Rengga POV.
“Den Rengga, mau makan?” tegur bibi melihatku muncul di ruang makan dan baru bangun tidur.
Aku mengangguk lalu menarik kuris makan untuk duduk. Selalu seperti ini, aku sendirian lagi. Sepulang acara Pensi kemarin, aku memang buru buru pulang setelah melihat penampilan Sinta dan genk cheers. Tentu saja penampilan mereka bagus. Bukan hanya karena Noni dan Karin ikut ambil bagian, tapi karena memang hasil kerja Sinta menciptakan koreo dancenya sangat epic dan keren. Setelah itu baru aku benar benar pulang. Aku pikir Sinta pasti bareng Karin untuk pulang. Kalo Noni sudah pasti di antar Nino, walaupun berangkatnya dengan Sinta dan Karin.
Bukan tanpa alasan kalo akhirnya aku buru buru pulang. Aku memang menghindari Sinta. Bukan tidak tahan melihatnya menangis, hanya ingat perkataan mamaku. Segala sesuatu kalo melibatkan perasaan, pasti emosinya luar biasa. Kalo bahagia, ya bahagia sekali. Kalo kesal ya pasti marah besar. Kalo sedih pasti akan menimbulkan perih di hati lalu sampai menangis. Aku sedang emosinal sekali kemarin. Sedih sekali hasil akhirnya. Harusnya aku urungkan membawakan puisi yang aku buat untuk mamaku. Harusnya tidak pernah aku bacakan, selain untuk diriku sendiri. Semua gara gara teman teman sanggarku yang tidak bisa membantuku membuat pertunjukan musikalisasi pusi di acara Pensi kemarin. Jadilah terpaksa aku bacakan puisi yang pernah aku buat untuk mamaku.
Aku mau tampil bawakan apa kalo tidak begitu. Setiap latihan persiapan Pensi, aku malah lebih suka menatap Sinta diam diam yang sibuk latihan dance dengan genk anak cheers. Selain aku takut sesuatu terjadi dengannya lagi, seperti kasus Andrian sebelumnya, juga aku suka mendapati beragam ekspresi di wajah Sinta.
Dia bisa berubah garang kala teman latihannya terlambat datang latihan. Lalu berubah sedih kalo koreo yang dia buat di tolak Noni atau Karin, lalu bisa tiba tiba tertawa gembira kalo mereka bertiga akhirnya menemukan koreo yang pas. Jangan tanya kontribusi anggota cheers yang lain, semua menurut pada Sinta, termasuk Clara yang jadi ketua Cheers. Kalo Noni dan Karin, lebih cocok jadi teman diskusi, karena seringnya mereka bertiga berdebat.
Aku juga tidak bisa seperti Nino yang kelihatan sekali perduli dan care pada Noninya atau Queen. Santai saja menunggu Noni latihan walaupun harus sendirian di parkiran atau main bola dengan yang lain di lapangan. Nino juga tidak canggung menunjukan perhatian, bahkan kontak fisik dengan Noni. Walaupun hanya sebatas merangkul atau di rangkul Noni, berpegangan tangan, atau tiba tiba mencium pipi Noni. Apa karena Noni bule ya?, jadi tidak canggung juga?. Tapi aku perhatikan interaksi itu hanya pada Nino, dan tidak berlaku untuk orang lain.
Dengan orang lain, Noni mana bisa begitu. Di tatap berlebihan aja, dia menunduk malu. Itu kenapa aku bilang pada Sinta, Ninolah orang yang tepat untuk Noni. Hanya Nino yang mampu memberikan rasa kepercayaan diri Noni. Nino tipe yang over PD kea rah positif. Beda dengan aku dan Obi. Obi pun gitu menghadapi Karin. Hanya bedanya aku dan Obi, Obi lebih berani mengungkapkan rasa sayangnya pada Karin secara blak blakan. Menurutku secara karakter Obi dan Karin itu saling melengkapi. Obi itu lucu, dan Karin jutek atau cenderung apatis. Obi tulus, dan Karin perdulian di balik sikap gengsinya yang besar. Karin itu tipe anak pejabat sejati. Yang terkesan memilih milih teman dan berhati hati sekali. Dalam diri Karin itu selalu ada rasa tidak percaya dan curigaan terhadap orang lain, karena takut di manfaatkan. Tapi kalo sudah merasa cocok, Karin itu luar biasa care dan perduli.
Pada Sinta dan Noni begitu. Karin tau, baik Noni atau Sinta tidak butuh berteman dengan Karin, hanya untuk menaikan popularitasnya atau numpang tenar. Sinta anak Jendral, tentu semua tau. Lalu Noni, walaupun tidak ada yang mengenal orang tuanya yang ternyata kaya, tapi penampakan Noni yang beda dari yang lain, jelas membuat dia menonjol untuk di kenal banyak orang. Tipe tipe anak pejabat itu seperti Karin itu, bukan berarti Karin hanya mau berteman dengan anak orang kaya atau anak pejabat juga. Bukan seperti itu, jangan salah sangka dulu. Buktinya Karin selalu terlihat kesal atau antipati pada anak anak pejabat yang suka kami temui saat nongkrong bersama. Karin hanya menyeleksi siapa siapa yang bisa dia percaya untuk jadi teman. Hanya kebetulan Noni dan Sinta anak orang berada atau anak keluarga terpandang. Karin terbiasa begitu, karena meniru atau menuruti perilaku orang tuanya. Tidak ada yang mudah untuk jadi pejabat. Apalagi sudah bersinggungan dengan politik dan kuasa. Hari ini jadi kawan, bisa jadi besok jadi lawan. Dunia politik seperti itu adanya, dan butuh lobi lobi untuk bisa bertahan dengan berlindung di balik orang yang punya kekuasaan.
Jadi ngalor ngidul. Sudah jam 11 siang, saat aku lihat layar handphone yang aku minta bibi ambilkan di kamar. Sambil makan aku tersenyum melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Sinta dan pesan dari Karin dan Noni. Pesan penyemangat yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Kesedihan dan kesepian itu sudah jadi kawan setiaku semenjak mama meninggal. Aku terjeda dengan suara bel rumahku. Memang bukan aku yang akan membukakan pintu. Paling papa dan mama tiriku yang menengokku atau mengantarkan makanan untukku. Bukan aku tidak suka dengan mama tiriku. Aku tau dia punya kasih sayang tulus dan tidak memaksaku untuk menerimanya sebagai ibu sambung.
“Mamamu tetap mamamu Reng, mama Gayatri. Kamu boleh panggil saya tante, kalo kamu tidak berkenan memanggil saya mama. Tapi saya akan senang, kalo kamu melihat saya sebagai seorang ibu seperti ibu ibu di luar sana yang harus kamu hormati” katanya waktu pertama kami bertemu.
Aku hanya tersenyum waktu itu.
“Bohong juga kalo saya tidak melihat kemapanan papamu makanya saya bersedia di lamar jadi istri. Saya punya dua anak lelaki seumuranmu. Mereka butuh biaya besar untuk masa depan mereka setelah papa mereka meninggal. Tapi bukan karena papamu mapan juga saya bersedia menikah dengannya. Tapi karena papamu bersedia mengisi kekosongan figure ayah yang anak anak saya butuhkan. Seperti halnya kamu yang butuh waktu menerima saya sebagai ibu pengganti, anak anak saya juga butuh waktu untuk menerima papamu sebagai sosok ayah pengganti. Kalo saya memilih papamu untuk membantu saya memberikan masa depan anak anak saya lebih baik lagi, papamu pun memilih saya karena yakin saya bisa mengurus anak anaknya saat dia tidak berada dekat kamu dan Laras. Jadi jangan berpikir ini mudah untuk saya atau papamu. Ini sulit juga untuk kami berdua. Jadi tolong kerja sama ya Reng” pintanya.
“Iya…” jawabku waktu itu.
Rasa tidak enak pada papa yang membuatku akhirnya memanggilnya mama. Tapi aku menolak tinggal dengan papa dan mama baruku bersama anak mereka. Aku tidak mau anak anak mama tiriku merasa kehilangan sosok ibu mereka karena harus mengurusku, jadi aku bertahan tinggal di rumah yang aku tempati dari kecil.
“Setiap kali kalo kamu merasa ada di situasi tidak menyenangkan dan memaksamu tetap tinggal, hal yang kamu harus lakukan adalah tetap bersikap hormat pada orang yang lebih tua, mau siapa pun, harus kamu hormati. Dan kamu juga harus menghargai orang yang lebih muda darimu. Raba hatimu Reng, apa yang kamu rasakan kalo harus jadi orang yang membuatmu tidak nyaman. Kecanggungan itu timbul bisa jadi karena rasa tidak nyaman yang orang itu rasakan juga terhadapmu” masih aku ingat pesan mama saat aku menolak berbaur karena lebih suka ikut kemana pun mamaku pergi.
Nah perasaan tidak nyamanku mungkin juga rasa tidak nyaman Sinta, saat aku melihat siapa yang datang setelah bibi bilang ada tamu yang mencariku. Jadi bukan papa dan mama tiriku yang datang, tapi SInta.
“Hai…” desisnya menyapa dengan kaku.
“Hai…” jawabku.
Dia tersenyum canggung.
“Gemes ih lihat elo bangun tidur. Rambut berantakan, pakai celana piama sama singlet…” katanya mengamati penampilanku.
Aku tertawa sambil mengusap tenggukku.
“Bagian gue masih miara sisa iler gak elo sebut?” gurauku.
Dia tertawa lepas, perubahan ekspresinya lagi yang aku temukan. Tadi malu malu, sekarang malah tertawa lepas.
“Gue mandi dulu deh Sin…malu juga di datangin perawan keceh trus wangi” pamitku risih.
Dia merona lagi lalu mengulum senyum.
“Yang gue datangin juga bujang keceh, walaupun belum mandi” jawabnya dengan senyum menggoda.
Astaga…aku ajak ke kamarku boleh gak sih?. Efek bangun tidur membuatku jadi ingat kasur lagi, enak sepertinya kalo aku tidur lagi trus di peluk atau memeluk sang Dewi yang pastinya selalu mengeluarkan wangi.