Malam Penyiksaan Batin

1925 Kata
"Lebih baik dari sekarang kita jangan terlalu dekat, Fariz. Aku tidak mau menyakiti siapapun—" memutuskan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur adik, begitu menyedihkan. Hampir saja aku menertawakan diriku sendiri, tapi sadar kalau itu sama saja dengan mengejek kekalahan yang mau tidak mau harus aku terima. "Aku tidak mau menyakiti siapapun setelah aku menyakiti diriku sendiri. Terlalu munafik kalau aku mengaku telah mengikhlaskan semua kenangan indah kita, Fariz. Ternyata kamu malah mau mengakhirinya dengan kenangan buruk yang sama sekali tidak diinginkan," batinku. Entah apa yang direncanakan oleh adikku sendiri, dia memilihkan kamar di samping kamar pengantin untukku. Ini benar-benar penyiksaan, pasti malam ini menjadi malam yang begitu panjang dan tidak berujung. Aku akan dipaksa mendengarkan suara kemesraan mereka, dijejalkan dengan keromantisan dari pasangan baru yang telah berkhianat. Seketika aku ingin kabur dari semua kenyataan pahit ini, tanpa memandang dari siapa aku sebenarnya. Andai aku tidak mendengarkan perintah mama, mungkin sekarang aku sudah mendekam di kamarku dan merayakan kekalahanku. Tapi di sini? Sepertinya ruang gerakku dibatasi. Delisa, bertahanlah. Hanya untuk malam ini, setelahnya kembali ke tempatmu, dan paksa melakukan apapun yang kamu mau. Buang semua kenangan, kembali rangkai dengan kisah yang baru. Aku percaya pada janji Tuhan yang menyiapkan kebanggaan untuk semua kesakitanku kini. "Ini kamar kakak. Kalau ada apa-apa, kakak boleh minta bantuan sama aku atau kak Fariz. Kamar kita bersebelahan," ujar Dania menyerahkan sebuah kunci kamar ini padaku. Tidak berkata sedikitpun, aku hanya mengangguk dan mengambil kunci itu dari tangannya. Menutup pintu dan bersandar. "Bahkan kini tugas yang seharusnya dilakukan olehnya malah dilakukan oleh pintu kayu yang keras ini," celetukku tiba-tiba, menertawakan diriku sendiri. "Astaga, miris sekali diriku. Kenapa semuanya malah sekacau ini? Benar-benar tidak pernah ada di pikiranku sebelumnya," aku mengusap wajahku kasar, menghela napas kasar. "Mempertahankan malah fatal, direlakan malah menyakitkan. Terpaksa aku harus memulai semuanya lagi. Pasti berat untukku." Mungkin sebelum tidur, aku memutuskan mandi terlebih dahulu. Setidaknya jika pikiranku kacau, badanku tidak boleh berkhianat. Aku harus kuat membawa diriku melangkah kemanapun aku pergi. Sesampai di dalam kamar mandi, kembali terpikir. Aku bodoh, sangat bodoh. "Aku tidak bawa pakaian satu pun tapi aku malah mau mandi? Mau ganti pake baju apa? Aku tidak mungkin mengetuk kamar pengantin hanya untuk meminjam baju ganti," mengutuk diri sendiri dan pada akhirnya aku hanya bisa membasuh wajah saja. Ya, setidaknya itu lebih menyegarkan daripada mendengar berita pernikahan mereka kemarin. Baru saja keluar dari kamar mandi, ponselku kembali berbunyi. Setelah kulihat, ternyata dari pria baik hati yang bersedia menolongku—Haris. Tepat sekali momennya, aku bisa memanas-manasi mereka "Halo, Haris," sapaku lebih dulu, anggap saja karena aku lebih senang dibandingkan dengan pria itu. Kuputuskan melanjutkan obrolan malam ini di balkon. Seperti kataku sebelumnya, aku sangat tahu bagaimana desain rumah ini. Jangankan desain, bahkan warnanya pun sama dengan yang aku pinta pada Fariz. Lelucon. Ini adalah rumah impianku yang pada akhirnya aku hanya bisa menikmatinya sebagai seorang tamu saja, tidak sebagai tuan rumahnya. "Tidak," secara spontan kepalaku menggeleng, sedikit pusing juga. Entah karena apa. "Aku tidak di rumah, tapi di rumah pengantin yang romantis itu," ujarku, sedikit mengejek. Spontan aku langsung mengeratkan bajuku ketika kulit bertemu dengan angin malam. Ternyata ide mengobrol di balkon tidak terlalu asik, kecuali kalau ada pasangan yang memeluk dari belakang. Ah, ternyata mimpiku beberapa tahun yang lalu masih sama. Semuanya dihancurkan. "Aku juga tidak mau seperti ini, Haris," duduk di salah satu bangku, namun ternyata malah ada genangan air di sana. Aku spontan berteriak kecil. "Gak ada, Haris. Aku gak liat ada genangan air di kursi, celanaku basah." "Kamu mau ganti celana?" Deg. Itu bukan suara Haris yang kudengar dari telpon, melainkan dari suara pria yang ternyata ikut keluar ke balkon sama sepertiku. Pandanganku bertemu dengannya. Satu kata yang ada di pikiranku saat ini, apakah tidak ada penyesalan sedikitpun dalam dirinya karena sudah menyia-nyiakanku? Apakah benar Dania lah yang lebih baik untuknya? Apakah— oh, tidak. Ini kacau, pikiranku kacau sampai-sampai aku mengabaikan telpon Haris. Aku melengos mengabaikan Fariz, masuk ke dalam kamar, mengunci balkon. Mengobrol hangat dengan pasangan di balkon akan kuhapus dari daftar impianku. "Maaf, Haris. Aku tidak dengar suara kamu, putus-putus gak ada signal," alibiku, jelas berbohong. Justru sinyal dari otakku lah yang tidak terkoneksi dengan Haris, bukan sinyal dari alam. Ternyata aku selucu ini. "Iya, boleh. Kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh jemput aku." Haris pria yang sangat baik, menawarkan tuk menjemputku di saat ada pria yang kucinta namun melepaskanku. Sekali lagi, apakah aku pantas menyeretnya masuk ke dalam masalah memuakkan ini? Aku takut dia ikut terluka dan semakin jauh terjun mengikuti alur ini. Setelah telepon kami berdua terputus, aku malah bingung mau melakukan apa. Tidur? Aku takut bermimpi buruk, apalagi sumber segala sakit ini berasal tepat ada di sampingku. Bingung. "Mungkin aku berbaring saja. Kalaupun aku terlelap, anggap saja itu bonusku, ketenanganku," kupilih membaringkan tubuhku di ranjang empuk ini. Rasanya berat sekali menghabiskan setiap detik, menghembuskan setiap napas di ruangan ini. Kupeluk diriku sendiri, membayangkan semua momen yang sudah terjadi, dengan lemahnya aku menangis. Ternyata aku secengeng itu. "Aku hanya belum ikhlas," ujarku. "Tuhan berjanji akan mempertemukanku dengan pria yang pantas untukku, dan mungkin salah satu syaratnya dengan meninggalkan pria yang selama ini kuanggap telah mencintaiku." gumamku di sela tangis yang tiba-tiba keluar tanpa diminta ini. Aku semakin sesegukan, "tapi Tuhan, jangan terlalu lama. Sebenarnya aku selemah itu, hanya pura-pura kuat di saat hatiku dihancurkan." *** Kuterbangun saat merasakan ada yang menyelimuti tubuhku, terasa begitu hangat. Sulit sekali membuka mataku setelah menangis sesegukan, terasa berat dan sedikit perih. Setelah terbuka, ternyata orangnya adalah dia. "Jangan sentuh aku," dingin sikapku juga karena dirinya. Kulempar selimut yang tadi sudah menghangatiku, cukup menjauh dari pria ini. "keluar dari kamar ini." pintaku. Helaan napas kasar terdengar darinya, malah duduk di tepi ranjang. Dengan cepat aku turun dari ranjang, menjauh darinya. "Tolong keluar dari kamar ini atau aku yang keluar?" Pilihannya hanya ada dua opsi itu. Anehnya, dia hanya diam saja. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan saat dia melangkah keluar dari kamar ini pun dia hanya diam saja, tidak ada senyum, sangat datar. Setidaknya aku bisa menghela napas lega setelah dia keluar dari kamar ini. Baru saja kubaringkan tubuhku lagi, pintu kembali terbuka. Aku sontak terkejut, sampai-sampai kepalaku terantuk kayu tepi ranjang. "Aww!" "Kenapa kamu masuk lagi?! Keluar!" Suaraku jelas lantang, tapi setelahnya aku takut Dania mendengarnya. Aku takut dia salah paham dan mengadukan ini ke mama. "Setidaknya pakai selimut atau ganti bajumu yang basah itu. Aku tidak mau kamu meriang, kamu bandel diminta minum obat," ujarnya singkat kemudian menutup pintu kamar. Aku mematung. Pesan yang dia sampaikan sebelum pintu tertutup bagiku sangat mendalam. Dia tahu diriku, sepenuhnya, tapi aku ragu apakah sudah mengenal dirinya. Tapi egoku lebih tinggi, aku mengabaikan perkataan Fariz dan kembali tidur tanpa selimut. Memeluk diri sendiri yang ternyata tidak semudah itu. Ragaku memang sudah didekap, tapi tidak perasaanku. Kacau, aku tidak bisa lanjut tidur lagi. Sampai subuh, aku tidak tidur. Hanya termenung, melelahkan pikiran dengan hal yang tidak-tidak hingga merasakan sendiri kalau badanku terasa remuk. Benar katanya, aku meriang pagi ini. Bahkan sempat bersin pula. Bisa dipastikan kalau aku akan pilek setelah ini. "Mungkin dia mendoakan aku sakit makanya sekarang aku jadi sakit. Males banget!" Kupaksa diriku sendiri ke kamar mandi, membasuh muka. Aku teringat kata mama sebelum berangkat kalau rumah ini belum punya asisten rumah tangga, jadi otomatis tidak ada yang memasak pagi ini. Dania tidak bisa masak, terpaksa aku lah yang merangkap menjadi pembantu. Aku memang tidak terlalu handal dalam memasak, tapi aku cukup pintar dalam hal ini. Setidaknya menyiapkan sarapan, aku bisa diandalkan. "Semoga ada telur, atau setidaknya bumbu nasi goreng instan," harapku, terus berjalan ke dapur. Sesampai di sana, aku tertegun. Benar, seratus persen yakin kalau ini adalah dapur impianku. Tata letaknya, barang-barangnya, bahkan tidak warnanya pun sama dengan yang aku inginkan. Sekali lagi, seharusnya aku lah tuan rumah, bukan tamu rumah ini. "Sakit hatiku lama-lama kalau di rumah ini. Aku seperti hidup di mimpiku sendiri," gerutuku. Membuka kulkas dan ternyata semuanya lengkap. Ada telur, bahkan ada bumbu instan nasi goreng pula. Aku hanya tinggal memotong beberapa tambahan lain. Sebelum melakukan itu semua, aku menanak nasi dulu. Tidak mungkin jadi nasi goreng kalau nasinya sendiri belum ada. Sembari menunggu nasi matang, aku memutuskan ke luar. Kalau memang rumah ini sama persis dengan yang aku inginkan, maka seharusnya ada spot khusus yang dulu kuminta-minta pada pria itu. Lokasinya seharusnya ada di belakang rumah. Kuputuskan ke belakang rumah tuk memastikannya. Sampai di sana, aku sedikit kecewa. Ternyata aku terlalu berharap, kenyatannya tidak ada spot khusus itu. Belakang rumah kosong, hanya taman kecil untuk bersantai saja. "Sadar, Delisa. Kamu siapanya? Kamu itu hanyalah mantannya saja. Dia tidak mungkin mau menghabiskan uangnya hanya untuk membuatkan kamu ruangan itu," sampai aku memukul kepalaku sendiri saking merasa kalau ternyata aku sebego itu. Kubalikkan badanku, cukup membuatku terkejut. Pria itu sudah berdiri di depanku, dengan ekspresi yang sama persis dengan yang kutemui tengah malam itu. Dingin, tidak tersentuh. "Kamu cari apa?" Tanyanya. "Tidak ada," kataku menggelengkan kepala tegas. Aku ingin kabur secepatnya dari tempat ini, tapi dia malah menarik tanganku. "Kamu mau lihat studiomu, kan?" Tanyanya. "Iya, aku cari itu," jawabku dalam hati, tapi kenyatannya aku malah menggelengkan kepalaku. "Kamu terlalu percaya diri. Aku hanya tersesat saja," ujarku. Terkesan bodoh? Iya, aku mengakuinya. Kenapa aku tidak bisa mencari alasan yang lebih logis daripada kata tersesat? Please, aku bodoh sekali. "Aku sudah buatkan itu untukmy, khusus untukmu." Ia kembali menarik tanganku. Ia menyalakan lampu dan terlihat sebuah ruangan lain di depanku. Ternyata aku harus menyalakan lampu terlebih dahulu tuk bisa melihatnya, bukan karena harapanku yang sudah diputuskan olehnya. Ah, tidak, tetap saja harapanku sudah diputuskan olehnya. "Ini studiomu. Di dalam aku sudah siapkan space khusus untuk kamu melukis. Aku sudah siapkan komputer untukmu, kamera terbaru untukmu, lighting khusus untuk—" "Untuk apa?" Aku menyelanya sampai dia menatapku, "untuk apa?" tanyaku lagi. "Untuk kamu," jawabnya. Seketika aku tertawa, menarik tanganku dari genggamannya. Aku hampir menangis, dia sudah menyediakan semuanya untukku sebegitu lengkapnya. "Yakin untukku?" tanyaku. Dia mengangguk. "Iya, Delisa. Untuk kamu. Siapa lagi?" "Istrimu?" tanyaku. Dia bungkam. Aku kembali tertawa, "ternyata kamu lupa kalau kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi selain hubungan ipar." Tidak. Aku tidak bisa menahannya. Kubiarkan air mataku mengalir, sesekali sesak ini perlu dibebaskan. Aku lelah menahannya, menghimpitnya dalam sakit yang tidak bisa kubendung. "Kamu lupa kalau ternyata kamu menikahi perempuan lain?" Tanyaku. "Yang kamu nikahi itu adikku, bukan aku!" Kataku dengan nada yang cukup tinggi. Aku mulai sesegukan lagi di depannya. Maaf, tangis ini tidak bisa aku kendalikan. Aku sampai kacau sendiri dibuatnya, apalagi di depan pria ini. Pikiranku dibuat bingung, hatiku dibuat kacau, apakah dia menginginkan tubuhku melebur juga? Jika memang iya, akan kupertimbangkan. "Kamu membuat rumah ini seakan-akan kamu akan menjadikanku ratunya," tangisku semakin kencang, "tapi kenyatannya kamu malah menjadikanku tamu, dan mengacaukan diriku sendiri." "Kamu sama saja dengan istrimu, egois." ujarku. "Maaf," hanya kata itu yang keluar darinya. "Hatiku sakit sekali, kalian tahu?" "Maaf," katanya lagi. "Kalian membodohiku, menyakitiku, membuatku menjadi orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Aku akui, aku kalah." Tapi dia malah memelukku. "Maaf, Delisa. Ini lah yang terbaik," katanya, berhasil membuatku tertawa di saat hatiku sesakit ini. "Iya, benar. Menghancurkanku adalah keputusan terbaik yang selama ini kamu lakukan, Fariz. Dan kamu tidak akan pernah menyesalinya, sampai kapan pun itu!" "Maaf," ujarnya lagi. Muak. "Ini yang terbaik," bisiknya terus menerus setelah kata maaf, memelukku, tidak membuatku bebas sedikitpun darinya. "Lepaskan aku," pintaku. Fariz tidak mau melepaskanku. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya padaku di pagi hari ini. Aku hanya takut orang melihat dan berpikir yang tidak-tidak, terutama Dania. "Kalian ngapain pelukan gitu?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN