20. Ibu Peri

2102 Kata
Rengga POV. Aku bingung juga kenapa Sinta ke rumahku. Kesan canggung terasa sekali waktu setelah selesai mandi, aku mendekat lagi padanya di ruang tamu rumah. “Mama elo cantik ya Reng?” tanyanya setelah menoleh sekilas padaku lalu menatap foto keluarga terakhir kami. Foto waktu kak Laras lulus SMA. Aku baru masuk SMP waktu itu. “Elo mirip sekali sama mama elo, pantas elo punya sifat yang sama” komen Sinta lagi. Aku tertawa. “Sok tau lo” ejekku. “Minimal elo sama kaya nyokap elo yang suka sastra” jawabnya. Aku mengangguk bagian ini. “Duduk Sin, gak cape berdiri trus?” ajakku. Dia menurut duduk. Aku jadi bingung sendiri duduk dimana. “Sini dong dekat gue, elo grogi amat” ejeknya. Aku tertawa lalu menurut duduk di sebelahnya. “Ngapain elo ke sini?, kalo alasanya soal kemarin yang gue baca puisi, gue baik baik aja kok” kataku. “Dih..PD” ejeknya. Aku jadi tertawa lagi. “Trus ngapain elo ke sini?” tanyaku. “Emang gak boleh?” jawabnya. “Ya…boleh. Cuma sepi gini rumah gue. Kalo Obi bilang kalo berduaan, pasti yang ketiga setan” jawabku. Sinta tertawa. “Gue bidadari, setan takut dekat, dan gue hafal ayat kursi kok, jadi tenang aja” jawabnya. Aku ngakak sampai dia mendorong bahuku. “Pantas elo kesepian, rumah segede ini cuma elo sama pembantu” komennya sambil menatap sekeliling. Aku menghela nafas. “Gak lagi sih kalo elo ada di sini trus” jawabku. “Nama belakang gue mesti di rubah dong, dari Lukito jadi….” “Masih lama, sekolah dulu” potongku. Sinta tertawa lalu menatapku. “Kapan?” tanyanya. “Apanya?” jawabku menghindari tatapannya. “Rumah nama belakang gue?” jawabnya. Aku diam menunduk. “Tar gue tanya tukang siomay yang suka lewat deh, lupa nama belakangnya siapa, tapi ganteng kok orangnya, pekerja keras trus masih bujang, mapan lagi soal udah bisa usaha sendiri” gurauku. Langsung cemberut dong. “Gue balik deh” jawabnya lalu bangkit berdiri. Aku ngakak. “Hei!!, jangan baper apa, becanda doang. Gak rela juga gue, masa jagain jodoh orang” sanggahku. Rona merah wajahnya tiba tiba muncul, gemes aku jadinya. Terus dia duduk lagi di sebelahku, gimana aku tidak semakin grogi. “Kita pergi yuk Sin, kemana kek yang ramai, lama lama berduaan sama elo, gue panas dingin gini” ajakku. Sinta tertawa. “Yuk!!, kemana kek, gue juga panas dingin” jawabnya sambil menahan senyum. Tidak aku tanggapi lagi, takut semakin baper, jadi aku bangkit mengambil kunci mobilku. “Yuk!!” ajakku. Jadilah kami seperti orang kurang kerjaan, nongkrong di taman kota. Ampun ampun deh kalo pergi dengan Sinta berdua tuh. Cukup kewalahan akunya. Mendadak seperti pergi dengan bunda Theresia. “Reng…ajak makan yuk Reng, apa beliin minum, kasihan kecil kecil ngamen” rengeknya gara gara melihat dua bocah pengamen menjeda kami makan es cream di bangku taman. Aku menghela nafas. “Beli es di mana?” kataku. Udah mah tuh dua pengeman cilik seperti tau kalo Sinta bersimpatik, jadi mereka berdiri di depan kami. “Ajak makan aja mie ayam apa bakso abang abang grobak itu” tunjuknya pada deretan abang abang jualan. Aku mengangguk “Ayo ikut kakak!!” ajak Sinta girang. Jadilah Sinta ibu peri yang memberikan makan anak pengamen jalanan. Dari dua bocah pengamen, kok ya jadi makin banyak. Aku hanya bisa tertawa melihat gimana akhirnya Sinta kewalahan pada anak anak itu. “Reng…” rengeknya padaku. Aku tertawa lagi. “Makanya dari tadi gue bilang, pesan aja makanannya, trus awasin dekat gue” kataku. Dia cemberut. “Kasihan Reng…ada yang tangannya kotor, nanti percuma makan kalo jadi sakit perut” katanya karena dari tadi dia mencuci tangan anak anak itu dengan tisu dan air mineral. “Udahkan?, gue bayar dulu” kataku. “Gue aja” cegahnya. Aku abaikan dengan mendekat pada pedagang tempat anak anak makan lalu membayarnya. “Kita kemana lagi?” tanyaku setelah selesai. Dia buru buru merangkul lenganku. “Neneng siap di bawah babang kemana aja, babang baik banget sih?” jawabnya. Aku ngakak lalu terdiam karena dia mencium pipiku. “Hadiah karena elo bersedia jadi sponsor” jawabnya pada tatapanku. Aku tertawa pelan kali ini. “Main sama bule, lama lama elo sok british, demen banget cipok gue, benar Obi nih, jadi menang banyak” gurauku. Gantian Sinta ngakak. Beneran buat senewen sebenarnya mengajak pergi Sinta ke area terbuka seperti ini. Pada apa pun gampang jatuh iba. Ada anak kucing kucing kurus, dia mewek, sampai aku kelimpungan mencari penjual s**u kotak. Tau yang dia lakukan di saat aku sibuk cari s**u kotak dan makanan kucing kemasan?, dia duduk di bangku taman trus mengusap anak kucing itu. Rasanya mendadak aku ingin sekali jadi anak kucing itu. Kok ya enak, aku yang cape cari minimarket, malah yang menang banyak tuh kucing. Dan seperti pada bocah tadi, akhirnya jadi banyak juga kucing yang merubung Sinta. Bagusnya aku beli makanan kucing ukuran besar. Sinta jadi ibu peri lagi. Aku menghela nafas. Apa gara gara aku anggap sang Dewi ya?. Lalu aku tertawa, menyadari kalo Karin dan Noni mungkin seperti aku yang menemukan sisi lain Sinta. Mereka sering menghabiskan waktu bertiga. “Kalo elo ajak Sinta kencan, jangan ke tempat umum dah Reng, gemes sama kelakuan anak jendral” kata Karin waktu mereka habis dari Blok M membeli baju seragam Cheers.”  “Ya kali mesti lansung check in Kar, ada prolog dululah” gurauku lalu mengabaikan Sinta yang cemberut. “Karina!!, elo jadi mucikari gue?” omelnya. Karin tertawa. Karin itu seperti jembatan hubungan kedekatan Sinta dan Noni. Jadi baik Sinta dan Noni punya kedekatan karena Karin. Karin sendiri, kalo kira kira mencari teman criminal, Sinta yang cocok. Kalo teman yang lempeng banget, ya Noni yang cocok. Sinta tuh kadang terbawa arus. Itu kenapa aku selalu mengingatkan untuk tidak ikut campur urusan orang. Bayangkan aja, kalo melihat Karin atau Noni kesal gara gara Obi atau Nino, pasti dia ikutan kesal. Bawaannya emosi tingkat tinggi, ribet urusan. Kadang aku kewalahan bagian ini. “Hei…kaya gak tau Karin sama Obi kaya gimana sih Sin?. Mereka terbiasa perang mulut, ledek ledekan, marah, gak lama juga baik lagi” kataku mengingatkan. “Ya tapi Karin lama banget diam gara gara Obi” sanggahnya. “Obi juga sama” jawabku. “Mana ada” jawabnya. “Tanya Roland!!, gimana Obi juga bego karena Karin” balasku. Baru dia diam. Kalo Nino terlalu mendominasi Noni juga gitu. “Nino begitu karena khawatir Noni sakit Sin. Biar aja. Yang tau record kesehatan Noni, ya Nino. Dia yang temanin Noni di rumah sakit, pasti sedikit banyak tau sebab akibat Noni sakit. Terus pasti tau juga apa pemicu Noni sakit. Kita gak tau, makanya biar aja Nino begitu. Kalo Noni sakit, kasihan jugakan?” kataku. Dia cemberut tapi bagusnya tidak menyanggahku. “Pokoknya awas aja ada yang ganggu teman gue” katanya waktu itu. Aku hanya bisa mengangguk. Susah sih temanan cewek ya pasti sedalam itu. Cewekkan selalu melibatkan perasaan. Jadi lebih ekspresif dalam mengungkapkan sesuatu. Kalo sedih ya ikutan mewek, kalo happy, ya ikutan tertawa. Kalo kesal, ya ikutan ngomel. Pertemanan lelaki tidak begitu, malah cenderung melakukan hal tidak baik. Laki itu walaupun berpikir mengabaikan perasaan dan mengedepankan logika, walaupun tidak menggunakan otak sepenuhnya. Di hari hari depan, awalnya aku tidak tau, kenapa tiba tiba, Nino mengabaikan Noni di sekolah. Mereka jadi berjarak di saat hubungan Karin dan Obi membaik. Aku mau bertanya kenapa Nino terlihat melayani cewek cewek di sekolah yang biasanya hanya focus pada Noni, tapi bukan urusanku. Aku juga melihat gimana Noni banyak diam, walaupun dia dekat Karin dan Sinta. Jawaban itu baru aku dapat dari Sinta di kemudian hari. “Nino ngambek gara gara Noni ikut tampil dance pas Pensi Reng” lapor Sinta. Aku hanya mengangguk. “Aneh ya?, dance doang. Emang kenapa sih?. Nino yang norak” lanjut Sinta. Aku juga pasti norak seperti Nino kalo saja bisa aku lakukan. Aku tidak seberani Nino melarang Noni dance di depan banyak orang. Nino punya alasan kuat karena itu. Noni gampang cape, dan dance untuk tampil itu pasti butuh latihan. Hal lain yang membuatku tidak bisa melarang Sinta, yak arena dance itu temasuk seni gerak. Sinta juga suka, nanti gimana pun Sinta mengekpresikan kecintaannya pada seni gerak tari itu, ya sudah resiko. Seni itu tidak bisa di batasi aturan, karena akan mengekang kreatifitas seni itu sendiri. Mamaku dulu bilang begitu. “Tidak bisa Reng, kita melarang seorang foto model untuk tampil hanya pakai bikini, atau di foto telanjang. Kalo pakai kaca mata seni, jelas tidak bisa. Cara orang mempresentasikan sebuah karya seni pun beda. Kamu perhatikan seorang kolektor lukisan. Mau berapa pun harga lukisan, pasti di beli. Karena ada kepuasan tersendiri kalo sudah di penuhi. Untuk pelaku seninya pun begitu, macam penari, macam artist eater. Kalo mereka mau melakukan tarian erotis, atau beradegan ranjang sekali pun, ya itu hak mereka. Bagian ini sudah masuk ranah idealisme pekerja seni. Setiap seniman punya sisi itu, untuk membuktikan kemampuan maksimal mereka” kata mamaku gitu. Jadi aku tidak bisa melarang Sinta mengekpresikan bakat dan minatnya dalam seni gerak tari. Obi yang bercanda trus aja, ngerti kalo tidak bisa melarang Karin untuk ikutan dance. Walaupun karena alasan yang jauh dari kata penikmat seni. “Kapan lagi Reng, lihat Tayang gue goyang. Kalo di minta sengaja, yang ada gue di tabok” katanya waktu aku tanya. Aku tertawa. “Sebenarnya kalo ada ekskul yang cocok buat Karin tuh, ekskul debat. Mulut Tayang gue itu juara bangetkan?” lanjut Obi. Aku tertawa lagi sambil mengangguk. “Udah sih Reng, gak usah ikutan Kampret yang gara gara bule ikut dance kemarin, sekarang ngambek gak jelas. Ya kali bule nari telanjang, kan masih pakai baju” lanjut Obi. Tapi kata tinggal kata saja. Obi pada akhirnya seperti Nino yang menjaga jarak dengan Karin. Aku sampai pusing dengar Sinta mengomel trus gara gara ini. “Obi kenapa ikut ikutan Nino jauhin Karin sih Rol?” tegur Sinta di kelas. “Mana gue tau” jawab Roland. Aku diam tidak ambil bagian. “Lah elo berteman gimana sih?” omel Sinta. Roland menghela nafas. “Kalo Nino sama bule, jelas elo tau masalahnya apa. Kalo Karin sama Obi, mana gue tau” jawab Roland lagi. Sinta cemberut. “Gue juga sibuk kawal bidadari, ngapain urus hal gak penting” kata Roland lagi. “Biar aja si Obi sama Nino, gue bakalan jual Karin sama Noni ke cowok lain, biar jangan pada ngerasa sok ganteng” omel Sinta. Roland terbahak dan aku hanya geleng geleng. Segitu aku diam, Sinta tetap aja mengancam aku. “Elo kalo mau ikutan Nino sama Obi, ikutan jauhin aja gue. Gampang gue sih cari cowok buat pengawal doang” katanya setelah kelas hampir kosong. “Ya pasti gampang, pasukan cowok cepak bokap elo banyak bukan?” gurauku. Dia tidak tertawa dan membuatku menarik nafas. “Ayo ah, gue kawal latihan sama anak basket, tenang aja, gue bukan pengikut Nino, kemana pun elo pasti gue kawal” kataku menarik tangannya keluar kelas. Masih aja cemberut sampai ketemu dengan Karin dan Noni di kantin. Pada akhirnya Sinta seperti Karin yang mendekatkan Noni dengan anak basket. “Salah elo berdua, bukan ini jalan keluar buat Noni sama Nino” komenku menjeda rasa happy Karin Sinta. “Lah emang ngapa?, kalo bule jadian sama Anza, gue tenang, jadi bule gak mesti drama sama kampret” jawab Karin. “Emang kenapa sih Reng, Arenza gak kalah sama Nino” kata Sinta ikutan. Bisa apa aku kalo mereka berdua sudah sepakat. Aku yang bisa melihat gimana Noni tidak sehappy yang Sinta dan Karin bilang. Walaupun Noni tidak menolak PDKT Arenza si anak basket, tapi aku menyadari ekpresi tidak happy Noni. “Ingat Nino ya Non?” tanyaku karena dia hanya menatap mangkok bakso yang dia pesan sementara Sinta dan Karin terus bercanda dengan Arenza. “Aneh gak sih Reng kalo gue kangen Nino ngomel?, padahal gue sempat senang bisa makan bakso sesuai selera gue lagi” jawabnya. Aku menghela nafas. “Ya udah makan sesuai selera Nino kalo elo kangen Nino” saranku. Noni tertawa pelan. “Ini bukan soal suka atau gak suka Reng. Ini soal rasa nyaman. Nino itu walaupun tukang ngomel, tapi gue nyaman, karena cuma dia yang gak pernah jadi orang lain cuma buat narik perhatian gue. Dia bisa ngomel, dia bisa bastart banget, bisa manis banget, gak ada tuh Nino yang sok jaim. Gue jadi gak ngerasa bosen Reng” kata Noni. Bisa apa aku?. Gak mungkin aku menyuruh Noni merayu Nino, nanti jadi murahan. Dan imbasnya jadi ke semua. Nino and genk jadi ikut komunitas tawuran di sekolah. Pusing kembali kepalaku karena ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN