Peringatan Untuk Mimi

1922 Kata
Cathy siang ini berada semobil dengan Vino, mereka berdua duduk di kursi belakang. Sambil mendiskusikan kontrak yang nanti akan Vino tanda tangani. Selama ini urusan eksternal kantor memang Cathy yang pegang, termasuk penanda tanganan kontrak kerjasama dengan investor asing. Setelah pembahasan cukup dilakukan, Cathy mengambil handphone dan berselancar di i********: miliknya, dia men-scroll ke bawah dan nampak unggahan foto Pram di Ocean Park sepertinya lelaki itu baru sempat meng-update hari ini. Cathy menggeser fotonya ke samping, ternyata ada Mimi Juga disitu. Dari sudut mata Vino dia menangkap bayangan Mimi di handphone Cathy lantas dia menjulurkan lehernya melihat lebih jelas. Cathy yang kaget tak kuasa mengelak ketika Handphonenya diambil paksa oleh Vino. "Ini Mikhayla kan? Mereka liburan berdua?" Vino menyerahkan kembali handphone itu ke Cathy setelah puas melihat Foto Mimi dan Pram yang nampak sangat akrab. "Iya pak, kemarin mereka ke Ocean Park." "Bukannya Mikhayla takut sama..." Vino mengurungkan ucapannya, sambil menelan salivanya kasar. Hampir dia keceplosan kalau dia sudah tahu tentang traumanya Mimi. Tentu saja dia tahu, selama ini dia sering mengawasi Mimi secara diam-diam dan semenjak kejadian itu bisa dipastikan Mimi tak pernah sekalipun menyentuh kolam renang. "Takut sama?" Cathy mengangkat sebelah alisnya menunggu kelanjutan kata-kata Vino tadi. "Sudah, lupakan." Cathy masih menoleh ke arah Vino yang membuat Vino salah tingkah karena telah kelepasan berbicara. Tak seharusnya dia lepas kontrol begitu dihadapan karyawannya. Beruntung dering telepon mengalihkan perhatian Cathy. Dia segera menyapa dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Setelah telepon diputus, dia pun menoleh lagi ke Vino. "Para investor sudah sampai di hotel pak, kita diminta langsung ke sana." Lapor Cathy. Memang dia sangat bisa diandalkan apalagi kemampuan berbahasa asingnya cukup mahir. Bahkan selain bisa bahasa inggris, Cathy pun bisa berbahasa Mandarin dan Jerman. Vino jadi mendapatkan akal bagaimana cara memberikan peringatan ke Mimi tentang liburannya dengan Pram, tanpa memberitahu dia? Memang siapa sih dia sampai perlu diberitahu? Ah Vino tak perduli, hatinya terasa panas dan sedikit tercabik melihat orang luar, bisa dekat dengan malaikatnya. "Mikhayla sudah mulai les bahasa inggrisnya ket?" "Belum Pak, katanya kalau pulang kerja enggak sempet. Kalau weekend mau istirahat." 'istirahat di ocean park?' bisik suara hati Vino. "Kapan bisanya kalau belum mulai? Bisa berbahasa asing itu penting di divisi kita. Kalau dia tak bisa menghampiri tempat les, biarkan tempat les yang menghampirinya." "Maksudnya?" "Sepulang tanda tangan kontrak, kamu harus cari guru privat les yang paling terbaik. Dan mulai hari ini setiap pulang kerja Mimi harus privat les di kantor." "Mendadak begini pak?" "Ya, mau tidak mau dia harus siap menanggung konsekuensi pekerjaannya kan?" Ucap Vino tegas tak terbantahkan. Cathy bahkan harus menggigit bibir bawahnya karena merasa aura yang dikeluarkan Vino terlalu pekat. Seperti aura kemarahan, entahlah. Dia masih butuh pekerjaan ini, tak mungkin dia membantah Vino. Cathy hanya mampu berharap supaya Mimi kuat menjalani hari-hari dengan pelajaran bahasa inggris yang konon katanya sangat dibencinya. Dan Vino berharap Mimi menyadari kesalahannya untuk tak pergi jalan-jalan dengan Pram atau siapapun itu? Yah terkecuali Zaldy kan dia kekasihnya. 'Ahhh perduli amat!' rutuk Vino dalam hati. *** "Mi, pulang kerja jangan langsung pulang ya, guru privat bahasa inggris lo mulai ngajar sore ini." ucap Cathy nyaris tanpa jeda saat baru saja dia menghempaskan bokongnya di kursi. Mimi yang asik menyantap salad buah pun hanya menoleh sekilas, berusaha mencerna ucapan Cathy juga mencerna potongan buah yang masuk ke mulutnya bersamaan. "Maksud lo?" tanya Mimi setelah salad itu berhasil masuk ke dalam perut melewati tenggorokannya. "Pak Vino, minta gue cariin guru privat bahasa inggris buat elo, dan dia bakalan mulai ngajar malam ini, habis pulang kerja. Jadi mulai hari ini lo gak bisa lagi pulang on time. Lagian elo sih udah disuruh les dari pertama kerja, sampe sekarang belum les juga." "Lha kan hubungan eksternal elo yang handle." Mata Cathy mendelik, Mimi mengatupkan bibirnya takut salah ngomong. "Klo suatu saat gue ada halangan kerja dan elo yang dibawa keluar negri atau ketemu investor asing gimana? Sebagai sesama sekretaris kita harus saling bantu dan back up kan? Gue juga akan back up kerjaan lo klo lo ada halangan. Jadi ada feed backnya. Lagian kan elo tau sebagai sekretaris perusahaan besar kayak gini elo wajib bisa minimal bahasa inggris." Mimi mengambil sendok saladnya dan menyuap kembali salad buah itu dengan tampang melas seperti orang ingin menangis. Apalagi Cathy bicara persis orang ngomel nyaris tanpa putus. "Semangat!" tutur Cathy dan diapun pergi lagi, entah kemana? Meninggalkan Mimi yang nelangsa karena harus menguasai bahasa inggris, pelajaran yang sangat tidak disukainya. Tak berapa lama, Vino muncul melewati meja Mimi. Mimi berdiri dan menunduk hormat, namun Vino acuh. Moodnya sepertinya tidak bagus. Mimi pun urung menunjukkan keberatan kepada bos gantengnya itu. Toh pada akhirnya dia memang harus bisa berbahasa inggris agar tetap bisa bekerja sebagai sekretaris. *** Mimi berdiri di halte bus sepulang kerja plus privat yang telah selesai dilakukannya tadi. Ketidak hadiran Zaldy menjemput dia kerja seperti biasa, membuatnya semakin uring-uringan. Mau nebeng dengan Vino pun tidak mungkin, karena Vino sudah pulang satu jam yang lalu tanpa menyapanya sama sekali. Padahal kan dia ikut andil memberikan Mimi guru yang warbiyasah malam ini. Tak hanya otak Mimi yang ngebul, nyatanya hatinya pun ikut panas karena kesal. Bukannya sok kaya atau apa? Tapi Mimi itu paling tidak suka naik kendaraan umum seperti bus atau kereta karena suatu alasan. Bus yang akan ditumpangi Mimi sudah berhenti, Mimi masuk ke dalam dan memandang ke sekitar. Semua kursi telah penuh, dan hal yang paling di benci Mimi terjadi. Semua penumpang menoleh ke arahnya, dan melihat ke sticker yang menempel di kaca bus, mengenai kursi prioritas untuk penumpang. Dan betullah dugaannya, seorang Bapak-bapak berdiri dan mempersilahkan Mimi duduk. Mimi hanya meringis, "Maaf pak, saya tidak hamil." Tutur Mimi pelan, namun terdengar hampir seantero bus karena semua penumpang mendadak terdiam. Poor Mimi. Kalau saja yang mempersilahkan duduk itu anak muda, dia pasti akan senang hati menyambutnya dan tak perlu malu seperti ini. tapi Kini? Bapak itu bahkan terlihat sepantar dengan ayahnya. Masa Mimi tega berbohong hanya demi menyelamatkan wajahnya. Bapak tersebut hanya tersenyum canggung dan kembali duduk. Beberapa orang pun tersenyum namun membuang pandangan dari Mimi seolah tidak tahu. Membuat Mimi makin teriris. Mimi hanya tertunduk menatap sepatunya, sampai Bus yang dia tumpangi berhenti di perhentian berikutnya, seorang ibu-ibu masuk dan menatap Mimi bergantian dengan penumpang yang duduk di kursi. Diapun menarik tangan bajunya sampai ke atas lalu berdehem. Matanya menatap sinis pada penumpang laki-laki yang seperti anak kuliahan dengan kuping yang tersumpal earphone. "Mas! Hellow Mas! Gak liat ini ada ibu hamil berdiri? Gak pernah diajarin etika ya? Mana sopan santunnya?" Ibu itu tampak nyolot ke penumpang tak bersalah tadi. Penumpang laki-laki itu hanya cengo dan menatap Mimi yang sudah hampir menangis namun berwajah tetap lucu. "Ibu.. Maaf saya tidak hamil kok." Ucap Mimi dengan wajah melas semelas-melasnya. "Oh.. Maaf yaa saya pikir, duh jadi enggak enak hehe, maaf yaa.." Ucap ibu itu sambil ngeloyor ke arah belakang Bus. Dan suasana mendadak hening kembali. Lebih hening dan mencekam dari sebelumnya. Mimi rasanya ingin sekali terbang sampai rumah kalau bisa. Atau bus ini tak perlu berhenti di tiap halte berikutnya saja, agar tak ada yang naik lagi dan menanyakan hal serupa. Meskipun seringkali mengalami hal seperti itu, namun rasanya tetap sakit... huwaaa Mimi ingin menangis saat ini. *** Mimi menatap ponselnya dengan kesal, bahkan abangnya yang diharapkan bisa menjemput depan gang pun ternyata tak bisa diandalkan. Dia bilang sedang sibuk, entah sibuk apa? Sesekali Mimi menendang batu kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Hari ini kenapa semuanya kacau? tak sesuai rencana. Mimi kesal bukan main. Tambah kesal ketika melihat ternyata abangnya asik duduk berduaan dengan Shela dibawah pohon mangga. Mimi pun tak segan mengambil kerikil kecil dan menimpuk abangnya dengan kekuatan ekstra. Berhasil. Batu itu tepat mengenai jidat Radit. "Woy!!" Radit berteriak tanpa tahu siapa yang tega melemparinya batu. "APA!!" Sengit Mimi, "Diminta jemput adeknya aja, bilang sibuk! Ternyata malah sibuk pacaran!! Dasar punya abang satu gak bisa diandelin!!" Mimi berteriak kesal, diambil lagi satu batu dan dilempar lagi ke wajah Radit yang membuat Radit terpaksa mengambil ancang-ancang untuk membalasnya. Baru saja badan Radit membungkuk untuk mengambil batu, tapi Mimi sudah lebih dulu berlari menghindar. Sebaiknya dia cepat sampai rumah daripada jidatnya benjol. Shela hanya cekikikan melihat kakak beradik itu berseteru. *** Pagi ini Mimi sedang dalam mood yang paling buruk, apalagi ternyata jadwal menstruasinya datang lebih cepat. seharusnya masih tiga hari lagi. Pantas saja emosinya tidak stabil. Malam tadi bahkan sesampainya dikamar dia menitikkan air mata, kesal, sebal, sedih jadi satu. Dan jalan satu-satunya untuk meredakan emosi itu dengan menangis. Mimi pun memutuskan mulai hari ini dia akan bawa motor sendiri kerja, perduli amat dengan Zaldy, daripada dia harus mengalami lagi kejadian horror di bus seperti malam tadi. Mimi masuk pelataran kantor dan sempat melihat sekilas mobil Vino yang sudah berada depan lobby. Mungkin Vino juga baru sampai. Dia segera ke parkiran karyawan di basement. Dengan cepat Mimi meletakkan helm di motor dan diapun beranjak ke lantai tempatnya bekerja. Sesampainya disana terlihat Cathy sedang memulas bibir dengan lipstik berwarna nude. Membuatnya semakin cantik. Apalah Mimi? Bahkan dia belum make up sama sekali pagi ini. "Pagi Mimi," Sapa Cathy setelah Mimi meletakkan tasnya di meja. Dia bahkan merengut pada wanita cantik itu. "Kenapa pagi-pagi udah mendung? Tell me." "Kenapa-kenapa!! Ish kesel gue! Lo dapet kontak miss Theresia itu dari mana sih? Galak minta ampun. Gue bahkan hampir gak bisa narik nafas tau enggak! Macam pembunuh bayaran aja dia! Eh kok familiar sama kata-kata pembunuh bayaran yak? Ah bodo amat. Pokoknya sebel!" "Eleuh eleuh si geulis satu ini, denger ya Mimi yang Chubby sekretarisnya pak Vino. Miss Theresia itu guru privat paling jempol dijamin elo bakalan cepet nguasain bahasa inggris deh klo di ajarin dia." "Iya sekalian cepet modar gue!" Mimi masih kesal, meski tangannya terampil menyalakan komputer dan mulai melakukan pekerjaannya. "Hihi enggaklah paling kolaps doang elo.. eh pak bos pak bos," Towel Cathy, Mimi melirik ke arah pandangan Cathy. Astaga! Dia bahkan lupa berdandan harusnya tadi dia make up bukannya berdebat sama makhluk ini. "Pagi Pak." Sapa Mimi dan Cathy kompak. "Pagi, hmm Mikhayla bisa keruangan saya sebentar." "Iya pak," Sepeninggal Vino, Mimi berusaha menetralkan degup jantungnya, bisa kena omel bos nih. "Mampus gue belum make up." "Nih pake lipstik aja, udah sana cepat." Cathy memoles lipstiknya ke bibir Mimi dan menyuruh Mimi bergegas, sebelum pak Bos nya memanggil lagi. Mimi mengetuk pintu di hadapannya sebanyak dua kali, lalu dia mendorong pintu itu. nampak Vino sedang membuka jasnya dan meletakkan di kursi. Mimi maju perlahan ke hadapan Vino. "Ada apa pak?" Tanya Mimi ragu. "Kamu sudah sarapan?" "Hm, sudah tadi. Bapak mau dipesenin sarapan?" Vino hanya tersenyum dan mengambil sesuatu dari tasnya. Dia meletakkan sebuah toples berukuran sedang berwarna bening terbuat dari kaca. Di dalam toples itu ada butiran coklat yang nampak menggiurkan. "Ini buat kamu, tolong buatkan saya teh manis ya." Mata Mimi terbelalak, dia bahkan membasahi bibirnya karena sudah dapat membayangkan rasa coklat manis itu di mulut dan lumer ke tenggorokannya. "Wah.. Terima kasih ya pak, oiya mau biskuit, Cake atau buah?" Tanya Mimi, seperti biasa ketika Vino sampai sebagai sekretaris dia juga yang menyiapkan cemilan untuk pria tampan itu. "Enggak perlu, cukup teh saja yang hangat ya. Thanks." Mimi pun undur diri keluar ruangan. Sambil cengengesan ditujukannya toples berisi coklat itu ke Cathy. Cathy menutup mulutnya agar tidak teriak. "What! Coklat? Are you serious?" Mimi Mengangguk senang. "Tunggu sampai lo liat timbangan, dijamin gak bakal cengir-cengir kayak gini!" Cathy melipat tangan di d**a. Sementara Mimi hanya tertawa sambil lalu. Pergi ke pantry untuk menyiapkan teh manis hangat pesanan bos tampan satu itu. *** bersambung di Jum'at selanjutnya yaa happy weekend ^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN