Slamet tak lantas pergi. Sebab pria dekil yang jemarinya dihiasi cincin batu akik warna-warni berukuran besar mengalahkan tiga cincin di jemari tangan Sakri, justru lari ke meja pasren di sebelah. Slamet mengacak-acak t***k bengek di sana tanpa terkecuali beberapa keris pusaka yang sampai Slamet tindang. “Slamet ... kualat kamu! Berani kamu main-main begitu, lihat apa yang terjadi setelah ini!” teriak Sakri. Tepat setelah Sakri berseru, gemuruh guntur terdengar menggelegar disertai kilat sekaligus angin kencang. Suasana mendadak menjadi mencekam, seolah akan datang badai besar. Sampai-sampai, cempe dalam dekapan Slamet memilih kabur mengikuti arah embusan angin. “Pe ... Cempee!” Slamet yang sama sekali tidak menggubris teguran Sakri atas ulahnya beberapa saat lalu dan sampai nekat joged-joged di meja pasren, berlari sekencang mungkin untul mengejar cempenya. Slamet terus mengejar di tengah angin kencang yang sampai membuat tubuhnya nyaris ikut tergulang. Beruntung, Slamet bisa menangkap cempenya. Meski ketika ia sampai rumah, ia justru disuguhi kenyataan kambing-kambingnya tengah lari tunggang langgang dalam keadaan berpencar. Slamet bingung sebingung-bingungnya. Ia harus menyelamatkan dua puluh kambingnya yang lari keakutan menuju arah berbeda. “Eh, Mbing ... mau pada ke mana? Ayo pulang, masuk kandang!” Slamet terus mengejar kambing-kambingnya ke sana kemari tanpa melepaskan cempe dalam dekapannya. Sedangkan Sakri yang penasaran dengan apa yang kiranya akan menimpa Slamet, diam-diam menyusul Slamet. Pria yang mengenakan blankon warna hitam lengkap dengan setelan batik lengan panjang warna senada itu, diam-diam menginjan. “Astaga ... sengeri ini?” gumam Sakri yang sampai mendekap pohon pisang untuknya berlindung. Ia dapato, Slamet yang tengah lari ke sana kemari mengejar kambing-kambingnya tanpa hasil. “Kira-kira, apa yang akan terjadi dengan Slamet? Serius, ya. Si Slamet kualat. Dan badai tak berair ini menjadi buktinya. Jedueeer! Slamet tersambar petir. Tubuhnya terkapar di lahan rumput yang biasanya diarit oleh Slamet untuk makan kambing-kambingnya. Sedangkan kepala Slamet, Sakri dapati menghantam patok pembatas tanah atau yang warga setempat sebut sebagai ‘batian’. Kenyataan yang menimpa Slamet langsung membuat Sakri syok. Sakri yang langsung ketakutan refleks lari tunggang langgang dari sana. Seolah semuanya baik-baik saja, arwah Slamet yang keluar dari tubuh, tetap mengejar kambing-kambingnya. Seketika itu pula, kambing-kambing Slamet tak hentinya bersuara bahkan semakin lama semakin lantang. Seolah mereka mendapati penampakan. Awalnya, Slamet baik-baik saja bahkan justru mengajak kambing-kambingnya yang tetap tidak bisa ia tangkap satu pun, dengan tawa. Akan tetapi, ketika akhirnya Slamet terjatuh dan itu karena salah satu kakinya menyandung sesuatu, semuanya menjadi berubah. “Ha ...?” Slamet menatap ngeri apa yang ia dapati dan tak lain tubuhnya sendiri selaku penyebab ia terjatuh. “Walah dalah ... kenapa itu aku?” tangis Slamet pecah bersama suasana badai yang seketika mereda. **** “Katakan kepadaku, apa yang terjadi?” Marchel tak hentinya bertanya-tanya. Ia meratap pilu tubuhnya yang terkapar di tepi jalan, sedangkan kepalanya yang berdarah tepat mendarat di trotoar. “Tolong aku ... aku akan menikah ....” Kali ini, Marchel tak kuasa menahan air matanya. Kesedihan sekaligus rasa cintanya terhadap Yiara yang selama ini susah payah ia sembunyikan, tumpah melalui air mata berikut isaknya yang terdengar sangat pilu. Marchel sudah berulang kali mencoba menyentuh tubuhnya sendiri, tapi ia tak bisa melakukannya. Marchel menyerah dan memilih kembali mendekati Krystal yang anehnya hanya diam kebingungan. Meski bisa Marchel pastikan, kedua mata Krystal sampai berkaca-kaca. “Tolong katakan kepada keluargaku, kepada Yiara, atau Kak Keyra dan Mas Arden. Aku Marchel di sini. Aku butuh bantuan mereka. Aku benar-benar minta tolong, Ngel!” “Sebentar lagi harusnya aku menikah. Tapi karena kesalahpahaman, aku ... aku kehilangan kepercayaan itu. Aku ....” Marchel terus meracau tidak jelas. “Aku bukan manusia. Dan tidak sembarang mahluk hidup apalagi manusia bisa melihat apalagi berkomunikasi denganku,” ucap Krystal. Marchel menatap tak mengerti Krystal. Wanita super cantik di hadapannya dengan rias wajah terbilang berani itu menatapnya dengan menyesal. Dan belum juga Marchel menanyakan maksud Krystal, kedatangan Slamet yang tiba-tiba disertai aroma busuk yang begitu menusuk, justru membuat Marchel maupun Krystal tunggang langgang menghindari Slamet sembari muntah-muntah. “Apa-apaan sih, ini? Kenapa mendadak bau bangke begini?” keluh Marchel di sela keaibukannya muntah. Rasa mual itu sungguh sulit ia tahan dan membuat lambungnya seperti diperas. Dengan tidak merasa bersalahnya, Slamet yang langsung tertarik dan menyukai Krystal justru mendekati wanita cantik itu. “Hei ... Minggir!” Krystal kocar-kacir menghindar. Apes, benar-benar apes. “Baru kali ini aku bertemu arwah beraroma busuk!” uring Krystal yang memilih menghilang dalam sekejap. Membuat Slamet hanya versama Marchel. Marchel dan Slamet yang saling berjauhan, mendadak menatap satu sama lain seiring dunia mereka yang seolah berhenti berputar. “Gantengnya ... iya. Aku pengin ganteng kayak dia!” batin Slamet yang langsung mengagumi penampilan Marchel. “Aneh ... ngeri. Dia, manusia, apa ... arwah penasaran juga kayak aku?” pikir Marchel yang buru-buru lari lantaran Slamet mendadak mendekat bahkan sampai mengejarnya. “Hei ... jaga jarak!” raung Marchel ketakutan dan kembali muntah-muntah. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN