Salah Paham

1873 Kata
"Kalian ngapain pelukan gitu?!" Sekuat tenaga aku melepaskan pelukan Fariz dari tubuhku, Dania sudah melihat kami dan tanpa bertanya pun dia pasti akan marah, pikirannya akan kacau. Penyakit bipolar yang dimilikinya membuatnya merasa bahwa dirinya lah yang paling benar di dunia ini dan aku lah yang paling salah dalam segi apapun. "Lepas!" Hingga akhirnya dekapan Fariz terlepas dan segera masuk ke dalam rumah. Aku hanya heran, kenapa dia malah semakin mengeratkan pelukannya padaku bahkan di saat Dania melihat kami berdua. Dia mengajakku melawan maut. Sangat mengherankan. Sampai di dalam, aku tidak bisa lega begitu saja, terlebih aku mendengar mereka bertengkar dengan sangat jelas. Tanganku sampai gemetar, dadaku bergemuruh kencang. Kusingkap kelambu dan melihat mereka terlibat pertengkaran yang hebat. Pertanyaannya, apakah benar mereka saling mencintai? Seperti yang mereka akui saat malam ulang tahun kami beberapa hari yang lalu? "Aku tidak tahu," kupaksakan pikiranku setenang mungkin dan beranjak ke dapur lagi tuk melanjutkan pekerjaanku. "Lebih baik aku masak. Mungkin dengan adanya makanan membuat mereka lebih tenang lagi. Sumpah, aku juga tidak ingin ada pertengkaran pagi-pagi buta gini." Kumulai mengolah telur dengan bumbu halus lainnya. Ini sangat mudah bagiku, dan mungkin semua orang juga akan bisa sekali mau belajar. Kemudian setelah semua bumbu tercium matang, kumasukkan nasi dan bumbu instan yang ada di balik kulkas milik pasangan suami-istri baru ini. Jujur saja, sepanjang masak tanganku masih gemetar. Aku tidak hanya mendengar bentakan pertengkaran mereka, akan tetapi juga mendengar beberapa barang dilempar. Aku tidak perlu heran atau pun bertanya-tanya lagi, sudah pasti jawabannya Dania. Dia sangat pintar dalam memporak-porandakan segala kondisi, termasuk kembarannya sendiri—aku. Sampai akhirnya nasi goreng untuk pagi ini matang, aku bingung mau memanggil mereka dengan cara yang bagaimana. Pintu kamar mereka tertutup, dan kutatap dari bawah tampak mengerikan. "Mungkin lebih baik untuk saat ini aku pulang saja. Toh aku tidak bersalah," pikirku. Dan aku benar-benar mau pulang tanpa menunggu Haris menjemputku. Sebelum aku pulang, kuambil ponselku di dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar mereka. Aku mendengar mereka, dan tidak sedikit dari ucapan mereka berdua membuatku kembali terluka. "Kamu bilang kalau dia hanya benalu dalam hidupmu," "Iya, memang. Dia memang benalu, dan aku juga sudah lama memutuskan hubungan dengannya. Aku ke belakang hanya untuk menyadarkannya kalau semua hubunganku dengannya sudah tidak ada, tidak lebih dari sekedar ipar. Kenapa kamu tidak percaya saja denganku! Ingat kesehatanmu!" "Tapi kamu memeluknya! aku bisa lihat sendiri!" "Dia yang memintaku—" Deg. Kapan? Kapan aku memintanya. Bahkan selalu dia yang tiba-tiba hadir di depanku. Dia masuk ke dalam kamar hanya untuk menarikkan selimut untukku, peduli dengan menyuruhku untuk tidak berhadapan dengan cuaca dingin, memintaku untuk masuk ke studio yang aku ingin-inginkan sejak dulu, sampai akhirnya dia memelukku di sana. Please, bahkan angin pun bisa menjadi saksi apabila mereka bisa berbicara. Tuhan pun menjadi saksi dari semuanya, tanpa disembunyikan sedikitpun. "Mulai dari hari ini, aku tidak mau kamu ketemu dengan dia bahkan di rumah orang tuaku sekalipun!" Aku setuju untuk yang satu ini. Setidaknya aku juga bisa lebih mudah melupakannya dibandingkan terbeban rindu akan kenangan masa lalu yang dengan berat hati kukatakan terlalu indah untuk kulupakan. Setidaknya, jika dia tidak hadir di depan pandanganku, aku bisa berpikir kalau kehilanganku yang satu ini bukalah hal yang buruk. Dengan cepat setelah aku berhasil mengambil ponselku, aku segera keluar kamar keramat itu lagi. Bertepatan dengan kakiku melangkah di undakan tangga, bertepatan dengan Dania yang membuka pintu kamarnya. "Kakak mau kemana?" tanyanya. Nadanya seperti menahan kekesalan, aku bisa merasakannya. Kubalik badan, mengulas senyum manis padanya. "Kakak sudah buatkan nasi goreng untuk kamu, dek. Kakak mau pulang," ucapku. "Oh, oke," dia berjalan mendekatiku, "tapi aku hanya mau mengatakan satu hal saja pada kakak," sampai akhirnya dia ada tepat di dekatku, di depan mataku. Ia tampak asing, bukanlah saudara kembarku, bahkan aku tidak merasakan ada ketenangan dalam dirinya. Tampak sangat marah. "Aku hanya mau memperingati kakak untuk tidak gatal pada suami adik kakak sendiri. Kalau kakak melakukannya sekali lagi, aku akan laporkan kakak pada mama dan tentu masalah ini akan diketahui dua keluarga. Kakak akan sangat malu karena sudah berani-beraninya mencoba menjadi orang ketiga di rumah tangga adik kakak sendiri. Kakak mengerti kan maksud aku?" Tanyanya. Baik, aku menganggukkan kepalaku. Tapi aku hanya punya satu hal yang patut dipertanyakan, "kenapa harus aku yang disalahkan di saat aku tidak melakukan apapun, bahkan menggoda suamimu pun tidak pernah kakak lakukan, sedangkan kakak tidak mempermasalahkan di saat kamu merebut pacar kakak menjadi suami kamu, dek? Kakak pasrah, kakak serahkan semuanya atas nama kebahagiaan kamu yang diidam-idamkan sama mama dan papa. Apa kakak bahagia? Tidak sama sekali. Kalaupun kakak menolak, tidak akan ada yang peduli. Dan sekarang kamu menyalahkan semuanya pada kakak lagi? Pantas kamu mengatakan ini sama kakak? Kamu gak malu?" Tanyaku kemudian melengos pergi dari hadapannya. "Ingat, kakak itu hanya iparnya, jangan belagu menjadi selingkuhannya ataupun pacarnya lagi!" Teriaknya. Serasa kakiku terhenti, berat sekali melangkah lagi. Kenapa selalu terasa sakit? Tuhan, berkali-kali Hamba katakan, Hamba lelah. Tidakkah Engkau memberikan sedikit waktu kepada Hamba tuk istirahat dari semua kesakitan ini? Setidaknya sehari. Kuberbalik lagi, menatapnya. Kulihat Fariz keluar dari kamarnya, menatapku dengan beraninya. Dia merangkul Dania di hadapanku sendiri. Oke, aku terima. Mereka sudah sah menjadi pasangan suami-istri sedangkan aku hanyalah sebuah masa lalunya saja. "Ya, benar. Kakak hanyalah iparnya saja, maka jangan jejalkan semua permasalahan ini pada kakak. Sesekali, salahkan juga suamimu yang sudah berani masuk ke dalam kamar kakak, sudah berani memeluk kakak. Tanyakan sama dia, kenapa dia melakukan itu?!" ujarku, sudah muak. Sesekali aku juga bisa meledak dengan perasaan yang sekacau ini. "Ken—" Sebelum Dania mempertanyakannya, aku menyela. "Dia pasti akan menyalahkan ku. Dia akan anggap aku benalu dalam hidupnya. Aku terima, dan terima kasih. Setidaknya kedepannya aku bisa lebih pintar menilai mana yang benar-benar tulus atau hanya akal bulusnya tuk menghancurkan namaku." Kataku. "Dan untuk kamu, dek." Dania langsung menatapku. "Ingat, kamu sudah nikah, sudah menjadi tanggung jawab suamimu. Kalau kamu ada masalah, urus dengan suamimu, jangan dengan keluarga. Jangan mudah membawanya ke keluarga besar. Karena dengan kamu melakukan itu, sama artinya kamu memperjelas bahwa selama ini kamu hanya bisa bersembunyi di balik ketek keluarga, memperjelas kalau kamu lemah dan manja." Kataku, mungkin akan menyakiti dirinya, namun tak seberapa dengan kekecewaan yang aku terima. "Dan jangan lupa untuk peringati suamimu tuk jangan ketemu aku lagi. Aku sudah muak dengan kalian berdua, tapi beban atas nama keluarga ini membuatku tidak bisa menolak." Air mataku menetes. Sudah kukatakan, aku tidak kuat. Aku lemah. Kupaksa ragaku tuk kuat, tapi hatiku serapuh itu. Aku tak mampu. Dengan keadaan selemah ini, kupaksakan tetap kuat berdiri di depan mereka berdua. "Andai aku bisa memilih, aku akan lebih memilih mati dibandingkan memaksa tersenyum dengan kesakitan yang luar biasa ini. Agar kalian berdua tahu, kalau kalian sukses membunuh jiwaku, tapi tidak dengan ragaku." *** Sesak sekali. Menangis sembari berjalan sendirian tanpa mengenal arah seperti ini membuatku merasa begitu kesepian, padahal ada begitu banyak orang yang berlalu lalang di sekitarku. Sesak di d**a benar-benar tidak bisa kubendung, aku butuh pelampiasan sakit ini dalam bentuk apapun. Tit! Tit! Tit! "Ayo masuk ke dalam!" Kutolehkan pandanganku ke samping dan melihat Haris. Sontak kakiku berhenti melangkah, tangisku segera kuhempas. Dengan begitu baiknya dia membukakan pintu mobil untukku, tanpa menolak aku langsung masuk. "Terima kasih," ujarku. Tidak lama setelahnya dia masuk pula ke dalam mobil. Aku sengaja menghindari tatapannya, aku tidak mau ada orang lain yang kukenal merasa kasihan denganku atas kesedihan ini. "Kamu habis nangis? Kenapa?" Tanyanya. Aku menggeleng, melambaikan tanganku pula padanya. "Aku baik-baik aja. Tadi banyak asap, mataku sensitif makanya jadi berair." Alibiku. Kupaksakan terlihat baik-baik saja di depannya, memasang senyum yang sama sekali sudah kukendalikan. "Kamu bohong. Kamu habis nangis," bantahnya. Tangannya terulur mendekat, segera aku menangkapnya. "Jangan. Aku belum cuci muka," kataku. "Kamu diapain sama mereka? Dia bilang apa sama kamu?" tanyanya, sudah tahu yang terjadi hanya dengan membaca air mukaku. "Katakan padaku dengan sejujur-jujurnya, Lisa. Aku gak mau kamu terus-terusan di perlakukan seperti ini." Aku terharu. Diantara sekian orang yang aku harapkan bisa mendukungku di segala kondisi, hanya pria ini lah yang paling peduli. Bahkan bisa mengalahkan orang tuaku yang ternyata pilih kasih pada anaknya sendiri. "Tidak ada, Haris. Aku tidak kenapa-napa, kamu tenang saja." Kataku. "Katakan dengan jujur!" Tegasnya. "Aku baik-baik saja, Haris. Aku sedih bukan berarti menjadi salah orang, kan?" Seharusnya aku mempertanyakan hal ini dulu pada diriku. Pada kenyatannya, aku lebih banyak menyalahkan diriku sendiri dibandingkan orang lain. Sangat mengherankan. "Jujur atau aku sendiri yang mencari tahu, Lisa. Tanpa kamu jelaskan aku sudah tahu kalau pelakunya sudah pasti saudari kembarmu yang egois itu dan mantan kamu yang kelakuannya kayak setann terkutuk itu," duganya seratus persen benar. "Iya, kan?" tanyanya. Kupandang dirinya, membuatku bertanya-tanya. Kebaikan apa yang pernah aku lakukan di masa lalu sampai bertemu dengan pria sebaik dia. Apa yang pernah aku korbankan sampai dipertemukan dengan pria sepertinya. Aku sangat beruntung bertemu dengannya meski hanya sementara, aku ikhlas. Setidaknya dalam hidup ini masih ada yang mau membelaku mati-matian. "Iya, kan, Lisa? Mereka berdua pelakunya, kan?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk, spontan memeluknya. Aku tidak akan merasa menyesal telah memeluk pria ini, dan mungkin aku akan menjadi orang yang paling beruntung karena bisa mengenalnya. "Terima kasih sudah mau peduli sama aku, Haris. Kamu menjadi satu-satunya pendukung ku, bahkan di saat keluargaku pun tidak pernah mau melakukannya. Terima kasih sudah mau peduli tanpa pamrih." Kataku saat memeluknya. Rasanya, aku tidak malu terlihat lemah di depannya, karena aku yakin dia pasti akan mendukungku. Sepertinya. Semoga saja dia tidak menghancurkan hadapanku. "Tolong jangan hancurkan harapanku. Aku hanya butuh dukungan, bukan penyalahan. Aku juga punya hati yang mudah hancur, Haris." "Iya, Lisa. Percayakan padaku." *** Sesampai di rumah, aku melihat mama yang berdiri tegap di depan pintu rumah. Dia menatap tajam ke arah kami berdua—aku dan Haris. "Kayaknya mama lagi marah, Haris. Mungkin Dania sudah melapor sama mama," kataku. Haris memegang tanganku, membuatku merasa dilindungi oleh dirinya. "Aku akan dukung kamu. Kalau mama mu bersalah, tetap saja bersalah. Aku tidak mau membeda-bedakan siapapun bahkan itu orang tuamu sendiri." katanya. Sampai akhirnya aku dan Haris menghadap mama, begitu menegangkan. Aku sampai mengeratkan pegangan ku di lengan Haris. "Ma, kakak sudah pulang," kataku takut-takut. Plak! "Tante!" "Kamu habis ngapain adek mu sampai nangis begitu?!" Bentak mama. Pipiku memanas, sedikit panas dan sakit, tapi lebih sakit hatiku sendiri. Tanpa perlu ditawar-tawar, air mataku keluar. Aku mematung, tidak berkutik, masih tidak mengerti dengan semua ini. "Mama minta kamu ke sana buat bantu dia, bukan untuk buat dia nangis, bukan untuk gatel-gatel ke suaminya, Lisa! Kamu itu kakaknya, bukan musuhnya!" Bentak mama lagi. Haris menarik tubuhku, bersembunyi dibalik tubuhnya. Ia begitu berani berhadapan dengan mamaku, di saat aku sendiri tidak bisa melakukannya. "Tante, sepertinya Tante salah paham. Yang menggoda lebih dulu itu Fariz, bukan Lisa. Tante sudah dibohongi." ucap Haris. "Mana mungkin Dania bohong sama Tante. Dia anak yang baik, tidak pernah bohong. Justru Delisa lah yang suka berbohong. Dia masih tidak bisa melupakan Fariz makanya dia menggoda suami adiknya," tuduh mama. bullshit! "Ya, salahkan saja semuanya padaku, ma. Mau sebaik apapun Lisa ke adek, sampai kapanpun akan dinilai salah. Padahal yang sebenarnya terjadi, adek lebih b******k dari yang mama kira. Dia melakukan kebohon—" Plak! "Jangan kurang ajar!" Bentak mama. "Tampar lagi." Pintaku, menarik tangannya, kutempelkan di pipiku yang sudah kena tamparan untuk kedua kalinya. "Tampar Lisa lagi, bila perlu bunuh Lisa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN