7. Singa Betina

2608 Kata
Rengga POV. Aku awasi Sinta yang duduk tenang di sebelahku, dan sesekali melihat hiruk pikuk jalan dari kaca jendela mobil. Dia gak grogi apa ya?, aku rasanya sudah panas dingin semobil dengannya seperti ini. Dan penampilan Sinta itu…cantik sekali. Cantik dalam versi anggun yang aku suka, gak tau ya, perasaan aku saja atau memang dia selalu terlihat gemulai kalo dia bergerak. Dari mulai cara dia mengibaskan rambut, cara dia menoleh, cara dia tersenyum apalagi. Seperti adegan slow motion dalam film. Itu yang selalu membuat aku merinding. “Sin!!, serius gak apa jemput Karin malam gini?” tegurku. Kondisi mobil yang hening, jelas membuatku semakin grogi. Aku takut juga bunyi detak jantungku terdengar. “Bokap Karin pejabat minyak negara, Dipo Alam Mahardika, gue udah bilang belum sih sama elo?. Jadi orang tuanya tinggal di rumah dinas, macam papi gue. Jadi rasanya gak malasah, rumahnya kosong Reng” jawab Sinta. “Saudara?, Karin gak punya saudara?” tanyaku mengulang. “Gak tau deh gue, punya abang kayanya, tapi malam weekend gini pasti kabur juga sama teman temannya. Udah sih elo cement amat jadi laki” omelnya. Aku tertawa. Ya sudahlah lebih baik diam, daripada Sinta semakin ngamuk. Aku nantinya juga akan tau kalo sudah sampai rumah Karin. Dan benar Sinta, Karin sendiri di rumah, aku pura pura berniat pamit, dia bilang orang tuanya tidak ada di rumah, dan sedang berada di Arab karena pekerjaan. Aku langsung merasa, Karin persis aku yang kesepian. Hanya Karin tipe ekstrovet, jadi banyak bicara. Gayanya juga seperti banyak anak pejabat yang aku tau. Bossy dan angkuh, itu kesan pertamaku pada Karin. Pantas dia bisa berteman akrab dengan Queen, kenalan Sinta yang lain setelah audisi cheers. Gadis bule campuran Rusia sunda, dan cantik versi yang lain dari Sinta, dan Karin. Karin juga cantik, walaupun terlalu galak untuk ukuran cewek. “Kar kita dugem dimana?” tanya Sinta menjeda langkah Karin di depan. “Club lumayan sih, ada tiket masuknya, tapi kita dapat soft drink. Udah sih jangan kaya orang susah, paling berapa sih masuk club itu, nanti kalo elo gak suka minum gratisannya, tinggal mesen yang lain, slow Sin” jawabnya lalu melanjutkan langkahnya. Tuh apa aku bilang, angkuh, yang mengukur apa pun pakai uang. Sinta yang anak pejabat juga tertawa, maksudnya papi Sinta yang tentara jelas bisa di sebut pejabat seperti Karin, karena aparat pemerintah. Aku lalu menyusul masuk mobil lalu kami berlalu ke club tujuan atas saran Karin. Pengalaman pertamaku masuk club. Aku lihat Kendi yang terlihat santai merangkul Putri pacarnya, lalu Clara merangkul lengannya di sisi lain, aku memilih mengekor di belakang Sinta dan Karin. Agak ngeri juga melihat pengunjung club yang banyak dan rata rata anak muda. Aku pikir kasihan kalo Karin atau Sinta terdorong atau di senggol orang. “Gue yang bayar Reng, sekalian aja” kata Kendi berteriak bilang dia yang traktir tiket masuk. Aku hanya mengangguk. Aku bisa gantian bayar tagihan minuman di dalam, pikirku begitu. Cewek cewek juga bersorak girang karena di traktir. Ya masa iya mereka yang bayar walaupun tidak ada kewajibanku atau Kendi mengcover pengeluaran kami hang out. Ini lebih ke rasa tidak enak sih. “Open table aja biar bisa duduk santai” kata Karin setengah menjerit. Dia sepertinya tidak bohong kalo sering dugem. Dia tau sekali gimana supaya kami dapat tempat berupa sofa panjang dan dua sofa kecil. Berhimpitanlah kami duduk. Dan semua tidak luput dari perhatianku. Sinta dan Karin langsung menolak waktu Clara dan Putri menawari mereka rokok. Sempat mikir juga, untuk apa Karin suka dugem?, biasanya untuk belajar nakal bukan?. Mungkin khusus Karin untuk menarik perhatian orang tua atau menghilangkan rasa sepi. “Pesan minum gak?” tanya Karin lagi menjeda. “Bir aja Kar. Ngawal cewek mesti tetap waras” jawab Kendi di angguki Clara dan Putri. Mereka memang sering dugem, setauku ya. Tinggal Sinta dan Karin. “Gue cola aja apa orange jus” jawab Sinta. Aku menghela nafas lega bagian ini. Bukan apa, sang Dewi macam Sinta gak pantas mengotori dirinya dengan rokok dan minuman. Dia harus tetap suci walaupun berada di tempat berlumur dosa. Apa sih aku?, jadi puitis begini. “Elo Reng?” tanya Karin di sisi lain Sinta. “Hm…sama aja kaya Kendi” jawabku. Sinta tertawa. “Badas juga. Yakin gak teler?” ejek Sinta di sebelahku. Aku tertawa. “Dia udah gue ajarin caranya nanganin nenggak Bir, aman” komen Kendi. Lagi lagi Sinta tertawa. “Gue gak mau bersihin muntahan elo ya, kalo elo mabok” ancam Sinta. Aku hanya tertawa. Lalu Karin memesan minuman untuk kami semua. Aku pikir Karin akan memesan minuman seperti Kendi, Clara atau Putri, atau malah lebih strong dari Bir,ternyata pesan minuman seperti Sinta, hanya orange jus. Di luar dugaanku. Jadi di meja kami, hanya ada sepither Bir dingin dan 4 gelas, dua gelas orange jus dan makanan kecil macam kacang dan kentang goreng. Itu menu pelengkap orang minum bir, Karin tau soal ini. “Buat dorongan Ndi, Reng” ejek Karin saat Kendi tanyakan soal kacang kulit dan kentang goreng. Aku dan Kendi tertawa. Beneran sering dugem, atau menemani abangnya dugem atau temannya yang lain, itu penilaianku sementara pada Karin. Kalian taukan aku lebih suka diam menyimak?, jadi aku diam menyimak saja obrolan Kendi, Karin, Clara dan Putri. Sesekali Sinta menimpali untuk meledek, sisanya dia diam main handphone dan bersandar di bahuku. Ini yang membuatku grogi dan jadi tidak bisa bergerak. Aku sampai bersandar di sofa supaya Sinta nyaman, lalu mengabaikan birku. “Kok gak minum minum Reng?, takut beneran mabok ya?” tanya Sinta setengah teriak. Aku tertawa. “Elo menye menye, gimana gue minum” jawabku. Gantian Sinta tertawa lalu menegakkan duduknya. “Bosen Reng, terlalu rame, mau ngomong aja mesti teriak teriak” jawabnya tepat aku selesai minum birku yang rasanya pahit. Heran kenapa orang suka ngebir ya?. Kepalaku juga mendadak pening. “Trus kenapa elo antusias banget di ajak dugem sama Karina?” tanyaku ikutan bersandar di sofa. “Mau tau doang, Karin itu bengal apa gak, takut juga gue kalo dia junkie, tapi jangan bilang bilang Reng. Masa demen banget dugem, trus orang tuanya jarang di rumah. Terlalu mendekati ciri anak broken” kata Sinta. Ternyata dia butuh mengetahui temannya. Aku suka caranya mencari tau. Bukan untuk ikut masuk pusaran, tapi mencari tau, apa cocok jadikan Karin teman atau hanya sekedar kenal. “Lalu hasil akhirnya?” tanyaku. “Kayanya beli suasana doang, dia sendirian trus di rumah, jadi butuh tempat rame supaya gak bosan. Lihat aja, minum orange jus, nolak di tawari rokok juga. Padahal semua anak gaul Jakarta yang gue tau, kalo pun gak narkoba, pasti ngerokok” jawab Sinta. Aku mengangguk setuju. “Kalo Clara sama Putri?” tanyaku. Sinta tertawa pelan. “Kok ketawa?” tanyaku. “Mereka korban pergaulan doang. Lihat aja cara mereka ngerokok, setuju gak sih loh kalo itu bukan cara yang benar nikmatin rokok apa Bir?” tanyanya. Aku jadi mengawasi Putri dan Clara. “LIhat cara mereka merokok, masa gak di tarik trus di telan, mereka cuma hisap asapnya trus di kumpulin di mulut lalu di buang. Trus cara mereka minum Bir, persis elo yang buru buru minum tapi gak di rasakan macam orang minum kopi. Pasti gak tahan sama rasa pahit Bir, jadi buru buru di telan. Itu bukti mereka korban pergaulan doang, yang coba coba isap rokok dan minum Bir, tapi gak tau cara nikmatinnya. Mereka cuma gak mau di bilang cupu, sama anak gaul lain” jelas Sinta dan aku takjub bagian ini. “Wow” pujiku dan dia terbahak. “Kok elo ngerti?” tanyaku. “Rahasia…” jawabnya lalu mengerling manja. Aku jadi tertawa lalu aku merinding saat dia mendekat ke telingaku. “Secret make a women be women” bisiknya lalu terbahak sendiri. Aku yang bergidik karena terpaksa mencium wangi tubuhnya. “Dance yuk!!, enak nih DJ nya” jeda Karin berteriak. Baru aku lihat Sinta teriak heboh lalu bangkit mendahului yang lain. “Dari tadi dong Kar, bosen tau” cetus Sinta. Karin tertawa lalu yang lain ikutan bangkit berdiri lalu mereka bergerak ke dance floor. “Serius joget kita?” tanyaku pada Kendi. Kendi mengangkat bahunya. “Gak ada pilihan, tugas kitakan jadi pengawal” jawab Kendi lalu merangkul bahuku menyusul cewek cewek. Ampun deh, mesti banget joget joget gak jelas di antara lautan manusia yang haus hiburan dan merasa sepi. Mereka berteriak, lalu bergerak menggila mengikuti music hip hop, campur music progresiv yang sedang trend. Jadi sebagain besar dari mereka sesekali melompat dan berteriak girang. Astaga kepalaku rasanya mau pecah. Aku pencinta seni, termasuk semua genre music, tapi kalo terlalu keras begini, malah kepalaku pening. Masih lebih enak dangdut, atau reggae. Yang upbeat tapi masih slow. Sudah susah sekali mengikuti pergerakan cewek cewek yang kami kawal, yang dance dengan gila gilaan juga. Habis rasanya tenagaku kalo ikutan seperti Kendi yang melompat dan berteriak juga. “KYAAAAAAAAA” lalu jeritan melolong keras memecah kerumunan bersamaan dengan amukan SINTA. Astaga…bukan aku saja yang terhenyak tapi Kendi juga melihat Sinta menghajar satu orang cowok dan 4 lain menunggu giliran. Karin, Putri dan Clara kompak menatapku dan Kendi. “MINGGIR!!” jeritku menarik tangan cewek cewek untuk bergabung dengan Kendi sementara aku maju untuk menghentikan Sinta. Siapa yang berani melerai aksi Sinta yang mengamuk seperti singa betina. Pengunjung lain walaupun menyingkir dan membentuk area tarung, malah menonton dan bersorak memberi semangat sampai mucis mendadak berhenti. “SINTA!!!” bentakku keras. Dia hanya menoleh lalu tendangan kakinya mengenai wajah salah satu cowok lalu tuh cowok ambruk di lantai lalu mengerang. Sisa dua yang lain menatap nanar ke arah Sinta sama sepertiku. Gokil perawan jendral, santai aja dengan tetap memasang kuda kuda siap tarung lagi. “MAJU BASTART!!!, DUA SEKALIAN!!!” perintah Sinta tak gentar. Astaga…aku sudah menjambak rambutku frutasi saat kedua cowok yang tersisa maju menyerang Sinta secara bersamaan. Kendi baru maju mendekat padaku waktu 2 security dan empat centeng club masuk area pertempuran lalu satu centeng menahan tubuh mungil Sinta. “LEPAS!!!!” bentak Sinta karena tangannya di tahan ke belakang. Aku baru berani maju takut juga tuh tukang pukul emosi. Dan beneran emosi waktu dia melepas Sinta lalu Sinta menampar keras wajahnya. “ELO!!!” bentaknya. Ada Sinta takut?, tidak tuh, walaupun tubuhku menghalanginya bergerak. “APA!!!, GAK SENANG!!!, LAWAN GUE!!!” tantang Sinta galak meringsek maju lagi. “SIN!!!, please…” desisku memohon waktu aku menoleh ke arahnya. Baru dia tenang dan mundur. “b*****t!!!” umpatnya lalu meninju udara. Aku menghela nafas pelan lalu beralih pada si centeng. “Bawa temannya ke ruang security, buat keributan gini, bagus cewek, kalo gak habis sama gue” komen si centeng. Aku meringis, dan untung Sinta tidak dengar karena di rubung Karin, Putrid an Clara. Berakhirlah kami di ruang keamanan. Bukan tenang malah dia berdebat dengan Karin, Putrid an Clara justru pucat karena melihat 5 cowok yang Sinta hajar, wajahnya sudah bonyok tidak berbentuk. “Elo sih main hajar aja!!, gak bisa apa cukup teriak aja minta tolong Rengga sama Kendi?, jadi repot urusannya” omel Karin. “Lah, tangan gue gatel, segatel tangan mereka yang mau grepe gue Kar, enak aja!!. Emang badan gue milik negara” jawab Sinta sewot. Karin menggeram. “Bukan berarti elo mesti ekseksusi sendiri” omel Karin lagi. “Trus mau nunggu gue di lecehin dulu baru gue hajar?, rugilah gue!!. Belum aja papi gue tau, bisa di BOM di tempat” jawab Sinta. Astaga…nih dua anak pejabat spikopat banget. “DIAM!!!” bentak kepala security. Baru mereka diam, lalu prosedur BAP di laksanakan dengan menanyakan KTP kami. Jelas kami tidak punya, belum 17 tahun. Jadilah ada wacana memanggil orang tua kami. Baru ribet lagi, karena Kendi yang papanya seleb, menolak keras soal ini, bisa ramai kalo sampai media tau Kendi anak maestro music kena masalah di club. “Udah gue telpon papi gue aja, biar ajudannya yang beresin” kata Sinta dengan kuasanya dan sekarang dia mewek karena mendengar keluhan Kendi. Tadi aja gahar banget. “Mikir Sin, bokap elo Jendral, mau lo kena saksi karena anaknya buat onar di club?” omel Karin. Kepala security sudah memijat keningnya. “Slow..gak ada masalah yang gak kelar pake duitkan?” komenku hanya itu yang ada di pikiranku. “Gue telpon abang gue dulu” pamit Karin  Aku dan yang lain jadi menunggu karena Karin menjauh untuk menelpon. Aku pikir Karin memanggil abangnya karena tidak mungkin memanggil orang tuanya yang sedang di Dubai. “Gak usah telpon orang tua kami pak, akan ada orang yang urus masalah ini. Bapak tunggu saja” perintah Karin dengan mode angkuh begitu mendekat lagi. Seperti kepala security yang menatap Karin, kami pun begitu. “Kenalkan Dipo Alam Mahardika?” jawab Karin pada tatapan si bapak. “Atau kenal gak VIrgiwan Lukito?” Sinta ikutan menyela. Baru kepala security terbelalak, aku juga kaget. Virgiwan Lukito, Jendral bintang tiga, Wakil staff angkatan darat, artinya papi Sinta wakil pemimpin para tentara angkatan darat. Pantas Sinta segahar tadi. Papinya pemimpin para Jendral di bawahnya, walaupun masih punya bos yang jendral juga. “Anak penggede…” desis kepala security. Dan terbahaklah dua anak penggede yang di maksud lalu mereka berhigh five. Kendi yang meringis menatapku. “Sakit...” desis Kendi berbisik. Aku hanya tertawa. Uang memang segalanya, tapi terkadang uang saja kalah oleh kuasa orang orang yang di sebut pak security dengan sebutan penggede. Buktinya begitu asisten orang tua Karin, kami di lepas begitu saja. Aku menghela nafas kasar lalu mengawasi cewek cewek yang ceria lagi karena terlepas dari masalah lalu berencana makan nasi goreng. Pisah mobillah kami dengan posisi seperti waktu kami sampai sini. Karin ikut mobilku lagi dengan Sinta di sisi kemudi denganku. Aku pikir masalah selesai sampai sini, Karin juga diam dan sibuk dengan handphonenya di bangku belakang. “Mahal juga ya parkirnya” komenku menjeda kebisuan setelah membayar tiket parkir. Dan itu kesalahan, karena Sinta merebut struk berikut uang kembalian di tanganku lalu bergegas keluar mobilku. “Astaga…” desisku karena Sinta sudah menodongkan pistol dari tas slempang yang dia pakai lalu di todongkan ke petugas parkir. Aku buru buru keluar mobil, gak mungkinkan anak jendral bawa pistol mainan, apalagi ekpresinya sudah merubah garang lagi, yang tatapannya dingin macam pembunuh bayaran. “Cari mati sama gue. Gue emang mesti bunuh orang hari ini” kata Sinta walaupun si tukang karcis parkir hampir melemas di bawah todongan pistol dan wajah pucat hampir semaput. Aku menghela nafas pelan. “Sang Dewi di ciptakan bukan untuk melumuri tangannya dengan darah. Sang Dewi ada untuk menebarkan bahasa kasih sayang. Sang Dewi ada untuk menemani jiwa jiwa yang sepi dan kotor, agar bisa melihat cahaya putih kebajikan” kataku. Sinta menoleh menatapku lalu matanya meredup. Baru aku berani mendekat, lalu meraih pergelangan tangannya yang memegang pistol lalu menggeleng pelan menatapnya. “Bukan gue mau jeda atau membenarkan yang salah. Tapi…elo terlalu sempurna untuk melalukan sesuatu yang kotor. Lepas!!, cuma duit gak seberapa, bukan gue sombong juga. Hanya….” gue lalu menoleh pada masnya yang semakin pucat. Sinta mengikuti arah tatapanku. “Cukup elo kasih hukuman spikis macam begini. Menurut gue udah sebanding dengan kesalahan yang dia buat” lanjutku. Perlahan todongan pistol itu di turunkan lalu Sinta masukan kembali ke dalam tasnya. Aku diam diam menghela nafas lega. Aku tau maksud amarah Sinta, masnya salah juga nyantut uang kembalianku. Padahal bisa minta. “Selamat lo sekarang!!, lain kali mikir dua kali buat cari duit haram, di saat elo punya kesempatan cari duit halal!!!” omel Sinta. Aku buru buru mencekal tangannya untuk kembali masuk mobil, takut dia malah hajar lagi tuh tukang karcis parkir. “Silahkan sang Dewi” kataku membukakan pintu mobil untuknya. Dia tertawa. “Melted…” desisnya mengejek bersamaan usapan tangannya di pipiku. Astaga..aku mesti kuat mental menghadapi perawan jendral.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN