Di Luar Dugaan

1556 Kata
"Aku balik untuk menepati janjiku." Katanya. Cukup lama kuterdiam, memikirkan janji apa yang dimaksudnya. Lagu-lagu yang tadi mengalun merdu dan mampu membuatku tenang pun tidak ada artinya untuk saat ini. Aku hanya fokus memikirkan janji apa yang dimaksudkan Haris. Sampai akhirnya aku nyerah, hanya nyengir saja, "Haris, maaf, tapi kayaknya otakku udah agak rusak. Maksud kamu janji, apa ya?" Tanyaku. Dia terkekeh, merangkulku masuk ke dalam rumah. Tentu aku hanya terbengong saja, otakku semakin dibuat penasaran olehnya. Dia mengajakku sampai ke dalam rumah. "Haris, maksud kamu apa sih? Aku bingung banget, sumpah deh," kupisahkah diriku darinya. "Janji yang mau kamu tepati apa?!" "Aku pernah berjanji untuk mengeluarkan kamu dari rumah ini dan sekarang aku mau melakukan itu." Deg . Oh, ternyata itu. Dia mau mengeluarkanku dari rumah penuh siksaan ini. Sungguh di luar dugaanku dia mau melakukan itu dengan penuh niat. Setelah cukup lama, dia balik lagi untuk membuktikannya. "Kenapa kamu mau melakukannya? Selama ini kamu kemana aja?" Tanyaku. "Mungkin aku lupa memberitahumu kalau selama ini balik lagi ke rumah orang tuaku untuk meminta izin tinggal di sini. Aku juga meninggalkan semua pekerjaanku di sana dan sepertinya aku akan mulai melamar pekerjaan di sini, di rumah sakit yang ada di sini," jelasnya, terdengar sungguh baik dan melakukan banyak pengorbanan, tapi apakah itu benar untukku? "Tapi tidak mudah mengeluarkan aku dari rumah ini. Orang tuaku pasti tidak setuju," yang kutakutkan malah nantinya Haris terlalu dalam ikut campur dan susah untukku keluarkan dari masalah ini. Aku takut dia terluka. "Ada satu cara yang bisa aku lakukan agar orang tuamu setuju. Aku pikir ini akan berhasil." "Apa?" tanyaku. "Kita menikah." *** Ide yang dibawa Haris benar-benar gila. Mau bagaimanpun aku memikirkannya, tetap saja aku tidak mengerti. Aku sampai jungkir balik memikirkannya di dalam kamar, tetap tidak bisa menemukan jawaban yang tepat. Bahkan sekarang dengan penuh ketenangan dia malah mengakuinya di depan keluargaku, terutama di depan pasangan penuh romantis itu. "Aku mau menikahi Delisa," pintanya di depan keluargaku. Kutatap satu per satu ekspresi mereka, dan sepertinya tidak aman. Papa dan mama tidak berkutik, tapi malah menilai Haris penuh curiga, sedangkan Dania tidak perduli sedikitpun. Berbeda halnya dengan Fariz, dia malah seperti marah. Jujur, untuk sampai kapanpun, aku tidak mengerti dengan pola pikir pria yang satu ini. Dia sudah menikah, tapi apapun yang berkaitan denganku sikapnya seperti saat kami pacaran dulu—posesif, cemburuan, dan memuakkan. "Apa Delisa hamil?" Tanya mama, seketika membuatku langsung kecewa, patah hati mendengar mama mengatakan hal sekeji itu. "Maksud mama apa?" Tanyaku, hampir tertawa, tapi mata sudah berkaca-kaca. "Tega sekali mama bilang aku hamil, sedangkan selama ini aku selalu di dalam rumah. Bahkan kuliah pun tidak mama kasih," membela diriku sendiri adalah seni yang harus kuasah mulai dari sekarang. "Ya kali aja kamu hamil," mengangkat bahunya penuh arogan, mama benar-benar bersikap memuakkan. "Kalau kamu hamil, gugurkan anak itu. Jangan menikah dengan pria ini, dia tidak cocok untukmu." "Astaga..." Aku dan Haris serempak menggumamkan kata itu, benar-benar menyesakkan. Perkataan mama sungguh sangat-sangat kasar dan biadab, tidak berpendidikan. "Mama tega banget. Aku tidak hamil!" Tangisku pecah di depan mereka, "selama ini Lisa selalu sabar dengan sikap kalian, selalu berusaha yang terbaik meski ujung-ujungnya menyakiti diriku sendiri. Lisa mengedepankan kalian semua di atas kepentingan Lisa sendiri, tapi kenapa kalian malah seperti ini pada Lisa?! Sakittt hati Lisa!" "Masuk ke dalam kamarmu, dan jangan pikir kamu bisa menikah dengan siapapun, kecuali dengan pria yang direstui oleh mama." Seperti katanya, aku berlari masuk ke dalam kamarku, membawa sakit hati yang kembali mereka torehkan. Sakit hati pernikahan bulan lalu saja masih terasa segar, mereka kembali menambahnya dengan luka lain yang hampir sama konteksnya. Sungguh sampai kapanpun aku akan menganggap ini semua adalah ketidakadilan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan. Kutumpahkan semua rasa kekecewaan dan sakit hati yang kurasakan. Aku tidak peduli jika mereka mendengarkan semua tangisku, tidak peduli jika mereka mendengarkan semua keluh kesahku, bahkan tidak peduli jika mereka mendengarkan semua bentuk rasa pelampiasan yang aku lakukan. Selama ini aku selalu menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Kulempar benda apapun di depanku, sembarang arah. Suaranya terdengar begitu kacau, ditambah tangisku yang makin parau, semuanya kacau! Hatiku kacau sekacau kamar ini. "Kalian gak adil sama sekali! Kalian membahagiakan Dania, tapi aku malah disakitin kayak gini!" Prang! Kulempar sebuah vas bunga ke cermin yang selalu kujadikan sebagai saksi penyalahan diri sendiri dengan orang lain. Sekarang dia sudah pecah, tak terbentuk, dan memperlihatkan betapa hancurnya aku jika memaksa bercermin padanya. "Aku muak dengan kalian semua! Aku butuh keadilan!" Teriakku. Tanganku sudah siap melayangkan benda lagi tuk lebih menghancurkan cermin itu, tapi ketukan pintu itu membuatku berhenti sejenak. "Jangan kayak anak kecil. Bagus-bagus kalau mama tidak kasih izin kamu nikah sama dia. Bukan dia yang tidak pantas untuk kamu, tapi kamu lah yang tidak pantas menjadi istrinya bahkan menantu di keluarganya. Mereka itu keluarga yang baik-baik, sedangkan kamu bisa ngaca sikapmu sendiri bagaimana," kata mama terdengar jelas sampai ke telingaku. Iya, mama mengatakan dengan jelas kalau aku lah yang tidak pantas, aku lah yang salah, aku lah yang menjadi alasan dari semua kehancuran ini. Mama tidak salah, mama hanya menyelamatkan keluarga Haris untuk tidak hancur seperti diriku. "Jangan membuat mama pusing dengan tingkah lakumu yang kayak gini. Jadilah kayak anjing peliharaan, yang manut pada pemiliknya." Kata mama lagi dibalik pintu itu. Aku langsung tertawa, begitu kencang. Air mataku ikut menertawakan ku. "Iya, aku anjing," mengakuinya, meski sangat berat terasa di hati. Ambruk, diriku tidak sanggup lagi. "Aku seekor anjing yang harus nurut sama pemiliknya. Ternyata bukan Tuhan pemilikku, tapi malah orang tuaku," semakin kuperjelas pada diriku sendiri, takut-takut diriku lupa dengan ketidakpantasan ini. "Aku anjing!" Raungku! *** Aku keluar kamar jam 2 tengah malam untuk mengisi perutku. Setelah penolakan yang dilakukan mama terhadap Haris, aku terus mendekam di dalam kamarku yang sudah kubuat kacau. Sebenarnya, aku bukannya sakit hati karena mama menolak pernikahan yang dipinta oleh Haris, jujur saja aku juga belum siap. Tapi aku sakit hati karena mama mengatakan dengan begitu mudahnya kalau aku hamil, karena itu Haris mau menikah denganku. Dan kalaupun aku hamil, harus digugurkan. Betapa kejinya hati Mama. "Gak ada makanan sama sekali. Mereka lupa kalau aku belum makan." "Kayaknya mie instan cocok. Aku malas masak," putusku. Kubuka lemari tempat persediaan mie instan, ternyata habis, kosong melompong. Tidak ada satupun yang tersisa. Lalu setelah ini aku harus makan apa? Tak bertenaga, aku duduk di salah satu bangku. Memangku daguku, berpikir keras antara mau masak atau tidak. Hati lelah, batin lelah, bahkan raga pun rasanya hampir menyerah. Aku mau istirahat, tapi perut sialan ini membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. "Aku minum air aja deh. Daripada masak ini-itu, makin lama, malah nantinya aku dikira maling sama mama. Padahal rumah sendiri." Kutuangkan air mineral ke gelas dan meneguknya. Baru saja setengah, ada suara yang terdengar. "Mau aku masakkan?" Byur! Aku tersedak, menyemburkan hampir semua air yang sudah masuk ke tenggorokan. Air berceceran di meja, dan pelakunya adalah Fariz. Kenapa lagi dengan pria ini? Kenapa dia terus menggangguku? Kenapa dia tidak balik saja dengan istrinya ke rumahnya itu? "Kenapa kamu tiba-tiba masuk ke sini?!" Aku mencari keberadaan lap dan kurasa pria itu mengikutiku. "Jangan menikah dengan pria lain manapun," ujarnya, tanganku yang hendak mengambil lap seketika berhenti. Kutolehkan mataku tuk memandangnya, melihat dirinya yang tampak serius, tapi aku malah tertawaan ngakak. "Apa urusannya dengan kamu, bego?! Urus saja istrimu yang hamil itu. Mau aku menikah dengan Haris atau siapapun, tidak ada hubungannya dengan kamu." Balasku, tertawa. Menggelengkan kepalaku penuh keheranan, "kok malah ngatur-ngatur, padahal gak punya hak sama sekali." ketusku. "Aku punya hak karena aku iparmu dan aku pernah jadi pacarmu. Aku tahu mana yang terbaik untukmu, dan penilaian ku mengatakan kalau Haris itu tidak baik untukmu." "Bahkan kamu lebih b******k darinya," melengos pergi dari hadapannya. Aku tidak suka lagi dengan pria ini. Aku hanya muak dengan sikapnya yang seakan-akan hubungan kita begitu dekat, padahal sudah ada tembok yang begitu tinggi berdiri diantara kita berdua—tembok kebencian. "Aku serius. Jangan menikah dengannya karena aku berniat mau menikahimu nan—" Byur! Kusiram wajahnya spontan dengan air sisa yang ada di gelas. "Jangan mempermainkan pernikahan. Dania mungkin sudah sangat jahat sama aku, tapi mendapatkan kamu adalah suatu keberuntungan baginya. Karena apa? Kalian sama-sama jahatnya. Pantas Tuhan menyatukan kalian berdua." Aku segera pergi meninggalkan pria itu sendirian di dapur. Kulihat Dania sudah menunggu di depan kamarnya. Aku tidak peduli dia melihatnya atau tidak, aku benar-benar tidak peduli. Sekarang semuanya terasa tidak baik-baik saja jika dipikirkan. "Kakak ngapain sama suami aku?" Tanya Dania. "Terserah!" Brak! Bertepatan denganku masuk kamar, bertepatan dengan ponselku berdering. Kucari-cari lagi dimana letak ponselku yang sudah kubuang sejak tadi sore. Ternyata ada di bawah kolong ranjang. "Haris ngapain ya nelpon jam segini?" Tapi aku menerimanya. "Halo, Haris," setelah menangis, suaraku jadi serak. Mataku lelah dan satu-satunya yang kubutuhkan saat ini hanyalah istirahat. Tidak ada yang lain. Dari sana Haris berbicara, "bagaimana keadaanmu?" tanyanya. "Sedikit kacau. Aku hampir gila. Tapi tidak apa." Bohong. Aku berbohong! Bagaimana mungkin aku bisa bilang kalau aku baik-baik saja sedangkan semuanya terasa begitu tidak adil untukku. "Kamu bohong." Katanya. "Aku jujur," balasku. "Bohong," katanya lebih keras kepala. Huft... dia keras kepala dan membuatku tidak bisa berbohong lagi kalau aku, "ya, aku hancur. Aku hampir gila. Aku muak dengan semua ini." Tapi setelahnya dia tidak membalas apapun. Hampir saja aku mau memutuskan panggilan ini jika dia tidak berbicara lagi. "Tenangkan dirimu," peringatnya. "Aku bahkan berencana mau bunuh diri, kamu tahu?" Aku tertawa, sudah gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN