Sinta POV.
6 meter, 5 meter…..aku terus mengamati sasaran tembak yang bergerak mendekat.
DOR!!!.DOR!!!, lalu aku tersenyum bersamaan dengan gerakan tanganku menurunkan senjata laras panjang yang tadi aku gunakan membidik sasaran tembak bergerak.
“Emang pantas di sebut anak jendral!!!, gokil!!, bisa pas gitu nembaknya”
Aku berbalik sambil membuka penutup telingaku.
“Duo bastart…” desisku setelah menemukan dua lelaki bastart yang jadi temanku di SMP, dan juga temanku di tempat pelatihan menembak.
Bukan mikir, kedua bastart itu justru terbahak seakan bangga dengan julukan yang aku berikan.
“Ya elah Sin, gue rindu lihat komuk elo, elo sih pindah sekolah” jawab Marco bastart satu.
Aku memutar mataku dan dia tertawa lagi.
“Alice mana Sin?” tanya Reno, b******n satu lagi.
“Gak datang, gak tau kemana” jawabku lalu bersiap pergi.
Melayani dua bastart hanya buang waktu. Mereka berdua dari kelas satu SMP, sudah semua cewek di sekolah di pacari. Buat aku mual melihat muka mereka walaupun ganteng.
“Bro, ada yang lebih keceh dari Alice, ngapain elo sibuk cari yang gak ada” keluh Marco.
Aku sudah memutar mataku lagi.
“Bebehnya suruh gue antar pulang, lagian walau anak jendral keceh keceh, gue gak minat” jawab Reno menyebalkan.
Aku langsung tolak pinggang dan melotot ke arahnya.
“Hei bastart!!, elo pikir gue minat sama elo, yang nembak mencong terus?” bentakku kesal.
Malah ketawa lagi nih dua bastart.
“Jiah, belum aja kena sosotan kita” kata Marco mendahului Reno mencekal tanganku.
Dengan gerakan cepat aku pelintir tangannya ke belakang sampai Marco meringis.
“Gue lebih gak minat sama laki yang cuma ngerti nyosot cewek” jawabku geram.
“Yang jago tarung apa nembak berarti?” tanya Marco padahal dia semakin meringis.
“Dengar gue ngomong ya bastart!!, kalo gue minat sama laki yang jago tarung atau nembak, gue tinggal tunjuk anak buah babeh gue. Mereka punya kemampuan yang mumpunin, dan pastinya keceh keceh. Masalahnya, gue eneg lihat tentara, KAKU!! kaya kanebo kering” jeritku lalu mendorong tubuh Marco sampai mendorong tubuh jangkung Reno.
Reno terbahak melihat Marco mengumpat karena kelakuanku.
“Ini alasan gue gak minat sama anak jendral. Susah gue telentangan, sekalinya ada yang gampang gue telentangin, pistol babehnya bisa aja bikin pecah kepala gue. Gak deh, minat sama cewek menya menye aja gue sih” jawab Reno.
Marco mengusap tangannya.
“Gue jadi bisa narik kesimpulan” cetus Marco sambil menatapku yang kembali tolak pinggang menatapnya.
“APA!!!” bentakku kesal.
“Kayanya anak anak jendral minatnya sama laki melambai dan bertulang lunak, tentara aja dia bilang kaku” ejek Marco.
Unfaedahkan melayani dua bastart?, jadi aku benar benar berlalu, setelah mereka berdua terbahak lagi. Alice sih gak datang, dia kakak kelasku di SMP, anak jendral juga. Malah pangkat papanya lebih tinggi dari pangkat papiku, Edward Tanjung papa Alice itu Komandan Tim anti teroris, papiku masih kasad. Aku akrab dengan Alice karena punya hobi sama yaitu menembak dan Jujitsu, juga benci cowok cowok bastart yang sok keren.
“Sin ayo gue antar pulang aja” ternyata mereka mengekorku sampai parkiran.
Kalo Reno beranjak ke mobilnya, Marco yang mendekat lagi padaku.
“Elo ngerti gak kalo gue eneg sama elo?” bentakku lagi mendorong tubuh jangkungnya.
“Tar juga jadi cinta” jawabnya menyebalkan.
Aku menggeram lalu buru buru membuka pintu mobilku.
“In your dream!!” desisku masuk mobil dan berlalu.
Memang menyebalkan Marco tuh, dia ikutan latihan menembak aja, karena tau dari Reno, aku ikutan latihan nembak. Kalo Reno memang sejak awal ikutan selalu mengawal Alice pulang latihan. Dia itu akrab dengan papa Alice, yang teman dari om dan tantenya. Setidaknya itu yang Alice cerita. Masih mending juga kalo aku di suruh memilih antara Reno dan Marco. Dia masih serius berlatih menembak, di banding Marco yang hanya cengar cengir. Aku tau Reno bastart karena kami satu sekolah SMP.
Bukan aku gak suka cowok ganteng, pasti sukalah. Andai Marco dan Reno bukan lelaki bastart mungkin aku akan tertarik, toh mereka berdua ganteng dan keren. Tapi lelaki ganteng dan keren itu menurutku, justru yang kelihatan tenang, dan bukan cowok pecicilan yang suka tebar pesona. Dan aku sama seperti Alice yang bosan melihat pria berseragam. Apalagi tentara. Padahal banyak cewek cewek suka lihat tentara dengan seragam dan penampilan postur tubuh mereka yang gagah dengan rambut cepak dan rahang kaku. Aku bosan, karena dari kecil, hanya penampakan lelaki lelaki berseragam tentara yang aku lihat. Beda dengan kakakku yang suka sekali dengan lelaki tentara. Sekarang aja dia pacaran dengan seorang berpangkat kapten anak kenalan papiku. Membayangkan kencan dengan tentara aja bikin males, terbayang olehku gimana kakunya hubungan papi dan mamiku. Jadi seperti bukan suami istri.
Susah sih aku jelaskan bentuk interaksi papi dan mamiku, intinya mereka tidak pernah terlihat mesra. Malas dong ya, masa sama suami gak bisa manja manjaan. Papi dan mamiku begitu, pegangan tangan aja gak pernah. Papi selalu berjalan gagah di samping mami, dan mami hanya mengiringi langkah papiku.
Kembali ke soal sekolah, aku memang tidak melanjutkan ke jenjang SMA di sekolah SMPku. Sekolahku dulu tidak ada ekskul cheerleaders karena basicnya sekolah muslim. Jadilah aku pindah ke sekolah almamater kakakku, karena aku suka dance di samping aku suka menembak dan bela diri. Suka aja lihat kakakku yang jago karate tapi jago juga meliukkan tubuh, jadi walaupun badannya terlatih karate. Jadi tetap terlihat cewek walaupun dia jago baku hantam.
Di sekolah baruku juga, aku bertemu dengan sesosok cowok yang akhirnya menarik perhatianku. Namanya Rengga. Dia duduk di belakang bangkuku. Satu lagi cowok keceh juga, tapi aku tidak tertarik, tipe cowok charming dan pedandan. Cowok terlalu modis juga bikin malas. Nah Roland yang jadi teman sebangku Rengga tipe cowok modis. Keren sih, tapi apa ya, cowok tuh kalo menurutku justru yang kelihatan cuek dan berantakan yang beneran keren. Roland itu rambutnya aja klimis, pakai pomade, trus seragamnya rapi trus wangi. Bukan berarti aku suka cowok bau ketek, bukan begitu, pokoknya kalo wangi banget malah seperti cewek. Malas deh.
Rengga ini beda. Dandanannya cuek, rambutnya aja agak gondrong dan berantakan. Trus seragamnya tetap di masukan ke celana, tapi tidak serapih Roland yang sampai perlu pakai copel. Ininya gaya Rengga asyik, belum gelang gelang tali etnik yang dia pakai. Hal lain yang membuatku tertarik, dia terlihat tenang, kalo Roland mengajakku bicara. Paling dia senyam senyum dan sesekali menanggapi kalo aku tanya. Gak kepo dan rempong seperti cowok yang biasa aku temui dan berusaha sekali menarik perhatianku. Rengga santai aja gitu nulis atau mengawasi walaupun aku , Marina dan Roland bercanda gurau.
“Berarti elo mesti kenalan sama teman gue Sin, tapi dia sabuk hitam taekwondo. Gahar dah dia mah, jago banget tarung” kata Roland setelah mendengar soal aku yang rajin latihan jujitsu.
“Malas ah kalo gahar, apa bedanya kenalan sama centeng” jawabku.
Roland ngakak dan Rengga hanya senyam senyum.
“Benar tuh, memang pantes teman gue di bilang centeng. Mukanya kaku gitu Sin, terus jarang ngomong. Kalo sekalinya ngomong nyelekit, kaya emak emak makan bon cabe” lanjut Roland.
Aku dan Marina kompak terbahak.
“Eh Reng, elo gagu ya?” ejek Marina tiba tiba.
Rengga baru tertawa lepas dan aku jadi menatapnya.
“Kalo semua ngomong, siapa yang jadi pendengar. Komunikasi itu harus ada yang bersedia mendengar saat yang lain bersedia jadi pembicara” jawabnya.
“Wah, keren bro!!, biasanya orang maunya di dengar trus” komen Roland.
Dia tersenyum.
“Gak akan dapat apa apa kalo milih ngomong dong, sekalipun seorang professor. Mesti bersedia mendengar juga, bisa jadi apa yang di sampaikan orang lain, bisa jadi masukan untuk kita belajar. Menurut gue sih begitu” jawabnya santai.
Aku jadi diam menelaah kata katanya. Benar sih, kalo orang bisanya bicara dan tidak bersedia jadi pendengar, gimana dia bisa dapat masukan atau informasi tentang sesuatu. Seperti komunikasi antara guru dan murid. Guru terus bicara menjelaskan dan murid harus dengar karena itulah cara sederhana mentransfer ilmu.
Hal lain yang keren dari seorang Rengga, terjadi saat aku mendapat perlakuan bullying di kantin. Aku sedikit pun tidak takut. Kakakku sudah banyak cerita kalo di sekolah SMAnya dulu, senioritas masih kental terasa. Kakak kelas selalu tidak mau tersaingi, dengan kehadiran adik kelas. Entah takut kalah keceh, entah kalah dari segi penampilan. Aku jadi mendapat perlakuan itu. Cukup sering juga. Bukan aku takut melawan mereka karena selalu bergerombolan, justru aku takut, kalo aku sampai mengangkat tangan, mereka bisa terkapar, dan aku dapat masalah. Mereka tuh segerombolan cewek letoy, yang cukup aku tabok pasti jerit. Akunya malas dengan drama playing victim yang mungkin mereka mainkan. Jadi aku selalu diam menghadapi mereka.
“Jadi elo adenya Loemongga?” tanya salah satunya saat menjegatku di kantin.
“Kalo di rumah sih, aku panggilnya Lulu, gak tau kalo di sekolah kakakku di panggil apa” jawabku.
Mereka serentak menatap penampilanku.
“Jangan karena elo adenya Loemongga terus elo ngerasa punya backing di sekolah ya” ujar yang lain.
Ada lima yang merubungku.
“Hebat banget lo, berani pakai sepatu dan seragam ketat dan rok pendek. Belum rambut elo perlu banget di cat. Berani ya lo bergaya banget?” ujar yang pertama.
Aku sampai menghela nafas. Masa iya aku mesti bacakan piagam hak azasi manusia yang di sepakati masyarakat dunia. Cara berpakaian setiap orangkan hak setiap manusia, mana bisa di atur orang lain. Aneh nih cewek cewek micin. Kalo iri karena aku terlihat lebih keren karena penampilanku, harusnya mereka bisa mengenali kelebihan dan kekurangan diri mereka sendiri. Jangan karena ikutan trend pakai kaos kaki panjang, tapi betis mereka seperti tongkat bisbol, mereka tetap paksa pakai. Atau kalo pun mereka benaran cocok mengikuti trend, kenapa harus terintimidasi dengan penampilanku. Harusnya pede aja dengan gaya mereka sendiri. Aku kasih tau ya, tingkat kepedean dalam berpenampilan, termasuk point penting. Kalo gak pede justru akan terlihat canggung dan kaku. Jadi tidak bagus lagi.
Coba deh kalian perhatikan, bule bule yang kadang pakai baju seadanya, kenapa tetap terlihat enak di lihat?, karena mereka pede. Mau cuma pakai celana pendek dan tanktop bahkan tanpa Bra, tetap aja mereka pede jalan jalan di muka umum dengan puncak p******a ngayap ngayap. Coba orang kita, mana mungkin pede, jadi jelek kalo maksa berpenampilan seperti bule. Kalo menurut kalian aku terlalu ekstrim memberi contoh, contoh lain ya, yang sering kita lihat juga. Misal ada wanita bertubuh super gendut, tapi terlihat bagus pakai baju serba ketat yang mempertontonkan timbunan lemak di perut atau lengan mereka, itu karena mereka pede berpenampilan begitu. Jadi enak di lihatnya. Masih gak ngerti juga?. Gini deh, kalo misalnya kalian tipe cewek tomboy trus di suruh pake rok, kira kira menurut kalian sendiri, bakalan bagus gak di lihat orang, kalo kalian terus merasa risih dan bergerak tidak nyaman karena memakai rok?. Aku yakin kalo kalian pasti jawabnya tidak nyaman. Itu dia, rasa tidak nyaman itu yang aku bilang tidak pede.
“Trus kakak maunya apa?” tanyaku semakin malas dengan cecaran mereka yang tidak masuk akal.
“Ya elo jangan pake lagilah, terutama sepatu elo, gue gak suka lihatnya” jawab yang benar benar berdiri berhadapan denganku.
Aku tidak tau siapa namanya, tidak minat juga cari tau.
“DENGAR GAK LO!!!” bentak yang lain.
Aku menghela nafas lagi.
“Kalo aku gak bersedia?, kan sepatunya bukan kakak yang beli. Gimana kalo kakak beliin dulu yang menurut kakak pantes aku pakai, baru aku gak pakai lagi sepatuku” jawabku.
Bukan jawaban yang aku terima, senior resek yang berdiri berhadapan denganku, justru menginjak sebelah sepatuku dengan sepatunya. Aku mengepalkan tanganku, bukan karena rasa sakit yang aku terima tapi karena dia sudah keterlaluan. Sepatuku warnanya pink, dan sepatu kesayanganku, limited edition juga, dan aku beli di online shopping luar negeri.
“Kalo udah kotor, malu dong ya elo, pakai sepatu elo lagi, masa iya anak jendral gak punya sepatu cadangan” jawabnya menyebalkan setelah membuat kotor sepatuku sdan mengangkat kakinya.
Aku menatap tajam ke arahnya saat dia terbahak di ikuti rekan rekannya. Aku jadi celingukan, andai kantin sepi sudah aku tabok, supaya dia berhenti tertawa. Dia selamat karena kondisi kantin yang masih ramai.
“Dah Sinta….” ejeknya berlalu menjawab tatapan tajam mataku.
Aku semakin mengepalkan tanganku karena kelakuan mereka lalu masuk toilet, dan tong sampah toiletlah jadi sasaran amukanku. Kesel banget!!, waktu aku melihat sepatu kesayanganku jadi kotor. Setelah puas ngamuk baru aku keluar toilet dan beranjak ke parkiran mobil.
“SIN!!”
Aku menoleh dan menemukan Rengga mendekat. Kok aku gak sadar ya dia di belakangku.
“Ada apa?, gue lagi kesal banget nih!!” jawabku setelah dia berdiri di hadapanku.
“Ikut gue!!” ajaknya menarik tanganku.
Aku jadi bingung dengan kelakuannya yang membawaku ke arah mobilnya .
“Duduk Sin!!” perintahnya sambil menepuk kap mobil sedan yang di tepuk.
“Mau apa?, panas!!” tolakku.
Dia menghela nafas.
“Gue mau suruh elo jongkok, nanti celana dalam elo nyap nyap, jadi elo mending duduk di kap mobil gue, gak panas kok, kan gue parkir di bawah pohon, kalo mobil lo pasti panas, elo parkir di bawah panas matahari” jawabnya.
Aku jadi tertawa dan menurut duduk di kap mobilnya.
“Reng…elo mau apa?” tanyaku tak enak karena dia sudah jongkok dan memegang sepatuku yang kotor.
Dia tersenyum waktu mengadah menatapku.
“Emang keterlaluan sih tuh senior, pantas elo ngamuk di toilet” jawabnya bukan menjawab pertanyaanku.
Aku jadi tertawa.
“Elo dengar?” tanyaku.
Dia tertawa lalu santai mencopot sepatuku yang kotor lalu duduk di sebelahku.
“Tadinya gue pikir elo kesurupan. Tapi gue ingat elo jago berantem, setan kayanya takut masuk ke badan elo” jawabnya.
Aku tertawa lagi. Hilang sudah rasa kesalku.
“Kasihan ya nih sepatu, jadi kotor, warnanya bagus” keluhnya.
“Sepatu kesayangan gue Reng…” tuhkan aku jadi mengeluh.
Dia menghela nafas.
“Emang nyebelin sih kalo sesuatu yang jadi kesayangan rusak atau kotor macam sepatu elo ini” desisnya masih menatap sepatuku.
“Elo punya barang kesayangan?” tanyaku.
“Gak”
“Orang yang elo sayang?” tanyaku lagi.
Kok aku jadi deg deg an ya, karena dia bertahan menatapku.
“Punya…keluarga gue Sin” jawabnya lalu memutus tatapan kami.
Kenapa ya aku jadi lega setelah merasa deg deg an.
“Cewek, gebetan, atau pacar?” tanyaku lalu meringis.
Kenapa aku tanya ini sih?. Untung dia tertawa sambil menatap sepatuku.
“Gue tau pencucian sepatu yang bisa di tunggu” jawabnya tidak menjawab pertanyaan bodohku.
“Iyakah?” tanyaku.
Dia mengangguk.
“Gue soalnya malas cuci sepatu gue sendiri, jadi suka gue bawa ke situ” jawabnya.
Aku tersenyum.
“Yuk antar gue kesana!!, gue juga malas, cuci sepatu sendiri” ajakku sambil merebut sepatu di tangannya.
Dia tertawa saat aku memakai sepatu kotorku lagi dan bangkit dari kap mobilnya.
“Kita jalan dua mobil?, elo bawa mobilkan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Minta nomor elo deh, jadi bisa telpon kalo nyasar” jawabku.
Dia tertawa lagi.
“Akhirnya dapat juga nomor elo” jawabnya lalu mengeluarkan handphonenya.
“Jadi ini trik elo dapat nomor handphone gue?” gurauku saat dia memberikan handphonenya yang sudah tidak terkunci.
Dia mengusap tengkuknya.
“Roland aja yang akrab sama elo, gak punya nomor elo, jadi gue pikir, elo milih orang untuk dapat nomor pribadi elo” jawabnya.
Aku tertawa sambil mengetik nomor handphoneku.
“Mana ada begitu, kan gue ada di grub chat kelas, emang elo lupa?” ejekku.
Dia tertawa.
“Gak, tetap aja mending minta orangnya langsung jadi bisa izin kalo mungkin sesekali gue chat” jawabnya sambil menerima handphonenya lagi.
“Bukan chat ngajak nontonkan?” tanyaku menjeda tatapannya pada handphone.
“Sang Dewi…” desisnya menatapku, mungkin karena aku mensave namaku itu di handphonenya.
Aku tertawa.
“Gak usah baper, ayo ah jadi gak ke tempat cuci sepatu” seruku.
Dia mengangguk, jadi aku beranjak ke mobilku. Gak tau ya suka aja menggodanya, aku suka dia akhirnya banyak bicara. Alih alih meledeknya supaya tidak baper, malah aku yang baper dengan kelakuannya. Dia dengan santai menggenggam tanganku saat kami harus menyebrang jalan untuk menjangkau minimarket karena aku merengek haus setelah kami sampai di tempat pencucian sepatu, setelah aku mengekornya sampai tempat tujuan.
“Ladies first” desisnya membuka pintu minimarket dan membiarkan aku masuk lebih dulu.
“Gentlaman sekali babang” ejekku.
Dia tertawa lalu menyusul masuk minimarket.
“Mau roti sekalian gak selain minum?, bakalan sejam kita nunggu dan ini udah siang, gue sih laper” tanya dan keluhnya.
“Boleh…gue juga laper, es kopi sama roti coklat kayanya enak” jawabku.
“Okey…sana duduk deh, gue yang traktir” perintahnya.
Aku tertawa lalu menurut duduk. Taukan kalo minimarket sekarang terdapat bangku dan menjual roti atau es kopi yang bisa di nikmati di tempat?. Ya kami jadi nongkrong di minimarket dengan konsep seperti itu. Aku tersenyum menyambutnya yang mendekat dengan baki berisi dua gelas es kopi dan dua piring roti coklat.
“Yummy…” komenku menggigit roti bagianku.
Dia tertawa lalu ikutan makan.
“Elo gak di cari nyokap elo kan?, apa gak izin dulu karena pulang telat?” tanyanya.
“Nyokap gue di rumah dinas, paling ada kak Lulu di rumah, udah biasa nyayap gue sih, dan gak ada wajib lapor, walaupun bokap gue jendral” jawabku.
Dia tertawa.
“Elo gak di cari?” tanyaku jadi tak enak.
Dia menggeleng.
“Gue sendirian di rumah, nyokap gue meninggal Sin, dan bokap gue merried lagi, jadi pisah rumah” jawabnya tersenyum.
“Sory…gue gak tau…” desisku tidak enak.
Dia tertawa.
“Santai Sin, udah lama juga, dan gue tetap baik sama bokap dan keluarga emak tiri gue, kakak gue juga begitu” jawabnya.
“Elo gak kesepian?” tanyaku.
Yakan diam sendiri di rumah apa enaknya. Aku aja sering cari kakakku.
“Kalo gue jawab kesepian, elo mau temenin?” tanyanya menatapku.
Aku merona lalu menghela nafas.
“Nyokap bilang sih gak baik bujang sama perawan berdua di rumah sepi” jawabku sambil melengos menyembunyikan wajah meronaku.
Dia terbahak.
“Benar sih, apalagi perawannya sang dewi kaya elo, gue bukan Rama yang jadi suami sang Dewi, elo gak halal buat gue sentuh” jawabnya.
Aku jadi menatapnya.
“Gue mungkin lebih cocok jadi Rahwana yang cuma bisa mengagumi sang Dewi tapi harus mampu menahan diri untuk tidak menyentuh sang Dewi” lanjutnya balas menatapku.
Sampai tatapan kami terputus lalu dia meminum es kopinya.
“Kenapa gini amat ya?, elo sih cantik banget jadi gue halu…” desisnya melengos dan aku jadi terbahak.
“Sin…masa kesurupan di sini?” keluhnya melihatku trus tertawa.
“Elo juga bikin gue baper, jadi gue ketawa karena gue juga merasa aneh” jawabku.
Baru dia tertawa dan kami melanjutkan makan. Kalo aku dengan debaran dadaku yang menggila, entah dirinya. Habis sikapnya terlalu tenang untuk aku analisa. Tapi tetap bersikap manis, dengan kembali menggenggam tanganku saat kami menyebrang ke tempat pencucian sepatu, membayar ongkos cuci sepatuku dan membantu mengembalikan sandal karyawan toko yang tadi aku pinjam. Lalu mengawalku pulang sampai rumah lalu beranjak pulang tanpa mampir.
Akhirnya aku faham kenapa hari ini matahari yang panas terasa hangat. Ternyata karena Sang Dewi bersedia turun dari khayangan dan bersedia menyapaku si pengagum rahasia.
“Melted….” desisku merengek waktu membaca status WA Rengga.
Tapi untuk mengomentari statusnya, kok ya aku malu, jadi aku cuma bisa cengar cengir seperti orang gila.