3 - honolulu

1741 Kata
Keluarga besar Lee memiliki jet pribadi berjumlah empat. Nama Armando tercatat sebagai pemilik satu dari keempatnya. Perusahaan besar yang mereka miliki di kota sebesar New York tentu mendatangkan pundi uang yang tidak sedikit. Belum lagi kerjasama bisnis yang dipegang dan dijalankan oleh semua anggota keluarga. Mudah saja sebenarnya untuk Armando meminta Rose memastikan jet pribadi miliknya siap lepas landas menuju Honolulu dari Bandara John F. Kennedy. Namun ia tidak sedang dalam keadaan terburu-buru, lagipula datang ke Honolulu menggunakan jet pribadi berarti harus menyewa escort team. Biaya yang dikeluarkan untuk take off dan landing dengan jet pribadi jauh lebih mahal dibanding membeli tiket first class maskapai sekelas Hawaiian Airlines. Armando tidak menghabiskan waktu empat tahun menyelesaikan studinya di Sekolah Bisnis Universitas Harvard untuk tidak menimbang mana dari dua pilihan tadi yang lebih menguntungkan. Ia meminta Rose menghubungi pihak hotel tempat mereka akan menginap untuk melakukan reservasi. Tidak lupa ia memastikan Rose menanyakan kesediaan hotel untuk menyiapkan tiket pesawat pergi dan pulang sekaligus. Biasanya ada potongan atau harga khusus, terlebih perjalanan mereka kali ini jatuh pada akhir pekan. Demi menerima surel konfirmasi pembayaran dari pihak hotel, Rose tercengang melihat total yang harus dibayarkan untuk biaya penginapan dan akomodasi perjalanan. Untuk kamar hotel saja dibandrol $7.000 untuk satu malamnya, sementara Armando meminta mereka menginap selama dua hari tiga malam. Dengan biaya tiket penerbangan, total biaya yang harus Armando keluarkan untuknya, Rose, dan Jeff adalah hampir $50.000. Memang bukan Rose yang mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membayar, dan memang Armando sudah mengatakan bahwa ia tidak keberatan membayari Rose dan Jeff untuk perjalanan kali ini tanpa memotong gaji mereka sebagai ganti rugi. Namun, uang $50.000 itu tidak sedikit. Ia harus tidak makan dan memastikan gajinya utuh selama 12 bulan untuk bisa mendapat uang mendekati angka $50.000. Penerbangan terakhir yang Rose tumpangi adalah ketika ia pergi ke New York dari Indiana. Lama penerbangan ketika itu hanya dua jam. Meski begitu, dua jam ketika itu cukup menyiksa karena ia membeli tiket penerbangan termurah dengan kursi keras dan sempit. Lagipula ketika itu usia kandungannya masih amat muda, ia harus bolak-balik ke toilet untuk menyalurkan mual yang dirasa. Kehamilan dan beban pikiran memang bukanlah pasangan yang ideal bersama. Berbeda dengan penerbangan terakhirnya, penerbangan kali ini terasa lebih nikmat. Kursi yang ia duduki cukup melegakan, tidak keras, bahkan sangat jauh lebih empuk dan nyaman dibanding sofa di apartemennya. Jarak antara kursinya dengan kursi di hadapannya tidak sedekat jarak antarkursi di kelas ekonomi, sehingga meskipun penerbangan kali ini ditempuh dalam waktu 11 jam, tentu kakinya yang mulai membengkak tidak bertambah bengkak. "Kesulitan, Bu?" Seorang pramugari cantik dengan tubuh semampai datang bertanya pada Rose yang kesulitan memasang seatbelt kursinya. Mendengar suara pramugari itu, Rose mendongak dan tersipu malu. Armando yang duduk di sampingnya ikut menoleh ke arah Rose. "Tidak apa. Terima kasih," balas Rose. Pramugari itu mengangguk dan permisi melanjutkan langkahnya berjalan di sepanjang koridor pesawat. Ia menyunggingkan senyum pada Rose dan Armando bergantian. "Kenapa?" tanya Armando. Ia menoleh ke arah Rose yang duduk di sisi kirinya, dekat dengan jendela pesawat sementara ia duduk di sisi dekat dengan koridor pesawat. Jeff yang duduk di kursi tunggal di seberang koridor ikut menoleh ke tempat Armando dan Rose duduk, khawatir terjadi apa-apa pada keduanya. Rose menghela napas setelah memastikan seatbelt itu sudah terpasang dengan baik di bagian bawah gundukan perutnya yang buncit. "Ah, akhirnya," ujarnya. "Tadi sedikit kesulitan karena strap-nya tidak cukup panjang, jadi saya harus menyesuaikannya." Armando mengangguk beberapa kali. Ia kembali fokus pada iPad di tangannya. Telunjuknya bergerak mengganti slide dari presentasi yang akan ia sampaikan di rapat expanding lusa nanti. Sebenarnya bukan rapat besar, namun Armando selalu teliti dan serius soal urusan bisnis yang dijalankan. Urusan bisnis yang membuatnya merogoh kocek sebanyak $50.000 kali ini hanyalah sebatas membicarakan rencana expanding rumah spa dan kelab malam miliknya di jantung Honolulu. Bisnis yang diawali keisengannya itu baru dirintis sekitar setengah tahun lalu, dan selagi ada tanah kosong di kawasan Honolulu Timur, Armando berkeinginan merambah usaha dengan membuka beach club. "Kamu sudah menyiapkan grafik yang saya minta, kan?" tanya Armando. Rose tahu yang ditanya Armando adalah dirinya. Alasan apa lagi yang digunakan atasannya untuk memilih duduk di kursi bersebelahan dengannya selain agar lebih memudahkannya membahas materi presentasi di pertemuan bisnis nanti? "Sudah, Pak. File-nya sudah saya kirim melalui surel," jawab Rose. "Opsi lokasi juga sudah kamu jadikan satu file, kan?" tanyanya lagi. Rose mengangguk pelan. "Semua sudah saya kirim lewat surel, Pak. Opsi lokasi, grafik, rencana pengembangan, hasil pertemuan dan data dari konsultan Bapak, semua sudah saya masukkan dalam satu folder dan sudah saya kirim." Bersama dengan announcer mengumumkan bahwa pesawat hendak lepas landas dan meminta para penumpang untuk mengatur gawai ke dalam mode pesawat, Armando mematikan iPad-nya. Tablet hitam itu ia serahkan pada Rose. "Terima kasih," gumamnya. Rose meletakkan iPad milik Armando di kantong yang menempel di punggung kursi di hadapannya, bersama buku dan majalah yang disediakan maskapai. Cukup sulit melakukannya dengan perut buncitnya dan seatbelt yang menahan gerakannya. Pesawat mulai bergetar dan terdengar suara mesin yang menderu. Tidak lama kemudian, terasa pesawat bergerak memutar dan menuju landasan pacu. Entah karena ini kali pertama Rose naik pesawat setelah beberapa bulan lamanya, atau karena suara bising yang dibuat pesawat mengganggu tidur nyenyak janinnya. Satu yang jelas, janin dalam kandungannya sedang sibuk bergerak dan menendang sana-sini. Tangan kiri Rose mengusap perutnya lembut. Ia menggumamkan lagu anak-anak yang biasa ia gumamkan jika janinnya sedang heboh dan membuatnya tidak nyaman seperti saat ini. Perbedaan tekanan udara yang dirasa ketika perlahan badan pesawat mulai lepas landas perlahan sirna. Deru mesin pesawat sudah tidak terdengar lagi, diganti dengan hening. Janinnya pun kembali tenang, hanya sesekali melepaskan tendangan dan gerakan lembut, seakan mengingatkan Rose bahwa ia ada dan hidup sehat di dalam tubuhnya. "Bukan anak travelling, ya?" Armando yang sedari tadi memerhatikan Rose yang mengusap perutnya sambil bergumam lembut terkekeh melihat Rose kembali tenang ketika pesawat sudah sukses lepas landas. "Sepertinya dia anak rumahan," balas Rose seraya tersenyum pada Armando. Tangannya masih mengusap perutnya. Ia tahu yang dimaksud Armando adalah anaknya yang mungkin bukan anak yang nantinya akan menikmati bepergian, melihat mendengarkan suara pesawat membuatnya gelisah di dalam perut Rose. Armando dibuat terkekeh mendengar balasan dari Rose. "Berapa usia kandunganmu, Rose?" Susah payah Armando memasang wajah penuh ingin tahu sementara faktanya, ia sudah tahu. Ia ingat betul minggu lalu Rose mengunggah foto merayakan kandungannya yang memasuki usia 35 minggu. Artinya, minggu ini usianya sudah 36 minggu. "Sudah sekitar delapan bulan, Pak," jawab Rose. Anggukan beberapa kali diberikan oleh Armando. Mungkin Rose berpikir Armando tidak akan memahami konsep usia kehamilan berdasarkan minggu sehingga ia harus menyebutkan usia kehamilannya dalam bulan. "Laki-laki atau perempuan?" Rose berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, ia menyunggingkan senyum lebar pada Armando. "Dokter mengatakan sudah tahu, tapi saya memilih untuk tidak tahu," ucapnya. Mendengar yang diucapkan Rose, membuat Armando kebingungan. "Kenapa?" tanya Armando. Rose lagi-lagi tersenyum, seakan anaknya seberharga itu untuknya. "Sejak awal kehadirannya adalah kejutan, dan saya pikir dia bisa memberi saya kejutan berikutnya lewat jenis kelaminnya," jawab Rose. Menghabiskan waktu duduk berdampingan dengan Rose adalah berkah sekaligus derita untuk Armando. Ia menikmati duduk di samping Rose yang wangi parfumnya manis dan rasanya tidak kunjung hilang, selalu menempel. Mengobrol dengan Rose, membicarakan tentang kehamilannya, anaknya, bisnis, pekerjaan, bahkan perbandingan gaya hidup di New York dan Indiana, merupakan kesempatan untuk Armando bisa menikmati mendengarkan suara lembut dan tawa renyah serta senyum manis Rose dari dekat. Armando memiliki gairah membuncah pada gadis cantik dan bisa membangun obrolan yang mengalir dengannya. Namun, ia lebih tergugah pada wanita hamil. Sialnya, Rose yang berada di sampingnya memiliki semua kriteria tadi. Berkali-kali ia berusaha menutupi tonjolan di antara selangkangannya. Ia mencoba menaikkan satu kaki di pangkuan kaki lainnya, mengambil majalah yang disediakan maskapai dan meletakkannya di pangkuannya. Ia melakukan semuanya tapi tetap saja ada yang mendobrak di dalak sana. Salahkan Rose yang rasanya tidak henti mengusap lembut perut besarnya. Payudaranya yang seakan menggantung ditumpu perutnya. Kakinya yang dipaksa melebar untuk menampung perutnya yang buncit. Leher jenjang Rose yang dibiarkan bebas dipandang Armando karena Rose memilih mengikat rambutnya. Sebelas jam duduk di samping Rose benar-benar derita sekaligus membawa bahagia. Maka setelah pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Honolulu, Armando baru bisa bernafas lega. Setidaknya jika sudah berada di darat, ia bisa membatasi jarak dengan Rose atau menjinakkan kejantanannya yang sudah tidak sabaran. "Sudah, Jeff?" Jeff datang mendekat ke arah Armando dan Rose yang menunggunya mengambil koper-koper di antrean bagasi. "Sudah, Bos!" sahutnya. Sudah ada tiga koper yang masing-masing adalah milik mereka bertiga. "Kita ke rental car office dulu," ucap Jeff. Rose hendak mengambil alih koper miliknya yang diambilkan oleh Jeff. Sayangnya, ia kalah cepat dengan Armando yang langsung mendorong dua koper miliknya sendiri dengan milik Rose. Ia hanya bisa berjalan di belakang Jeff dan Armando, mengikuti ritme cepat dua laki-laki itu menuju kantor penyewaan mobil. Menunjukkan bukti pembayaran akomodasi yang sudah menjadi satu dengan pembayaran kamar hotel kepada petugas penyewaan mobil, mereka berhasil keluar dengan satu kunci mobil. Hanya Armando yang menunjukkan SIM Internasionalnya. Surat-surat kendaraan juga langsung masuk ke dalam kantong jaket bagian dalam yang Armando kenakan. Ketiganya berjalan menuju parkiran diantar oleh petugas penyewaan mobil. Sedan Cadillac CTS-V berwarna hitam menjadi satu-satunya mobil yang merespon ketika Armando menekan tombol pada remote mobil yang diberi bersama dengan kuncinya. Jeff memasukkan koper milik Armando dan Rose ke dalam bagasi. Ia membukakan Rose pintu di samping kursi pengemudi. Tidak lama setelah Rose duduk dengan sabuk pengaman sudah terpasang, Armando ikut masuk dan duduk di belakang setir. "Thanks, Jeff," ucap Armando setelah menurunkan kaca mobil, bersama dengan deru mesin mobil yang terdengar setelah ia men-starter. "Have fun, Bos!" sahut Jeff dari luar mobil. "Bye, Rose!" Mobil sedan hitam yang dikemudikan Armando dengan cepat keluar dari kawasan parkiran bandara. Ini kali pertama Rose melihat Armando menyetir mobil sendiri. Sebelumnya, Jeff selalu setia mengantarnya kemana saja. "Kenapa Jeff tidak ikut dengan kita, Pak?" tanya Rose. "Kenapa memang? Dia lebih jago menyetir, ya?" sahut Armando. Ia menoleh ke arah Rose setelah menghentikan mobil sewaannya ketika lampu lalu lintas pertama yang mereka jumpai di Honolulu berganti warna menjadi merah. "Bukan begitu," kata Rose. "Tapi bukankah seharusnya kita tinggal di hotel yang sama?" Armando memindah persneling dan kembali menancap gas ketika lampu lalu lintas berganti ke warna hijau. "Dia akan tinggal di villa milikku. Tidak jauh dari hotel tempat kita," ucap Armando enteng. Ia menghabiskan hampir $50.000 untuk membayar penginapan dan akomodasi, sementara ia sendiri memiliki tempat tinggal di lokasi yang berdekatan dengan tempat penginapan. Apa lagi jika bukan gila?

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN