"Dania hamil, mama minta kamu tinggal di rumahnya saja, rawat dia." Pinta mama.
Sebenarnya aku bingung mau menolak atau tidak. Mama datang meminta tolong dengan kata-kata yang sungguh manis, melupakan semua hal jahat yang sudah dia lakukan padaku. Tapi, tawaran yang dia berikan sangatlah mencekik ku. It's okey kalau Dania hamil, dia punya suami, tapi kalau menyuruhku tinggal di sana? Hmm.. sama saja dengan percobaan bunuh diri apalagi sekarang pikiranku sedang kacau dengan penyusunan tugas akhirku, beda dengan Dania yang memutuskan cuti setelah ia menikah.
"Untuk kali ini Lisa nolak, ma. Maaf. Tapi Lisa harus persiapan skripsi. Kalau Lisa di sana, takutnya pikiran Lisa terganggu. Lisa mau lulus cepat." Jawabku.
"Kalau mama minta kamu tinggal di sana, tinggal! Mama paling muak sama orang yang nolak permintaan mama. Mama paling benci dengan orang yang seperti itu," padahal sebenarnya dia sudah melakukan itu padaku sejak lama. Membenciku, tidak menyukaiku, bahkan mungkin menganggapku sebagai musuh. Baginya, hanya Dania lah anaknya sedangkan aku hanyalah pelampiasannya saja. Mungkin lahir dari rahimnya adalah hal yang cukup aku sesali.
"Padahal sejak dulu mama benci aku,"ujarku tidak peduli. Aku hendak melengos pergi dari hadapannya, tapi dia malah menarik bajuku hingga buku-buku jurnal dan kacamataku terjatuh menggelinding di tangga rumah. Kutatap, tampak begitu menyedihkan, seperti diriku.
"Cepat kemas baju-baju kamu dan pergi ke rumahnya Dania. Kamu hanya tinggal tidur dan masak saja buatnya, tidak lebih. Kamu tidak jadi tukang kuli. Gitu aja repot!" Nada tinggi mama membuatku semakin tidak menyukainya. Ia bisa mengatakannya dengan lembut, tanpa keras-keras seperti ini.
"Mama bilang apa? Tinggal tidur sama masak aja? Mama gak sadar kalau itu saja sudah pekerjaan seorang pembantu." Kuberani tantang mama. "Jadi selama ini mama hanya anggap aku sebagai pembantu? Bukan anak? Hah?!"
"Lisa, kamu itu anak pertama. Kamu harus bantu adik kamu. Ya kalau kamu menyebutnya pembantu, silakan saja. Itu kamu yang menyebutnya, bukan mama." Ternyata mama mengakuinya kalau aku adalah seorang pembantu baginya. Kecewa dan sakit hati mendengarnya
"Pokoknya mama gak mau tau. Kamu harus pergi ke rumah adikmu dan tinggal di sana. Kamu bisa balik kalau mama minta kamu balik," pergi begitu saja dari hadapanku setelah mengatakannya.
Kutelan bulat-bulat sakit hati ini. Mama keras kepala dan aku tidak mau mendengarkan alasan lain selain aku harus tinggal di rumah impian burukku itu. Mau sekeras apapun aku menolak, tidak akan mempan. Lebih baik aku turuti saja perintahnya.
Sebelum memulai mengemas baju-bajuku, aku mengambil buku dan kacamataku yang sudah terkapar tak berdaya. Kacamataku pecah, sudut bukuku sedikit penyok. Mereka sama sepertiku, sama-sama hancurnya.
"Semangat ya, kalian mewakili diriku. Kalian hancur, aku lebih hancur. Kalian tidak punya hati, sedangkan hatiku sudah remuk berkeping-keping," kataku, memeluk benda-benda penyelamat masa depanku ini. "Tenanglah, aku lebih depresi dibandingkan kalian." Ujarku, kemudian naik ke lantai atas lagi—kamarku. Anehnya, aku tidak menangis sama sekali. Hanya sakit hati yang teramat saja.
***
"Kok bisa-bisanya mama mu minta kamu buat tinggal di rumah adek kamu sendiri. Padahal kan mereka tahu kalau kamu dengan mereka tidak berhubungan baik, bahkan Fariz juga mantan kamu. Apa mama mu gak takut kalian bertengkar lagi?" Tanya Haris.
Setelah aku mengemas beberapa baju-bajuku dan beberapa barang-barang lainnya, terutama untuk keperluan kuliahku, aku meminta Haris untuk menjemputku. Dia sedang bekerja sehingga aku harus menunggunya pulang dulu baru bisa menjemputku. Pada akhirnya, mama yang memintaku pergi ke sana ketika pagi, malah pergi ketika malamnya. Ya sudahlah, kalaupun yang mama kesal, itu adalah urusannya. Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyusahkannya.
"Entahlah. Aku sudah nolak, tapi mama tetap maksa aku buat tinggal di rumahnya. Aku pasrah, Haris. Kalaupun nantinya aku bertengkar dengan adikku, aku bisa apa? Toh pada akhirnya tidak akan merubah apapun, kan? Aku tetap membenci mereka berdua. Aku hanya tinggal memaksa tubuhku untuk menjalankan perintah mereka."
Sembari menuju ke rumah Dania dan Fariz, aku membaca-baca jurnal sepanjang perjalanan. Dalam tugas akhir ini, Haris juga ikut membantuku. Dia yang sudah berpengalaman, memberikan banyak masukan untukku.
"Kamu ikutin perintah mereka? Kamu yakin?" Tanya Haris, menaikkan alisnya seperti meremehkanku. Dia tidak tahu saja, meski mental dan hatiku sudah dibanting habus-habisan, tapi aku tetap baik-baik saja sampai saat ini. Aku akan kacau hanya ketika bertemu dengan orang-orang toxic seperti mereka, selebihnya biasa-biasa saja.
"Begini, Haris," kulepas kacamataku, mengalihkan perhatian kepadanya. Kali ini pembahasannya agak berat. "Mereka semua, maksudku adalah keluargaku, menganggapku seperti pembantu mereka. Ini bukan aku yang ngomong, tapi mama sendiri yang mengakuinya. Dia bilang kalau aku harus tinggal di sana, masak untuk Dania dan suaminya, membantunya melakukan pekerjaan rumah tangga. Semuanya tidak ada bedanya dengan pekerjaan asisten rumah tangga. Di satu sisi aku harus menjadi pembantu, di satu sisi aku harus fokus menyelesaikan tugas akhirku. Sedikit gila tidak apa, Haris," menyeringai dan tertawa untuknya.
"Are you okey?" Tanyanya. Dia memegang keningku, beralih ke keningnya. "Atau aku yang aneh? Kamu bisa gila menyelesaikan dua pekerjaan itu sekaligus, Lisa. Jujur, di pikiranku sekarang, kamu tuh akan sering bertengkar dengan adikmu, karena masalah pria b******k itu. Kalian akan membuat suasana rumah seperti kapal pecah. Dan uang kedua, adalah masalah skripsimu. Kamu harus fokus, Lisa. Harus fokus." Menekan pads kata fokus.
"Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah muak dengan mereka berdua. Aku seperti boneka yang bisa mereka mainkan seenaknya, tapi mereka lupa kalau aku bisa saja menjadi boneka yang melawan mereka. Kalau nanti aku butuh bantuanmu, aku pasti akan menelponmu." Ucapku
"Itu harus kamu lakukan. Kamu harus tetap menghubungiku tiap hari karena kalau tidak, aku akan berpikir kamu ada masalah di rumah neraka itu."
Ucapan Haris membuatku tertawa. "Posesif sekali kamu, mantan suami!" Ejekku.
"Hey! Kita belum mantan, ya. Kamu gak mau jadi pacar aku, bahkan mama mu juga menolak lamaranku."
"Jadi kita apa dong?" Tanyaku. "Pacar pura-pura?"
"Bukan." Tolak Haris, atau mungkin dia punya istilah lain untuk hubungan yang satu ini. "Lebih tepatnya calon pasangan. Setelah kamu lulus kuliah, aku akan ajak kamu ketemu keluargaku. Kalau keluargamu tidak merestui, cukup orang tuaku saja."
Semakin membuatku tertawa. Aku bisa tertawa selepas ini ketika bersama dengan Haris, tapi aku akan begitu sakit hati ketika bertemu dengan keluargaku yang toxic. Sangat toxic, seperti racun.
"Tidak semudah itu, Haris. Kalaupun kita ke rumah orang tuamu, belum tentu kita dapat restu. Dan kalaupun dapat restu, orang tuaku tidak setuju. Mama bilang, bukan kamu yang tidak pantas untukku, tapi aku lah yang tidak pantas untuk kamu. Miris sekali nasibku!" Aku menertawakan diriku sendiri, di samping Haris yang ternyata terlihat marah akan hal itu.
"Aku serius," tegas Haris.
"Kamu pikir aku bercanda? Mama bilang gitu lho sama aku, bukan aku sendiri yang bilang gitu." Balasku.
"Kalau semuanya tidak kasih restu, kita kabur ke luar negeri dan menikah di sana. Kita hidup jauh-jauh dari mereka semua," putus Haris. "Aku serius," imbuhnya lagi.
"Jangan." Aku ikut serius, menutup jurnal-jurnal yang k****a dan dengan pandangan lurus ke depan. "Kamu gak tahu gimana sesaknya tidak diakui keluarga, maka jangan coba-coba pisah dari keluargamu hanya karena aku. Aku tidak mau menjadi sebuah alasan retaknya hubungan kekeluargaan kalian."
"Aku serius, Lisa ." tegas Haris lagi.
"Aku lebih serius." Kutatap dirinya, "kamu gak bakal sanggup. Itu sakit sekali." ujarku sebagai pihak yang sudah mengalaminya.
***
"Halo, selamat malam. Perkenalkan saya pembantu baru di rumah ini," ujarku memperkenalkan diri di depan Fariz dan Dania yang ternyata sudah menunggu di depan pintu rumah.
"Ya, silakan masuk, pembantu." Ketus Dania, tidak beradab sekali padaku sebagai kakaknya.