Setelah semalam Kak Erlan tidur di asrama, keesokan harinya dia kembali ke tempat latihannya. Sepanjang malam dia tak menceramahiku. Dia hanya tidur sambil memelukku. Sesekali dia mengusap air mataku yang mengalir. Dia tampak menyesal telah bersikap dingin pada istrinya yang tertindas ini. "Semoga Allah menambahkan kesabaran padaku untuk membimbingmu ya, Sayang," bisiknya sembari mencium keningku. Aku tak menjawab, selain hanya menangis sedih. Beratnya sebuah kesabaran. Kutelan hingga pagi menjelang. Semoga hari ini, aku tak sedih lagi. Aku sudah lupa dan apatis lagi seperti biasanya. Bukannya aku sudah biasa amnesia pada hal menyakitkan? Ya, aku harus sabar. “Kamu kok murung, Dek?” tanya suara Kak Nindy yang membuatku tersadar dari lamunan. Aku baru sadar kalau