Minzy terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar suara orang yang sedang bergumam tidak jelas. Mau tidak mau ia harus membuka matanya dan mengabaikan rasa pegal karena terlalu lama berkutat di dapur. Salahnya sendiri tidak ingin dibantu oleh pelayan rumah, alhasil Minzy kelelahan karena memasak dan mencuci alat setelahnya. Padahal para pelayan sudah mencegahnya.
Minzy membuka matanya dengan perlahan dan bangun dari tidurnya. Ia melirik tempat tidur sebelah kirinya, kosong. Di mana Marvi?
Lalu, matanya melihat pintu menuju balkon kamar terbuka.
"Apa yang Marvi lakukan di luar malam-malam begini? Ck." Minzy beringsut turun.
Sebelum menemui Marvi, ia meregangkan ototnya terlebih dahulu. Kemudian ia berjalan menuju balkon. Dan benar saja, Marvi tampak duduk di sebuah kursi dengan ditemani 2 botol wine. Entah sudah minum seberapa banyak, tapi Marvi sudah terlihat mabuk.
Minzy menatap aneh Bos yang sekarang menjadi suaminya itu. Karena saat ini Marvi sedang shirtless.
"Tuan, Pak, maksudku Vi, apa kau mabuk? Kenapa kau shirtless malam-malam di balkon kamar? Angin malam tidak baik." Tanya Minzy seraya memegang bahu Marvi.
Marvi menatap Minzy yang berdiri di sampingnya. "Aku tidak mabuk."
"Minzy, kalau aku mabuk... Aku akan banyak bicara." Ucap Marvi.
"Aih... Dia tidak sadar kalau ucapan ngelanturnya membuatku terbangun." Ucap Minzy bergumam.
Tanpa banyak bicara, Minzy langsung mengambil gelas yang berada dalam genggaman Marvi dan menyimpannya di atas meja. Kemudian ia meraih tangan Marvi dan memapahnya untuk masuk ke dalam kamar.
"Kau berat sekali," ucap Minzy.
Setelah bersusah payah, akhirnya Minzy berhasil membaringkan tubuh Marvi di atas tempat tidur.
"Menyusahkan sekali," kata Minzy seraya menatap Marvi yang terbaring di atas tempat tidur.
Minzy tersenyum begitu saja ketika Marvi menarik selimut menutupi tubuhnya yang tidak memakai baju. Minzy menutup pintu balkon terlebih dahulu, kemudian ia kembali menuju tempat tidur.
"Akhirnya, aku bisa melanjutkan tidurku." Minzy langsung membaringkan tubuhnya membelakangi Marvi. Dan,
DEG!
Mata Minzy kembali terbuka ketika ada sebuah tangan yang memeluk pinggang rampingnya dari belakang.
Marvi memeluknya...
Minzy masih diam, tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Sampai akhirnya, Marvi membalik tubuh Minzy, membuat gadis itu menghadap ke arahnya dan kedua mata indah mereka bertemu.
Deg...
Deg...
Deg...
"Ya tuhan, jangan sampai Marvi mendengar detak jantungku..." Ucap Minzy berharap dari dalam hati.
Sedangkan Marvi, dia tampak menatap Minzy dengan intens dan penuh perasaan.
"Marvi... Marvi lepaskan aku--"
"Ssst... Aku sudah tidak tahan..." Ucap Marvi pelan.
Mata Minzy membulat sempurna dan berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Marvi.
"Apa maksudmu?! Ya! Kau tidak bisa memaksakan keinginanmu!" Ucap Minzy yang merasa takut jika Marvi akan memaksanya untuk berhubungan intim.
Bukannya lepas, Marvi justru mengeratkan pelukannya.
"Aku tidak tahan menyimpannya... Aku menyukaimu..."
Minzy seketika terdiam. Dan Marvi menelusupkan wajahnya pada lekukan leher Minzy dan menyesap harum tubuh Minzy.
Minzy menjauhkan kepalanya dengan menengadah ke atas dan itu malah membuat Marvi leluasa bermain di lekukan lehernya.
"Marvi, kau sedang mabuk. Jangan berbicara aneh." Ucap Minzy seraya menahan kepala Marvi agar berhenti mengendus.
Marvi melepaskan pelukannya dan menatap Minzy dengan tatapan sayu. "Aku tidak terlalu mabuk,"
"Kau mabuk. Dan--"
"Aku menyukaimu. Sejak pertama aku melihatmu melamar pekerjaan di kantorku."
Minzy terdiam dan langsung berbalik membelakangi Marvi. "Tidurlah, kau semakin melantur saja."
Namun, lagi dan lagi, Marvi memeluk tubuhnya dari arah belakang.
"Tolong, biarkan aku memelukmu sepanjang malam." Ucap Marvi seraya menutup mata dan mengeratkan pelukannya pada pinggang Minzy.
Minzy hanya bisa diam dan berusaha untuk menenangkan detak jantungnya. Ia berusaha untuk tidur dan mengabaikan semuanya. Tapi pikirannya tidak membiarkan Minzy tidur dengan tenang. Hingga entah sampai pukul berapa, barulah Minzy dapat tertidur dengan Marvi yang memeluk tubuhnya.
*****
Pagi ini Minzy bangun dengan keadaan masih dipeluk oleh Marvi. Hal itu membuat Minzy tidak langsung beringsut turun, ia masih terbaring menatap langit-langit kamar yang berwarna abu-abu.
"Eh..." Minzy memekik kaget ketika Marvi tiba-tiba saja menarik tubuhnya semakin mendekat.
"Ini sudah pagi..." Ucap Minzy gugup. Entahlah, semenjak Marvi mabuk semalam dan mengungkapkan perasaan kepadanya, Minzy merasakan ada yang aneh dengan diri sendiri.
"Vi..." Panggilnya seraya menurunkan tangan Marvi dari atas perutnya.
"Emh?" Sahut Marvi dengan mata yang masih terpejam. "Aku masih mengantuk." Tambahnya.
Minzy beringsut turun, namun kembali terdiam ketika Marvi menahan pergelangan tangannya. Minzy menghela nafas berat dan,
"Apa? Ada apa lagi?!" Kesalnya seraya menatap Marvi.
Marvi menarik tangan Minzy dengan perlahan hingga wajah mereka berdekatan.
"Apa kau masih mengingat apa yang aku ucapkan semalam?" Tanya Marvi tepat di depan bibir Minzy.
Minzy gelagapan seraya menjauhkan diri dari suaminya yang menyebalkan.
"Tidak, semalam kau mabuk. Banyak hal yang kau ucapkan." Ucap Minzy seraya turun dari atas tempat tidur dan mulai membuka semua gorden dan jendela agar udara segar bisa masuk ke dalam kamar.
Marvi yang berbaring di atas tempat tidur tersenyum menatap Minzy yang terlihat cantik walau saat bangun tidur.
"Berhentilah menatapku seperti itu! Atau ku lempar dengan pas bunga." Ancam Minzy yang tidak nyaman di tatap.
Marvi terkekeh pelan. "Aku benar-benar menyukaimu Minzy."
"Marvi, itu tidak lucu. Cepat bangun!"
Bukannya bangun, Marvi justru kembali menutup mata. "Kepalaku masih terasa sakit, biarkan aku tidur sebentar lagi."
"Terserah kau saja," ucap Minzy yang kemudian berlalu membawa bathrobe ke dalam kamar mandi.
Setelah menyelesaikan semua rutinitas paginya, dari mandi sampai memakai skincare dll. Kini ia sudah bersiap untuk turun dan menyapa saudara ipar, Ayah dan Ibu mertuanya.
"Marvi, bangunlah... Aku harus turun ke bawah." Ucap Minzy seraya menggerakkan tubuh Marvi agar bangun.
"Pergilah lebih dulu, nanti aku menyusul."
Minzy berdecak kesal. "Aku malu, ini sudah terlambat. Sekarang sudah jam 9 pagi. Ck. Ini semua karena kamu, aku jadi bangun kesiangan."
Marvi mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Kau menyalahkan aku? Atas hal apa?"
Minzy memainkan jarinya, "kau pikir ucapan kamu tidak memengaruhi pikiranku hah?! Aish... Kau bahkan terus memelukku sepanjang malam, itu benar-benar sangat canggung."
Marvi tersenyum mendengarnya. Kemudian ia menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan tubuh Minzy.
Dan untuk kesekian kalinya, Minzy dibuat terkejut dengan pelukan yang Marvi berikan. "Kau suka sekali mengagetkanku. Dan berhenti memeluk--"
"Ssst... Kau sangat wangi."
"Iya, karena aku sudah wangi. Dan kau, kau bau. Sangat bau. Cepat mandi dan setelah itu kita turun untuk menemui orang tuamu." Ujar Minzy.
Marvi malah membawa Minzy berbaring dengan memeluknya erat.
"Marvi... Lepaskan aku... Kau memelukku sangat erat, aku bisa mati karena kesulitan bernafas."
Marvi terkekeh pelan dan melepaskan pelukannya pada Minzy yang saat ini berada di atas tubuhnya.
"Kau benar-benar menyebalkan,"
"Hey, aku menyukaimu, itulah kenapa aku suka memelukmu." Ucap Marvi seraya mengusap helaian rambut Minzy yang masih berada di atas dadanya.
Minzy terdiam. "Apa dia benar-benar menyukaiku? Atau dia hanya menggodaku saja? Aish... Kau tidak boleh langsung percaya ucapannya... Fokus Minzy, fokus." Pikir Minzy.
"Ekhem..." Marvi berdehem pelan membuyarkan lamunan Minzy.
"Kau memintaku untuk melepaskan pelukan, lalu kenapa kau masih bersandar di atas dadaku? Hn? Kau menyukainya?" Ucap Marvi bertanya.
Sontak, Minzy bangun dan kembali duduk tegak di tepi tempat tidur dengan pipi yang bersemu merah menahan malu.
"Kau sangat lucu saat malu, tapi menyebalkan saat keras kepala." Ucap Marvi seraya beringsut turun dari atas tempat tidur.
"Kalau kau malu turun sendiri, baiklah. Tunggu aku, aku akan pergi mandi dulu." Lanjut Marvi.
Minzy menghela nafas lega ketika Marvi berlalu dari hadapannya. Ia langsung menutupi wajah merahnya dan menghentakkan kaki bergantian kanan juga kiri.
"Aaaah... Kenapa aku harus bersemu merah di depannya... Kenapa aku harus merasa malu.. arrgh.." kesalnya terhadap diri sendiri juga pada perasannya yang sedang tidak karuan.
Sembari menunggu Marvi selesai mandi, Minzy menghabiskan waktu dengan membaca sebuah buku n****+ yang berjudul 'Magic Shop' ia penasaran karena judul buku itu sama seperti lagu dari Boyband favoritnya BTS (방탄소년단).
Sampai akhirnya, Marvi keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
"Ya tuhan... Kenapa kau memperlihatkan perutmu?" Kaget Minzy seraya memalingkan wajah.
Marvi berjalan masuk ke dalam walk in closet miliknya, milik Minzy juga. "Kenapa harus kaget, kau tadi bersandar di atasnya dan semalaman aku memelukmu dengan keadaan shirtless." Ucap Marvi.
"Tapi aku tidak menyadarinya, kasusnya berbeda." Sahut Minzy.
Marvi menghentikan langkahnya dan menatap Minzy yang duduk di sofa dekat jendela. "Ah... Kau pasti sangat menyukai--"
"TIDAK! Marvi ayolah... Berhenti menggangguku dan cepat pakai bajumu, kita harus segera turun, mereka pasti bertanya-tanya kenapa kita tidak keluar kamar sedari tadi." Mohon Minzy.
Marvi mengangguk setuju. "Okay. Harusnya kau santai saja, Ayah dan Ibu pasti mengerti. Kita kan masih pengantin baru,"
Minzy memasang wajah lelah. "Marvi, berhenti bicara... Tolong, aku lapar."
Mendengar kalimat itu, Marvi melanjutkan langkahnya ke walk in closet.
Setelah itu, mereka keluar dari dalam kamar dan berjalan menuruni anak tangga beriringan.
"Dimana Mom dan Dad?" Tanya Minzy pada Marvi.
"Aku tidak tahu, aku baru saja bangun tidur dan kau tahu itu." Jawab Marvi yang berhasil membuat Minzy kesal.
Marvi meraih tangan Minzy dan membawanya menuju ruang makan.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" Tanya Minzy seraya duduk di salah satu kursi.
Marvi duduk tepat di seberang Minzy agar bisa leluasa menatap wajah cantik gadis itu.
"Bukankah kau lapar? Makanlah." Ucap Marvi seraya membuka tudung saji.
Minzy menatap menu sarapan yang sangat bervariasi.
"Kenapa? Apa kau tidak suka makanannya?" Tanya Marvi.
Minzy langsung menggelengkan kepalanya. "Aku hanya bingung, ingin sarapan dengan yang mana." Jawab Minzy.
Marvi tersenyum. "Makanlah semuanya, kau tidak boleh kurus, akan sangat tidak nyaman memelukmu kalau kau kurus."
Minzy langsung salah tingkah. Marvi benar-benar ahli mengaduk-aduk perasaannya.
"Aku akan sarapan roti dan--" Minzy mengedarkan pandangannya mencari keberadaan s**u, karena di atas meja hanya ada air mineral dan jus jeruk saja.
"Kau mencari apa sayang?"
Sayang?
Jantung Minzy melemas mendengar Marvi memanggilnya dengan panggilan sayang.
"Nothing." Jawab Minzy.
Ia meraih gelas dan mengisinya dengan air mineral. Kemudian meminumnya hingga tandas.
Lalu tiba-tiba saja Helena muncul dari arah ruang keluarga. Membuat Minzy kaget dan hampir saja tersedak.
"Mom, maaf karena aku sudah bangun terlambat dan melewatkan sarapan bersama." Ucap Minzy.
Helena tersenyum dan mengusap kepala Minzy dengan lembut. "Tidak pa-pa, Mommy tahu, kalian pasti sangat kelelahan."
Minzy mengernyit heran. "Kelelahan?" Bingungnya.
Marvi meraih tangan kiri Minzy dan tersenyum penuh arti.
Dang!
Ibu mertuanya pasti berpikir bahwa mereka bangun kesiangan karena kelelahan setelah melakukan adegan ranjang. Ayolah, Minzy benar-benar merasa malu. Kenapa Marvi dan Ibunya sangat senang menggoda.
Minzy menarik tangan dari genggaman Marvi dan kembali memakan sarapannya. Sedangkan Helena, ia pergi ke dapur untuk membuat kopi yang suaminya minta.
"Mom, dimana Valeri?" Tanya Marvi setengah teriak.
"Dia sudah pulang pagi tadi, dijemput oleh suaminya karena harus menemui Ibu mertuanya." Jawab Helena dari dapur sana.
Marvi mengangguk paham.
"Marvi," panggil Minzy.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin berhenti bekerja," ucapnya.
Minzy mengernyit heran. "Tapi kenapa?"
"Aku--"
"Kau tenang saja, aku tidak akan berselingkuh dengan siapapun di kantor." Ucap Marvi tiba-tiba.
"Aku bahkan tidak berpikir ke arah sana." Ucap Minzy seraya memutar bola mata sebal.
Marvi terkekeh pelan. "Baiklah, lalu kenapa?"
"Aku mungkin akan merasa bosan jika harus duduk di rumah," jawab Minzy.
Marvi terdiam. Ia tampak berpikir.
"Kenapa kau hanya diam?" Tanya Minzy.
"Akan aku pikirkan nanti, makanlah dulu." Ucap Marvi.
Minzy pun mengangguk paham. "Baiklah."
Lalu Helena kembali keluar dengan kopi buatannya sendiri khusus untuk suaminya.
"Mom, kami akan segera bersiap untuk pindah rumah." Ucap Marvi.
Helena menghentikan langkahnya. "Benarkah? Mommy akan merasa kesepian, tapi tidak pa-pa. Sebagai gantinya, kalian harus memberi kami cucu yang lucu." Ucapnya yang kemudian berlalu meninggalkan ruang makan.
Sedangkan Minzy, dia hanya diam. Tidak ada yang ingin dirinya katakan. Terserah Marvi akan membawanya kemana.
Marvi tersenyum seraya merangkil Minzy yang terlihat gugup. "Tentu, Mommy tenang saja, aku akan memberikan cucu yang banyak untuk keluarga ini."
Minzy dibuat terkejut dengan kalimat itu.
Helena mengusap bahu Minzy, kemudian berlalu meninggalkan putra juga menantunya.
Minzy langsung mencubit perut Marvi dengan keras. "Kau!! Bisa-bisanya membuat kebohongan besar seperti itu!"
Marvi tampak mengaduh sembari tertawa pelan. "Galak banget sih, mending kita coba, gimana?"
Minzy memutar bola mata sebal, kemudian berlalu meninggalkan Marvi yang tersenyum dan merasa gemas sendiri melihat istrinya yang sedang merasa kesal kepadanya.
Ia tampak menunduk lesu mengingat bahwa Minzy belum memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Namun apa boleh buat, Marvi hanya harus bersabar dan berusaha agar Minzy mencintai dirinya, menyayanginya.
"I have a feeling for you, and you knew it. Aku harap, kamu bisa merasakan hal yang sama dan membangun juga mempertahankan pernikahan ini hingga akhir." ucap Marvi penuh harap.
Tidak ada kata yang bisa Minzy ucapkan. Mencintai dirinya adalah keputusan dan hak Marvi. Pria itu tidak memaksa, hanya mengajukan sebuah permintaan.