Sama sama Suka

1098 Kata
Selama tiga minggu sebelum festival dimulai, Ayana sangat sibuk sekali untuk mempersiapkan apa saja yang akan mereka tampilkan untuk festival. Tentu saja sesuatu yang menarik. Sebenarnya Ayana tidak memiliki kemampuan yang luar biasa seperti senior-seniornya yang lain. Tapi dia berusaha membantu apa yang bisa dibantu. "Pengen kopi ni," ujar salah satu senior. Ayana langsung berdiri. "Biar saya yang beli, Kak." Yola hanya bisa menatap sang teman. "Kamu beli pakai apa?" bisiknya. Sudah jelas mereka berdua tidak punya motor sama sekali. "Eh iya juga." Ayana menyengir. "Pakai motor saya saja." Alfi memberikan kunci motor kepada Ayana. Tentu saja Ayana terkejut, bahkan tidak hanya Ayana tapi orang-orang yang ada di ruangan juga. "Tumben ni," celetuk salah seorang teman Alfi. "Tidak usah, Kak." Ayana menolak. "Pakai saja. Tidak mungkin kamu beli kopi jalan kaki." Benar juga. Memang sih Ayana akan membeli kopi di cafe depan kampus, tapi tetap saja kalau berjalan kaki sangat jauh sekali. "Pakai aja," bisik Yola. Akhirnya Ayana mau mengambil kunci motor yang diberikan Alfi kepadanya. Alfi bukan pelit atau bagaimana, tapi teman-teman segan untuk meminjam motor padanya. Apalagi Alfi berbicara kalau ada perlunya saja. Jadi kepribadian Alfi membuat yang lain begitu menghormatinya. "Pinjam dulu ya, Kak." Alfi mengangguk. "Rena, uangnya mana?" ujarnya. "Pakai uang Ayana dulu, ntar gue ganti." Alfi menghela nafas panjang. "Kalau mau sesuatu, ya kasih uangnya juga." "Iya iya. Lo cerewet banget." "Nggak apa-apa, Kak. Pakai uang saya saja dulu." Ayana merasa tidak enak. "Jangan!" Alfi langsung menolak. "Mana uangnya?" pinta Alfi. Dia tidak hanya meminta kepada Rena tapi juga kepada yang lain yang mau menitip kopi. Setelah uang terkumpul, Alfi memberikan kepada Ayana "Besok-besok kalau ada yang mau nitip makanan atau minuman, minta uangnya dulu." Ayana mengangguk dengan ragu. "Tidak usah terlalu rajin. Kamu bergabung disini bukan untuk disuruh-suruh." "I-iya, Kak." "Ini sekalian beli untuk kamu juga." Alfi memberikan uang berwarna merah. "Ti-tidak usah, Kak. Saya punya uang kok." Ayana jelas saja menolak. Apalagi mereka masih mahasiswa yang belum punya penghasilan. "Saya tau. Ambil saja, uang kamu bisa disimpan atau untuk beli yang lain." Ayana sedikit ragu. "Ambil, Ayana!" Ayana tidak tahu kalau Alfi ternyata orang yang banyak bicara. "I-iya, Kak. Terima kasih." Ayana langsung keluar untuk membeli kopi titipan dari senior-seniornya. Ayana sama sekali tidak keberatan. Dia hanya ingin membantu apa yang bisa dibantu saja. *** Raut wajah kelelahan tidak bisa disembunyikan lagi. Apalagi tadi malam Ayana baru pulang ke kosan sekitar pukul dua belas malam karena hari ini festival akan dibuka sehingga mereka menyiapkan segalanya. Ayana menguap beberapa kali. "Kamu mengantuk?" tanya Alfi yang entah datang dari mana. "Tidak, Kak." Ayana langsung menutup mulut. Malu sekali kalau sampai sang senior melihat dirinya menguap. Alfi tertawa kecil dan Ayana sampai termangu saat melihatnya. Apa benar sosok ini adalah sosok senior yang terkenal irit bicara dan susah untuk didekati? Kenapa tawanya terlihat sangat manis sekali? Ayana langsung beristighfar. "Minum ini biar nggak ngantuk." Alfi memberikan kaleng kopi. "Terima kasih, Kak." Ayana menempelkan kaleng dingin ke pipinya. Terasa segar sekali. "Jaga disini dulu ya?" Ayana mengangguk. Setelah itu Alfi entah pergi kemana. "Minta dong?" Yola muncul sambil senyum-senyum sendiri. "Minta apa?" Ayana menatapnya penuh kebingungan. "Itu..." Yola menunjuk kopi yang ada di tangan Ayana. "Kalau yang ini nggak boleh!" Ayana langsung menolak. "Iya iya, tau kok dari pujaan hati." Yola tadi tidak sengaja melihat Ayana diberikan kopi oleh salah satu senior mereka. Ayana langsung menutup mulut Yola. Bahaya juga jika ada yang mendengar. Apalagi perasaan Ayana hanyalah perasaan kagum saja. Dia tidak ingin punya hubungan apapun. Perasaan sepihak dan tidak ingin diketahui siapapun. Yola berusaha untuk berbicara, tapi karena mulutnya ditutup oleh tangan Ayana maka suaranya menjadi tidak jelas. Yola berusaha melepaskan tangan Ayana. "Nanti ada yang dengar," ucap Ayana. Yola mengangguk dan akhirnya Ayana melepaskan tangannya dari mulut sang teman. "Tangan kamu bau," keluh Yola. Ayana langsung melotot. Dia bahkan mencium tangannya sendiri. "Mana ada." "Jahat banget." Ayana hanya menyengir. "Makanya jangan ember." "Nggak apa-apa dong, kali aja perasaan kamu terbalas." Ayana menggeleng. "Untuk sekarang dia tidak ingin perasaannya terbalas." "Terus mau apa dong?" "Nggak mau apa-apa. Aku cuma kagum aja kok." "Kagum sama siapa?" Yola mulai memancing-mancing. Padahal dia tahu sendiri jawabannya. Ayana tidak ingin menjawab. "Sama kak Verno ya?" "Enggak lah!" Yola tersenyum penuh arti. "Terus sama siapa dong?" "Kak Alfi." Ayana mengatakan dengan jujur. Daripada dianggap kagum kepada orang lain. "Iya, Kenapa?" Deg! Jantung Ayana berdetak dengan cepat. "Ada apa, Ayana?" ujar Alfi lagi yang sudah kembali. Ayana malu sekali. Dia buru-buru menutup wajah dan bersembunyi di belakang Yola. "Ti-tidak ada apa-apa, Kak." Penjelasan terbata-bata. Rasanya Ayana ingin kabur saja. "Maaf ya, aku mau ambil ini dulu." Verno muncul. "Iya, Kak. Silahkan." Yola mempersilahkan. Ayana tidak berani menunjukkan wajahnya kepada siapapun. Semoga saja pembicaraan dirinya dengan Yola tidak didengar oleh siapapun terutama Alfi. Keheningan terjadi beberapa saat. Bahkan Verno masih berusaha mencari barang ia ia butuhkan. Ayana juga tidak bisa kabur begitu saja, takutnya nanti malah timbul spekulasi aneh-aneh. "Kamu ngapain juga dibelakang aku?" Yola berkata dengan nada pelan. "Aku malu." "Ngapain malu?" "Kalau mereka dengar apa yang kita obrolin gimana?" Yola tertawa kecil. "Kayaknya enggak deh." Ayana harap juga begitu. "Alfi Alfi, ini kan barang yang mau kita cari." Verno geleng-geleng kepala. Padahal barang yang mereka cari ada disamping Alfi. Tapi Alfi masih saja sibuk mencari di dalam kotak. "Oh ya." Alfi kaget. Dia juga tidak sadar. Alfi dan Verno tidak bisa berlama-lama. Mereka harus kembali ke tempat semula yaitu gedung untuk pembukaan festival. "Kalian jaga dulu disini nggak apa-apa, kan?" Verno tidak melihat anggota yang lain. Hanya ada Yola dan Ayana saja. "Nggak apa-apa kok, Kak." Verno menatap Alfi yang berdiri cukup jauh dari mereka. Sepertinya Alfi ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. "Ayana..." "I-iya, Kak." "Biar sama-sama nggak malu. Nggak adil juga kalau cuma Alfi yang tau." Ayana dan Yola tidak mengerti apa yang dikatakan sang senior. "Diam, Verno!" Alfi langsung berkata dengan tegas. Verno hanya tertawa. "Maksud kakak apa?" Yola ingin tahu, dia juga penasaran. "Tadi kami tidak sengaja dengar, Ayana suka ya sama Kak Alfi?" Alfi langsung menarik tubuh Verno agar segera pergi dari sana. Tapi Verno berusaha untuk tetap bertahan. Ayana bertambah malu. Dimana ia harus bersembunyi sekarang? Dia ingin kabur. Harapan agar tidak ada yang dengar hanyalah sia-sia belaka. Ternyata Verno dan Alfi mendengar apa yang dibicarakan oleh Ayana dan Yola. "Kak Alfi juga suka kok sama Ayana," ujar Verno lagi. Tapi setelah mengatakan itu, tubuh Verno langsung ditarik paksa oleh Alfi. Detak jantung Ayana semakin menggila. Bahkan kakinya seperti kehilangan tenaga. "Eh eh, kamu kenapa?" Yola panik karena Ayana tiba-tiba terduduk begitu saja. "Aku mau pulang," rengek Ayana sambil memegang tangan Yola.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN