1. Sang Dewi

2978 Kata
“RENG!!!” Aku menoleh dan menemukan Andi, tetanggaku di rumah mendekat setelah turun dari mobil yang di hentikan di depan rumahnya. “What up Bro?” tanyaku dan menyambut high fivenya. “Mau ingetin elo aja, besok kita masuk sekolah, jangan sampe elo telat karena gue gak bareng elo lagi buat sekolah” jawab Andi. Aku tertawa. Andi tau sekali kalo aku memang susah bangun pagi karena pola tidurku yang salah semenjak mamaku meninggal karena kecelakaan, dan di perparah dengan kondisiku yang harus selalu sendirian di rumah. Papaku sudah menikah lagi, dan tinggal dengan mama tiriku dan dua anaknya yang seumuran denganku dan sama sama lelaki. Bukan aku tidak suka dengan mama tiriku, aku hanya lebih nyaman tinggal di rumah masa kecilku. Aku suka hidup dengan kenangan tentang mamaku yang memang masih di biarkan tetap sama walaupun mamaku sudah meninggal beberapa tahun lalu. Aku punya kakak perempuan, Larasati Natalegawa. Dia sudah kuliah dan kos dekat kampusnya, itu yang membuatku harus seorang diri di rumah. Ya tidak sendiri juga sebenarnya, papaku menyediakan setengah lusin pembantu, dan mama tiriku seminggu sekali datang menengokku atau aku yang kerumah mereka. Jadi jangan membayangkan hubunganku dengan mama tiriku dan kedua anaknya tidak baik. Kami semua baik baik saja, dan sangat harmonis. Aku setuju dengan kak Laras, papa harus menikah lagi, karena harus ada yang mengurus papaku. Aku tidak mau bersikap egois, toh mamaku sudah tidak ada. Lagipula papaku ayah yang bertanggung jawab. Dia tetap penuhi kebutuhanku dan cenderung berlebih, jadi untuk apa aku protes. “Jadi udah sesuai tujuan awal elo sekolah itu, supaya bisa ngawal Putri?” ejekku. Andi tertawa. “Masalahnya apa gak malu?, selama masa orientasikan elo masih pakai seragam SMP, sedangkan Putri pakai seragam SMA?” ejekku lagi. Andi semakin tertawa. “Gue tahan dah, yang penting dia berhenti ngeluh soal gue sama gitar gue” jawabnya. Aku mengangguk mengerti. Andi Mahesa namanya, dia putra musisi terkenal yang jadi tetanggaku. Ayahnya punya orchestra, jadi tidak aneh kalo Andi sangat suka music. Sama sepertiku yang suka sekali satra khususnya puisi, karena mamaku suka puisi, mamaku seniman teater, tapi setelah menikah dengan papaku, lebih suka bergerak di balik layar sebagai art director pertunjukan teatar. Seperti Andi yang selalu bergaul dengan music dan alat music. Aku pun begitu. Sejak kecil aku suka melihat gimana mamaku mengarahkan talent yang jadi pemain pertunjukan teater, sampai namaku dan kakakku bernuansa sansakerta. Rengga Wiryawan Natalegawa, itu namaku. Rengga artinya luwes, Wiryawan artinya kedudukan. Natalegawa, artinya pelindung atau tulus ikhlas dari kata legowo, dan itu nama belakang keluarga papaku. Jadi kalo di artikan lelaki berkedudukan tinggi tapi punya keluwesan untuk jadi pelindung yang tulus ikhlas. Kerenkan?, mamaku serius sekali saat memberikan aku nama. Aku hanya bisa berharap bisa mengabulkan harapan mamaku, karena nama itu seperti doa bukan?. “So…elo darimana?” tanyanya karena aku memang baru memasukkan mobil yang aku bawa ke garasi rumahku. “Dari rumah bokap, biasa setor muka dan ambil baju seragam yang di beliin nyokap baru gue” jawabku. Andi mengangguk. “Cool!!, jadi gak perlu repot beli sendirikan?, nikmatin aja Reng, kadang lebih enak di nikmatin, kaya gue, yang selalu cuek dengan hal apa pun, sepanjang gue gak nyusahin orang” katanya. Aku tertawa. “Senikmat elo yang mesti banget manggul gitar kemana aja, dan gak perduli orang ngomong apa?” jawabku. Gantian Andi tertawa. “Seni Bro!!, who care’s? kaya elo yang gak perduli, di ledek orang karena hobi nulis puisi, bagian sininya gue suka, karena gue gak pusing soal lirik lagu, gue tinggal minta elo bikin, tenang!!, kalo lagu yang elo buat booming, gue tetap cantumin nama elo sebagai pencipta. Guekan cuma cari nadanya doang” katanya. Aku tertawa lagi. “Ya udah, gue balik ya, tidur loh, jangan sampai telat sekolah karena elo kebablasan molor” ejeknya lalu mengajakku tos kepalan tangan. “Siap…” desisku melepasnya berlalu. Aku masuk rumah setelah memperintahkan satpam rumah menutup pintu pagar. Dan yang aku rasa sepi, saat aku berakhir di ruang keluarga rumahku. Tak ada lagi kesibukan mamaku dengan kertas kertas naskah pertunjukan teater, atau kesibukannya menulis puisi, sampai dia mencetak karangan puisinya secara self publish dan hanya beredar di kalangan terbatas, macam komunitas teater, atau mahasiswa seni peran, karena mamaku juga dosen di fakultas seni pertunjukan, di jurusan seni teater, yang lulusannya bisa jadi artis atau pemain teater. Mamaku sering bilang, mahasiswa yang jebolan fakultas seni, lalu berkarier jadi artis pasti aktingnya bagus, karena dia belajar, dan bukan artis asal jadi. Ya bukan berarti yang bukan lulusan fakultas seni jelek, banyak kok artis yang memang memiliki bakat karena pemberian Tuhan. Itu pun akan jadi lebih bagus lagi, kalo mereka bersedia belajar dalam ilmu seni peran atau teater tadi. Mamaku bilang lagi, acting itu bukan soal bisa nangis doang, atau bisa jadi orang gila dalam sebuah film atau pertunjukan, tapi gimana membangun karakter fiksi dalam sebuah film sampai si pelakon, bisa benar benar masuk dalam karekter itu. Kalian pasti gak akan percaya, mamaku itu bisa dari tertawa terbahak bahak tiba tiba dalam hitungan menit, dia bisa menangis dengan penuh sedu sedan tanpa perlu pakai obat tetes mata. Itu yang membuatku tertarik untuk bergabung dengan komunitas teater atau sanggar seni. Ya komunitas teater yang aku ikuti memang tidak hanya mengadakan pertunjukan teater, tapi juga puisi, atau musikalisasi puisi. Nah bagian terakhir yang aku suka. Musikalisasi puisi, jadi membuat sebuah puisi dan di gubah jadi lagu, atau hanya mengiringi seseorang baca puisi dengan alat music. Dan jangan berpikir soal alat music ansambel atau music yang ada nadanya, macam alat music yang kalian tau, seperti piano, pianika, gitar, tau dong sisanya jadi aku tidak perlu sebutkan yang lain. Ada juga alat music ansambel ritmis, itu alat music untuk mengatur irama sebuah lagu, macam gong, gendang, perkusi, dan sebagainya. Di sebut ritmis karena alat music yang aku sebutkan tadi masih ada susunan nada, walaupun tidak seperti alat music ansambel yang nadanya lengkap , do, re, mi itu loh, karena pengertian alat music ritmis itu sebenarnya tidak punya susunan nada, kadang hanya satu nada, makanya berfungsi menjadi pengatur tempo lagu. Contohnya marakas, ketrekan, ketimpring, triangle, dan masih banyak lagi. Nah di tangan musisi semua di ramu sehingga bisa menghasilkan satu harmoni nada karena saling melengkapi, setidaknya itu yang papa Andi jelaskan. Aku tidak seperti Andi yang tertarik mempelajari alat music ansambel, khususnya gitar dan piano. Aku lebih suka belajar alat music ritmis tadi. Aku suka belajar perkusi, gendang, gamelan, angklung dan alat music daerah lainnya, karena rata rata alat music daerah adalah alat music ritmis tadi. Dan khusus yang di gunakan komunitas teater yang aku ikuti, kami suka sekali menciptakan alat music sendiri. Bisa dari gallon air mineral bekas, botol botol yang di deretkan dan di pukul pakai sumpit, atau bamboo yang di ujungnya di pakaikan karet hitam lembaran untuk mendapatkan irama bass. Pokoknya semua bisa jadi alat music. Kalo kalian menonton saat kami melakukan pertunjukan musikalisasi puisi, segenggam kacang hijau, beras dan pecahan kaca aja bisa jadi alat music. Bunyi yang akan kalian dengar adalah bunyi gemericik air kalo bahan bahan yang aku sebutkan tadi di masukan ke bamboo besar dan kedua ujungnya di tutup. Bahkan bisa juga segenggam biji bijian yang di taruh di tampah, bisa jadi alat music juga. Tidak terbatas pada itu semua, gerakan tangan dan mulut juga bisa jadi alat music, dan kalo di olah oleh pekerja seni, akan jadi harmoni nada yang indah, dari sekumpul barang bekas tadi. Keren deh pokoknya. Alasan itu juga, yang membuatku banyak menghabiskan waktu di sanggar. Buatku, hanya saat aku berada di dalam komunitas itu, aku tidak perlu malu, atau takut orang menertawakan diriku. Seniman kan cenderung konsen pada pemberdayaan diri dan bukan sibuk mengurusi diri orang lain. Mereka tidak akan mengusik sekalipun kalian bersikap seperti orang gila atau tidak waras. Aku aja gitu, aku bisa anteng main gendang, atau berjam jam duduk untuk membuat puisi, sementara sekelilingku sibuk dengan urusan mereka masing masing. Ada yang marah marah di depan cermin, ada yang duduk menangis pada boneka, ada juga yang cuma diam menatap kosong ke satu titik hanya untuk melatih focus, saat harus latihan pertunjukan teater, paling semua kompak waras saat kepala sanggar mengingatkan soal jam istirahat. Latihan berteriak aja ada kok, atau melatih mimic muka. Belum latihan seni make up, karena beda dengan make up yang kalian kenal. Setiap make up itu harus bisa mengeluarkan watak dan karakter si tokoh, tidak cuma dari segi kostum. Aku aja waktu ikut pegelaran seni di bulan bahasa, yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda, harus rela saat tubuhku di cat perak dan hitam sampai sekujur badanku kecuali bagian celana pangsi yang aku pakai, karena harus memperkuat tema pertunjukan. Untuk sebagai orang mungkin komunitas teater atau sanggar seni itu cuma sekumpulan orang gila yang cepat sembuh setelah pertunjukan usai, tapi untukku, justru yang di bilang orang gila itu, yang sebenarnya waras. Setuju tidak setuju, seniman itu, baik seniman peran, lukis, tari, nyanyi, menulis adalah orang orang yang sebenarnya cerdas. Mereka bisa menciptakan karya loh, bisa menghasilkan sesuatu dari buah pikirannya, dan bukan meneruskan yang sudah ada. Mereka lebih peka dan sensitive karena terbiasa mengkaji dan menggali apa yang ada di pikiran dan hati mereka sendiri, jadi diri mereka terlatih untuk bertenggang rasa. Tidak menjugje orang lain, karena mereka selalu menempatkan diri seandainya jadi orang itu, karena seringnya menggali hati mereka sendiri. Istilahnya, kalo seorang bisa begitu, pasti kita juga bisa begitu, seandainya ada di posisi sama dengan orang itu, walaupun impuls setiap orang berbeda dalam menyikapi sesuatu, dan bisa jadi seimbang untuk seorang seniman, karena mereka menggali isi pikiran mereka juga. Itu yang membuat seorang seniman rata rata bersikap cuek dan semau gue. Acak acakan juga dalam berpenampilan, karena mereka merasa seni membuat mereka bebas melakukan apa pun, bagian ininya aku kadang tidak sefaham, karena cenderung negative. Menurutku bebas bukan berarti kita mengabaikan nilai norma. Pasti kalian pernah dengar kalo seniman itu kadang mengkonsumi narkoba, kadang pakai baju semuanya, yang cewek santai merokok atau berpelukan dan omongan mereka tidak sopan, ya karena ekspresif tadi. Kalo di lingkungan komunitas karena seragam ya semua maklum, kalo di luar komunitas ya jadi membuat pandangan orang jadi negative pada profesi seniman. Karena alasan itu juga, UU pornografi dan porno aksi sempat mendapat tentangan dari para seniman karena mereka merasa kebebasan mereka berekpresi di batasi. Kalo untuk kacamata seorang seniman, lukisan atau foto telanjang punya nilai seni kalo di tata artistic saat pembuatan dan bukan sekedar lukisan telanjang atau foto telanjang seperti di majalah dewasa, untuk masyarakat awam ya tetap gak mungkin juga di terima. Bugil!!, atau telanjang dan untuk di pertontonkan, gimana bisa di terima dengan kondisi masyarakat kita yang berbudaya timur dan mengedepankan norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Seniman berkilah, jauh sebelum itu, kebudayaan negara kita, sebenarnya sudah berunsur pornografi, tau dong kostum penari wanita daerah yang pasti mempertontonkan lekuk tubuh dan gerakan gemulai dan erotis?. Pasti akan menimbulkan kesan porno aksi kalo sebagai penonton atau penikmat pertunjukan melihatnya begitu. Sebenarnya hanya beda sudut pandang aja sih dan acuan penilaian. Hadeh jadi merepet kemana mana. Tuhkan, aku jadi terlambat bangun. Setengah mengebut, aku pacu mobilku kesekolah. Sudah bel masuk, beruntung masih di beri dispensasi karena hari pertama sekolah. Aku jadi kesulitan mencari kelasku. Aku harus membaca satu persatu kertas yang tertempel di pintu kelas yang di dalamnya sudah terisi. Ada tujuh kelas, dan di kelas ke enam, aku menghela nafas lega saat menemukan namaku tertera di kertas itu. Tinggal mencari tempat duduk, karena bangkunya kelihatannya sudah berpenghuni, walaupun di tinggal pemiliknya karena sibuk ngobrol dan meninggalkan bangkunya. Pakai acara telat dan tidak sekelas dengan Andi lagi, jadi aku bertahan cukup lama di muka kelas berharap menemukan bangku kosong. “BRO!!, kosong nih bangku!!, sama gue!!” seru seorang cowok berwajah tampan. Aku mendekat karena bangkunya juga berada di posisi paling belakang, walaupun ada di deretan bangku tengah kelas. “Hari pertama sekolah dan telat, emang nyebelin, gue Roland” komen dan sapanya mengulurkan tangannya padaku. “Rengga” balasnya. “Bukan Rangga?” ejeknya. Aku tertawa. “Beda e sama a” balasku. Dia gantian tertawa sambil melepaskan jabatan tangan kami. “Bangku depan kita ada orangnya kan?” tanyaku. “Ke toilet, biasa cewek, beser banget. Yang satu keceh Reng, sayang anak jendral dan dia jago berantem” jawabnya. “Elo wawancara sampe tau banget profil lengkapnya?” ejekku. “Gak sih, hasil laporan teman sebelah dia duduk, kan mereka dari SMP yang sama” jawabnya lagi. Aku mengangguk mengerti. “Pada kemana sih guru apa senior?, masa udah bel tapi gak langsung masuk kelas, masa iya bakalan jam kosong sampe pulang” keluh Roland. “Bukannya enak ya begitu?” jawabku. Roland tertawa. “Enak sih, semoga dah. Jadi gue bisa lihatin komuk SInta, adem bro mukanya walaupun galak banget” jawabnya lalu tertawa. “Sinta?, who?” tanyaku. Dia berdecak. “Cewek keceh yang tadi gue bilang, namanya Sinta” jawabnya. Aku mengangguk lagi lalu menatap sekeliling kelas sampai aku terpaku melihat gadis cantik yang mendekat ke arahku, sambil tertawa. Astaga…kenapa bisa secantik itu, semua yang dia pakai, seakan pas di bodynya yang semampai, rambutnya panjang, dan kulitnya putih terang. Aku menoleh ke arah Roland saat gadis itu duduk di bangku depan mejaku. “Lama amat perawan kalo kencing” ejek Roland entah pada siapa karena dua cewek di hadapan kami tertawa. “Eh sapose nih?” tanya si cantik. Aku tersenyum. “Rengga!!” cetusku seraya mengulurkan tanganku. “Rangga kali?” ejeknya sambil menjabat tanganku. Gantian aku tertawa. “Nyokap gak hidup di zaman film Ada apa dengan love, jadi gak kenal nama itu” jawabku bergurau. Dia tertawa lagi. “Gue Sinta” jawabnya lalu jabatan tangan kami terlepas. “Gue Marina” sapa yang satu, cantik juga sih, kan perempuan. Aku mengangguk lalu melepaskan jabatan tangan kami. Untuk mengobrol lebih lama, keburu wali kelas kami masuk dan mengabsen, tapi lalu aku jadi punya kesempatan mengawasi Sinta. Asli gerak geriknya menarik sekali, dari mulai dia tertawa, cara di mengikat rambut, cara dia membalas ejekan Roland, sampai cara dia cemberut. Akhirnya aku mengerti kenapa Rahwana menculik sang Dewi. Walaupun tau kalo sang Dewi sudah jadi milik Raja Rama. Bertahun tahun dia sanggup menunggu sang Dewi membalas cintanya. Bersabar dengan segala penolakan sang Dewi yang setia pada suaminya. Aku mengerti sebegitu gigihnya Rahwana bertahan untuk sebuah rasa. Sang Dewi memang perwujudan agung dan nyata sebuah kesempurnaan. Baik paras, tutur dan tingkah laku yang begitu anggun. Lalu kalo seorang Rahwana yang sakti madraguna juga seorang raja di tolak, Apalah aku yang bukan apa apa… Aku hanya berhak jadi pengagum sosok sang Dewi yang begitu agung. Sepenggal puisi yang aku tulis karena mengingat karya sastra Ramayana Valmiki karya Sujiwo Tedjo, yang epic menggambarkan kisah cinta Rama, Sinta, Rahwana. Orang selalu berpikir Rahwana sosok yang jahat hanya karena dia menculik Sinta, dari Rama suaminya. Padahal yang punya ketulusan cinta sebenarnya itu Rahwana, bukan Rama yang akhirnya meragukan kesucian Sinta karena pernah jadi tawanan Rahwana. Sampai akhirnya Sinta di buang ke hutan dalam kondisi hamil kembar anak Rama, yang di beri nama Lawa dan Kusya. Jadi melantur lagi, aku memang suka seperti ini, kalo menemukan sesuatu yang menarik. Aku jadi diam saja, mengawasi gimana Sinta dalam wujud nyata bercanda dengan Marina dan sesekali menanggapi obrolan Roland. Aku lupa cerita gimana penampakan Roland. Dia itu ganteng, gayanya juga asyik, tipe yang mudah bergaul, dan tidak mendominasi. Kadang dia cuma tertawa dan sekali meledek, cool tapi tidak kaku, charming sih lebih pantas di sebut begitu. Kalo istilah cewek cewek, diam aja ganteng apalagi tertawa. “Bro, gue cabut duluan ya!!, teman teman gue nunggu di parkiran, cowok cowok rempong” pamitnya saat waktu pulang sekolah tiba. Aku mengangguk sambil tertawa. Aku lalu membereskan buku bukuku ke dalam tas. “Reng!!, dari tadi diam aja, elo sibuk nulis, nulis apa sih?” tegur Sinta setelah Marina juga pamit beranjak duluan. “Kepo!!” ledekku. Sinta cemberut. “Coba lihat!!” paksanya menarik buku yang tersisa di mejaku dengan paksa. Aku meringis waktu dia menatapku dengan dahi berkerut lalu melanjutkan membaca puisi yang aku buat tadi. “Udah ah sini!!” kataku menarik buku itu dari tangannya. “Elo bisa buat puisi?” tanyanya. Aku hanya tersenyum lalu memasukan  bukuku ke tas. “Dikit!!” jawabku. “Melted…persis Rangga” komennya. Aku tertawa lalu bangkit. Bahaya kalo lama lama berduaan, aku bisa semakin terjerat dengan aura anggun sang dewi dalam khayalanku. “Gue balik dulu ya!!” pamitku beranjak. “Reng!!” jeda Sinta. Aku berbalik menatapnya. “Yang di perebutin Rahwana sama Rama itu, Sinta kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kok elo nyebutnya sang dewi?” tanyanya. Aku tertawa lagi. “Gue mau langsung sebut Sinta, takut elo GR” jawabku bergurau untuk menyembunyikan debar jantungku yang tiba tiba berdetak hebat karena di tatap dalam olehnya. “Berarti gue gak akan pernah pantas jadi dewi Sinta dong?, padahal papi kasih nama gue itu, supaya gue jadi cewek cantik tapi berani seperti dewi Sinta yang berani tinggal sendiri di hutan setelah di buang Rama” tanyanya lalu menggigit bibir. Aku menghela nafas. “Gue bikin itu karena lihat elo, berarti gue gak perlu jawab pertanyaan elo kan?” jawabku. Dia mengerjapkan matanya menatapku. “Kalo puisi itu gue buat karena inspirasinya elo, otomatis, sang Dewi yang gue maksud itu adalah elo” lanjutku. Semburat merah perlahan menguar di wajahnya yang putih mulus. “Melted…” desisnya lagi. Aku hanya tersenyum lalu beranjak keluar kelas. Kelas semakin sepi dan semakin bahaya kalo aku terjebak berdua dengan Sinta di dalamnya. Aku bukan Rahwana yang punya ketahanan untuk tidak menyentuh Sinta, aku pasti berharap jadi sosok Rama supaya aku punya hak dan wajib menyentuh Sinta. Tapi pasti harapanku tidak akan pernah terwujud saat ini, kami masih sekolah, dan Sinta nyata belum tentu mau denganku. Jadi lebih baik menjaga jarak aman, sebelum semua jadi berantakan. Hadeh sekolah justru menambah daftar lamunanku untuk membunuh sepi dan sendiriku.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN