8. Strategi

2598 Kata
Rengga POV. Lalu berakhirlah kami di tukang nasi goreng pinggir jalan di kawasan jalan Mahakam Blok M. Ini pusat anak anak gaul Jakarta untuk nongkrong. Tidak banyak sih yang mereka lakukan, rata rata hanya ngobrol sambil makan nasi goreng atau jajanan lain lalu di bawa masuk mobil yang terparkir. Sama saja seperti pergaulan anak remaja lain, hanya mungkin karena mereka rata rata membawa mobil, jadi pembedanya di situ. “Udah elo dalam mobil aja makannya sama Rengga, tar elo ngamuk lagi” kata Karin waktu Sinta bersiap turun. Sinta tertawa lalu menurut diam di mobil denganku walaupun dia membuka kaca mobil dan aku mengikuti. Kami mengawasi Karin dan yang lain di luar di depan mobilku. Mereka tampak bersenang senang karena terus menerus tertawa dan bercanda gurau. “Tangan elo sakit gak habis hajar orang sebanyak itu?” tanyaku memecah kesunyian. Sinta tertawa lalu menatap kepalan tangannya sendiri. “Paling besok memar dikit, jauh ke perutlah Reng” jawabnya. Aku mengangguk. “Jagoan beda ya reaksinya, kalo gue pasti udah cari es batu” komenku. Sinta tertawa lagi lalu kami diam karena Kendi mendekat dan memberikan nasi goreng bagian kami. “Reng!!” “Makan dulu baru ngomong lagi” kataku. Sinta menurut makan, dan aku ikutan makan. Aku makan dengan mode cepat, karena kami belum punya minuman. Kendi dan yang lain mungkin lupa, karena mereka di luar juga makan, masih sambil bercanda. “Wait!!” kataku keluar mobil lalu membeli minuman untukku dan Sinta. Aku membayar juga semua makanan yang di pesan Kendi juga minumannya. Masa Kendi trus yang bayar terus. “Thanks Bro!!” kata Kendi. Aku hanya tersenyum lalu masuk mobil lagi untuk memberikan Sinta minum. “Makasih Reng” ungkap Sinta juga. Setelah abang penjualnya membereskan piring bekas makan kami, dan Kendi malah main gitar dengan yang lain, aku dan Sinta jadi bengang bengong lagi. “Tadi elo mau ngomong apa?” tegurku. Baru dia menoleh menatapku. “Elo selalu selembek itu ya hadapin orang yang mungkin ganggu diri elo?” tanya Sinta. Aku mengerutkan dahiku. “Kolerasinya sama kejadian mana nih?, kejadian tadi?, yang gue cegah elo hajar atau matiin orang?” tanyaku membalas. Sinta mengangguk. “Ganggu diri elo, bukan berarti selalu elo yang kena masalah bukan?. Bisa jadi teman elo yang kena masalah sama orang dan elo kebetulan ada di sana seperti kejadian tadi. Memang gue sih yang kena masalah, tapi bagian petugas parkir yang korup kembalian parkir, itukan elo yang kena masalah. Hak elo di ambil, tapi elo malah cegah gue yang bela elo” jelas Sinta. Aku menghela nafas. “Gak bagus Reng, diam terus saat orang lain jahatin elo, atau masa iya elo diam juga saat teman elo kena masalah, sementara elo ada di situ juga. Lalu di mana nurani dan harga diri elo, kalo elo malah diam?” cecar Sinta lagi. “Lalu menurut elo, harusnya gue ikut melawan atau membela diri?” tanyaku. “Jelas, elo laki, masa sepengecut itu” jawab Sinta. Aku tertawa pelan dan Sinta mengerutkan dahinya menatapku. “Jadi buat elo patokan lelaki berani itu harus menyelesaikan masalah dengan cara berantem atau marah marah?” tanyaku. “Iyalah, laki kan lebih kuat dari cewek. Hal yang paling mungkin di jadikan patokan, untuk menunjukan lelaki berani ya dengan adu jotos” jawab Sinta. Aku tertawa pelan lagi. “Kenapa sih elo ketawa terus dari tadi?” tanyanya. “Gak apa, mau ketawa aja” jawabku. “Bilang gak!!. Gue tembak nih kepala elo!!. Gue gak suka orang yang malah milih lari dari sebuah perdebatan, walaupun untuk menghindari pertengkaran” ancamnya. Aku menghela nafas. Berat juga obrolan perawan Jendral. “Kalo menurut elo tolak ukur keberanian lelaki terletak di seberapa hebat dia dalam pertarungan, lalu halo apa kabar dengan bung Karno, bung Hatta, yang setau gue gak bisa namanya nembak orang. Malah mereka itu pegang pistol aja rasanya gak pernah. Atau para diplomat, para menteri pertahanan non militer yang sering melakukan perundingan damai di meja konfrensi?. Apa menurut elo mereka bukan lelaki pemberani atau perempuan pemberani, karena ada juga beberapa dari mereka yang perempuan, datang ke suatu negara yang jadi musuh negaranya untuk melakukan perundingan untuk dealing politik, gencatan senjata atau malah bawa misi perdamaian?” tanyaku. Sinta diam. “Memang sih untuk datang ke daerah musuh mereka di kawal sekompi pasukan tentara dan di mediasi PBB, atau negara yang di tunjukan sebagai penengah. Tapi tetap aja resiko, gak ada yang tau bukan berapa banyak sniper yang di pasang diam diam?, kalo nantinya perundingan deadlock” tambahku. Sinta bertahan diam. “Atau contoh dalam negeri. Elo tau peristiwa Rengas Dengklok?, sehari atau dua hari sebelum akhirnya Bung Karno dan bang Hatta memproklamirkan kemerdekaan?” tanyaku. Sinta mengangguk kali ini. “Tau bukan kalo bung Karno dan bung Hatta di culik sekelompok pemuda yang memaksa agar segera memproklamirkan Indonesia merdeka karena takut bung Karno dan bung Hatta terpengaruh Jepang lalu batal memproklamirkan kemerdekaan. Apa menurut elo bung Karno dan bung Hatta kurang berani mati karena nyatanya mereka bersedia ikut, tanpa tau maksud dan tujuan mereka di culik. Dulu belum ada tentara sebagai aparat negara, tapi mereka pasrah ikut, pasrah pada apa pun yang mungkin terjadi nantinya” kataku lagi. “Intinya apa?” cecar Sinta. Aku menghela nafas. “Intinya?, menurut gue ya?. Gak masalah buat gue kalo elo gak sependapat. Kita ada di negara hukum dan bebas mengeluarkan pendapat. Kalo menurut gue, tolak ukur orang bisa di sebut berani itu bukan seperti elo yang menjadikan kekuatan fisik sebagai acuan. Tapi…ini Sin” kataku menunjuk keningku sendiri. Sinta mengerutkan dahinya lagi. “Orang yang berani orang yang punya otak dan bukan hanya punya kekuatan fisik. Perang aja butuh strategi untuk mempelajari kelemahan musuh. Setelah punya strategi pun butuh taktik untuk mengelabui musuh, juga untuk memperkecil korban atau kekalahan seadainya kekuatan kita kalah besar dari musuh. Dan menurut gue orang yang hanya mengandalkan kekuatan fisik, tanpa menggunakan otak untuk berpikir, sama aja bunuh diri” jawabku. Sinta bertahan diam. “Okeylah nyali juga penting. Kalo gak ada nyali juga repot, mau melangkah aja bisa maju mundur. Tapi tetap Sin, butuh berpikir dulu sebelum bertindak” masih aku yang bicara. “Lalu?” tanyanya bersuara. “Sekarang gini, seperti yang tadi elo lakuin, gue setuju elo bela diri elo, lalu elo bertindak spontan karena emosi elo. Tapi apa elo sempat berpikir gak, kalo tuh orang orang yang elo hajar ternyata bergerombol, punya banyak teman, lalu balas dendam di luar, sementara yang bisa benar benar gelud elo doang” kataku. “Untuk itu gue bawa pistol, bisa gue tembak” jawabnya santai. Aku tertawa sambil mengangguk. “Bisa begitu kalo elo mau mengundang masalah yang lebih besar dan menyeret orang lain dalam pusaran masalah yang elo buat. Bisa aja kita yang lagi sama sama elo ikutan di ciduk dan harus ikut bertanggung jawab. Lihat gimana takutnya Kendi karena bokapnya seleb, kalo masalahnya membesar gimana?. Lalu bokap elo yang kemungkinan kena skorsing atau penurunan jabatan karena ketahuan kasih elo Senpi tanpa izin. Gue, Karin, Putri atau Clara pasti kena masalah juga kalo orang tua kita tau masalah ini” jelasku. “Jadi menurut elo gue mesti diam aja?” tanya Sinta. “Gak juga, hanya kalo elo bisa lebih tenang, kan bisa elo tangkap dulu laki yang berusaha lecehin elo. Kita negara hukum, bokap pun tentara yang ngerti hukum. Pasti marah juga kalo elo justru melanggar hukum” jawabku. Gantian Sinta tertawa. “Elo gak kenal bokap gue. Dia bisa kok beresin orang yang hampir mati kena hajar gue, waktu tuh orang berusaha nyopet dompet gue di jalan” jawabnya. “Dan elo senang pakai kuasa bokap elo untuk beresin orang yang mau nyakitin elo?. Kok terdengar seperti pengecut ya, karena elo berusaha cuci tangan dari masalah yang buat elo buat?” ejekku. Sinta melotot. “Elo dengarkan kalo tuh orang mau nyopet dompet gue?” omelnya galak. “Tapi gak jadikan karena keburu elo tau?” sanggahku. Sinta diam. “Itu namanya menghakimi Sin. Elo hajar dia sampai hampir mati, pasti harganya gak sebanding sama isi dompet yang mau dia copet. Itu sama artinya elo bertindak seenaknya karena tau elo punya kuasa lewat papi elo. Salah gak kalo gue bilang itu sikap pengecut?. Gak banding soalnya antara kekuatan anak jendral sama tukang copet jalanan” jelasku. Sinta menghela nafas. “Maaf…kalo buat elo tersinggung, gue ngomong berdasarkan sudut pandang gue. Dan gue sepenuhnya menghargai pendapat dari sudut pandang elo. Latar belakang kita beda, elo anak jendral, gue anak orang dari kalangan biasa, jelas gak akan sama” kataku takut dia marah. Dia mengangguk. “Kita tetap bertemankan?” tanyaku. Sinta tertawa. “Apaan sih lo?, no baperlah” jawabnya lalu mendorong bahuku. Dia bilang no baper tapi sepanjang pulang dia diam menatap keluar jendela. Udah Karin juga melakukan hal sama. Jadi aku bingung sendiri. “Gue turun rumah Karin Reng. Kar gue nginep rumah elo ya?” tanya Sinta menoleh ke belakang. “Nginep aja, rumah gue kosong” jawab Karin. Hadeh…kok jadi gini. “Ini gue aman gak sih sampai rumah?” tanyaku begitu sampai rumah Karin dan menjeda mereka turun dari mobil. “Kalo elo takut pulang, nginep aja di rumah gue. Rumah gue kaya hotel, kamarnya banyak. Gak usah bayar, abang gue juga asyik, dia sering juga bawa cewek nginep di rumah gue” jawab Karin santai sekali. Sinta yang tertawa dan aku menggeleng. “Bukan takut karena pulang hampir subuh. Takut doang diam diam elo siram mobil gue pake bensin, trus Sinta tembak mobil gue, trus gue di panggang hidup hidup, terus mayat gue elo bertiga sama Noni kubur di kebun teh. Gue masih mau kuburan gue punya papan nisan, masa iya John Doe, kasihanin gue dong, masa di perlakukan macam mayat gak di kenal dalam perang” keluhku bergurau. Kompak Sinta dan Karin ngakak. “Lebay lo!!” omel Karin mendorong bahuku. Baru aku tertawa. “Emang kenapa sih Reng?” tanya Sinta. Aku mengusap tengkukku. “Elo berdua diam dari tadi, sedangkan gue tau, elo berdua psiko, kan gue jadi takut bikin salah, trus gue masuk daftar target orang mesti di habisin” jawabku. Mereka terbahak lagi. “Karin tuh gak jelas kaya orang galau, makanya mesti gue temanin, takut dia bunuh diri” ejek Sinta. “Lah, lempar batu sembunyi tangan, elo aja diam aja. Padahal gue kasih kesempatan berduaan. Gak elo cipok ya Reng?, payah” ejek Karin membalas. Aku terbahak melihat Sinta meringis. “Karina…” rengeknya lalu keluar mobil. Karin terbahak lalu ikutan turun dari mobil. Aku lalu membuka kaca mobilku. “Baik baik elo berdua, gue balik dulu” pamitku. Mereka tertawa lalu mengangguk melepasku pulang. Mungkin mau curhat curhatan, cewekkan suka begitu. Aku sih tau, sepertinya Karin ada masalah dengan Obi. Teman angkatan kami dan teman sekelasnya. Obi aja mendekatiku di kantin waktu masuk sekolah dan menanyakan Karin yang pergi dugem. Ya aku jelaskan sesuai yang aku tau dan hasil pengamatanku. Obi terlihat lega setelahnya. Habis Obi, aku harus menghadapi Nino, lelaki keceh yang selalu menggoda Queen teman karib Karin dan sekarang akan jadi teman Sinta juga, karena mereka masuk satu ekskul. “Reng!!, Obi bilang Karin jadi dugem ya sama elo sama Sinta” katanya sambil merangkul bahuku sok akrab. “Sama genk borju yang lain” tambahku. “Eleh, sok ekslusif pake nama genks borjuis. Emang elo semua turunan bangsawan Inggris. Kalo Noni gue baru tuh pantes Reng jadi turunan ratu, namanya aja QUEEN” komennya. Aku tertawa, okey, jadi Noni itu nama lain Queen. “Lepas ah, kaya homo” kataku melepaskan diri. Nino tertawa. “Bagus banget Noni gue gak mau gabung sama genks borju lagi trus milih gabung sama gue dan trio curut” komen Nino. Siapa lagi trio curut?, apa mungkin maksudnya Roland teman sebangkuku, lalu Obi dan Omen yang veteran karena tidak naik kelas?. Soalnya Nino selalu bersama dengan mereka bertiga. “Noni gue ngerti di sayang. Ngapain coba dugem, kalo di grepe orang gimana?, rugi gue” komen Nino lagi. Aku tertawa, mau cerita kalo Sinta hampir di grepe di club, Nino pasti makan heboh. Malas aku menanggapinya. “Reng, anak kesenian mau LKDS ya ke Cibubur. Pasti rapat rapat gitukan?” tanya Nino lagi. Dan langsung aku sadari dia bawel sekali untuk ukuran lelaki. “Kayanya sih, kenapa?” tanyaku. “Gue mesti kawal Noni, nanti dia di godain orang, udah gue pantekin ya Reng, awas lo demen sama Noni gue. Elo mah pepet aja perawan jendral, Roland gak minat kok, katanya gahar banget jadi cewek, mainannya pistol” kata Nino. Aku lagi lagi terbahak. “Roland takut kali?” tanyaku. “Elo sendiri takut gak?” tanya Nino membalas. “Dikit” jawabku. Nino ngakak. “Elo sih keker cewek jagoan, gue doang pepet cewek lembut macam Noni, perhatian banget Noni tuh, walaupun bilang gue bastart trus. Cewekkan gitu, suka malu malu” komen Nino. Aku jadi menatap Nino yang masih cengar cengir gak jelas. “Elo anggap masalah gak sih Noni cap elo bastart?” tanyaku. “Lah pikirin amat, mau dia bilang gue bastart kek, mau bilang gue b*****t kek, gue mah maju trus sampai Noni nyerah trus mau jadi cewek gue” jawabnya santai. Aku diam. “Jangan jangan Sinta bilang elo pengecut karena elo gak jago gelud?” ejek Nino. “Sok tau” protesku. “Lah Roland bilang elo kaya Rangga suka sastra sama puisi. Jadi gue nebak elo lebih suka duduk bikin puisi di banding elo ikut taekwondo macam Omen, apalagi elo masuk ekskul teater” jawabnya. “Iya kali ya” komenku. Nino tertawa. “Gak apa Reng gak bisa gelud, tiru noh Obi gesrek, pantang mundur walaupun cemen gak berani tarung. Gue ajak hantem kakak kelas aja jiper. Muka bonyok dikit panik. Tapi dia tetap aja pepet anak juragan minyak, laki mah yang penting punya urat malu yang putus kalo udah hadapan sama cewek yang di suka. Elo tiru Obi, mau Sinta bilang elo cemen sekalipun, pepet aja trus. Lama lama juga luluh, gampang cewek mah, belajar sama gue caranya taklukin cewek” katanya jumawa. “Nantilah kalo elo udah berhasil naklukin bule. Berarti strategi urat malu putus untuk dekatin cewek berhasil” ejekku. Nino ngakak lalu dia bangkit tiba tiba. “Noni gue Reng, cabut ya gue, mau pepet bule” pamitnya. Aku tertawa sambil mengawasi gimana Nino menggoda dan mengganggu Queen, Noni yang dia maksud. Ada Karin dan Sinta juga, karena mereka masuk kios bakso. Aku menghela nafas, aku termasuk tidak punya urat malu gak sih, kalo aku tetap mengawal Sinta pulang, walaupun dengan mobil kami masing masing?. Aku tidak bisa menebaknya lagi. Obrolanku dengan Sinta saat kami pulang dugem, membuatku ragu, kalo Sinta punya simpatik padaku. Gak usah suka aku deh, aku rasanya over ekspektasi. Sebenarnya asal dia bersimpatik padaku aja, sudah cukup untukku. Aku semakin hilang kepercayaan diri untuk berharap lebih, mengingat aku termasuk lelaki pengecut versi Sinta. Sinta pasti lebih suka pada lelaki yang punya kekuatan besar macam dirinya. Lalu aku mengerutkan dahiku membaca status Sinta di handphoneku. Bergeraklah secepat angin, lalu tenang seperti hutan. Menyeranglah seperti api, lalu diam seperti gunung. Ini strategi perang dari Sun Tzu. Angin, hutan, api, gunung, atau Furinkazan. Maksud dari strategi perang ini, saat pasukan melakukan pergerakan, harus secepat angin, lalu tenang seperti hutan saat harus berdiam diri menunggu musuh, lalu menyerang seperti api yang membara saat musuh datang, lalu saat mendapat serangan, mereka akan bertahan sekokoh gunung. Aku jadi mengacak rambutku, ini kode kalo aku mesti jadi tentara bukan sih macam papinya?. Kan strategi perang itu bisa di pakai kalo perang. Sepertinya perlahan aku harus mulai melepaskan sang Dewi. Aku bukan yang dia pilih. Kok sakit ya?.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN