Pria Jahat

1151 Kata
Ayana keluar dari ruangan Alfi dengan wajah murung. Bahkan rekan kerja yang lain sudah bisa menduga apa yang Ayana alami di dalam ruangan kepala divisi. Rancangan yang sudah ia buat dengan sepenuh hati, sampai begadang beberapa hari tetap saja tidak disetujui. Ada beberapa bagian yang harus Ayana rubah berdasarkan penjelasan Alfi. Seharusnya Ayana sedikit merasa lega karena Alfi memberikan beberapa referensi untuk Ayana amati. Tapi ia tidak merasa seperti itu. Mungkin karena Ayana tidak ingin dianggap oleh Alfi memiliki kemampuan dibawah standar. Dari banyaknya orang, kenapa harus Alfi? Ayana menghela nafas panjang. Dia kembali ke meja kerja. Lusi dan rekan kerja yang lain tidak banyak bertanya. Mereka takut membuat Ayana menjadi tidak nyaman. Ayana mengirim pesan kepada Zane agar datang ke meja kerjanya. Zane langsung menghampiri Ayana. "Bagaimana, Mbak?" Ayana menggeleng. "Ada yang harus diperbaiki." "Padahal udah bagus banget lo." Zane mendadak tidak semangat. Entah harus bagaimana lagi agar rancangan yang mereka buat bisa sesuai dengan keinginan sang atasan. Kemampuan mereka sudah mencapai batasnya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga sudah digaji dan Alfi adalah kepala divisi mereka yang baru. Mau tidak mau, mereka harus mendapatkan persetujuan dari Alfi sebelum rancangan direalisasi dalam pemrograman. Ayana menunjukkan beberapa hal yang harus diperbaiki kepada Zane. Dia mengatakan persis seperti yang dikatakan oleh Alfi. "Ini mau diganti gimana lagi, Mbak?" tanya Zane. "Warna iconnya bermasalah." Zane menghela nafas panjang. Dia sudah menggunakan warna yang netral sehingga cocok dipadukan dengan warna lain. Tapi hal itu tidak berguna bagi kepala divisi mereka yang baru. "Kita aduin aja sama Pak Rohman, Mbak." Zane memberi usul. Ayana langsung tertawa kecil. "Mana bisa begitu. Pak Rohman juga nggak bisa berbuat apa-apa," balas Ayana Zane dan Ayana merasa tidak enak hati dengan anggota tim yang lain. Projek tidak bisa dilanjutkan pada tahap selanjutnya jika rancangan masih belum disetujui. Memang anggota tim yang lain tidak menyampaikan keluhan secara langsung, tapi Ayana merasa mereka pasti merasa sedikit kesal. Sebuah pesan masuk. Ayana langsung melihat. Nomor baru dan ia langsung membuka isi pesan tersebut. "Apa ini?" Ayana bermonolog sendiri. Isi pesan yang baru saja masuk adalah beberapa link. Ayana tidak bisa langsung asal klik saja. Bagaimana kalau link berisi malware? Bahaya sekali kalau sampai malware. "Ada apa, Mbak?" Zane penasaran. "Ini ada nomor baru yang kirim link." "Jangan diklik, Mbak!" "Enggak kok." Zane ingin melihat dan Ayana langsung menunjukkan layar ponselnya. Zane mengerutkan kening. "Kenapa?" tanya Ayana kebingungan. "Ini bukannya foto Pak Alfi ya, Mbak?" Zane berbicara dengan nada pelan agar hanya Ayana yang dengar. Bahaya jika ia salah menebak. "Mana?" Pupil mata Ayana membulat. Perasaan ia tidak menyimpan foto Alfi. "Ini lo..." Alfi menunjukkan kepada Ayana. Ayana terdiam membeku beberapa detik. Tadi nomor baru yang masuk tidak memiliki foto profil, tapi sekarang nomor baru tersebut sudah ada foto dari kepala divisi mereka. Tentu saja Ayana kaget. Apa benar sang atasan mengirimnya pesan secara pribadi? "Coba cek di grup," suruh Zane. Mereka sudah punya grup khusus divisi TI. Semua atasan dan karyawan divisi TI masuk ke dalam grup tersebut. Zane buru-buru mengecek. Benar saja, nomor yang baru saja mengirim pesan kepada Ayana adalah nomor baru dari kepala divisi. Jika tadi Ayana takut untuk mengklik link yang masuk, kali ini tidak lagi. Dia langsung mengklik karena penasaran, begitupun dengan Zane. "Ternyata Pak Alfi masih punya hati, Mbak," ucap Zane. Beberapa link yang dikirim oleh Zane adalah macam-macam rancangan milik aplikasi dari luar. Bahkan tampilannya sangat nyaman dimata. "Keren banget sih rancangannya." Ayana mengakui dengan jujur. Jelas saja karena kemampuan dirinya dan orang yang bekerja di perusahaan internasional berbeda. "Iya, Mbak." Zane ikut setuju. Kali ini mereka mengerjakan beberapa hal yang disuruh untuk diperbaiki. Rancangan awal hanya coretan di kertas saja. Setelah selesai berdiskusi, barulah Ayanan dan Zane kembali ke meja kerja masing-masing. Jika nanti Zane ada kendala atau bingung, dia bisa mendatangi meja kerja Ayana. Alfi memberi waktu kepada Arabella sebelum jam kerja. Dengan beberapa referensi yang dikirimkan oleh Alfi, Ayana bisa menyelesaikan kan sebelum jam pulang kerja. Sekarang Ayana sudah berada didepan pintu ruangan Alfi. Dia mengetuk pintu dengan sopan. Jika ada yang masuk, tirai pada jendela dibuka sehingga orang luar bisa melihat ruangan kepala divisi. "Bagaimana?" tanya Alfi. "Sudah, Pak. Silahkan dilihat." Ayana memberikan tab nya kepada sang atasan. Alfi melihat sebentar. Kali ini Ayana memiliki harapan bahwa tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. "Ternyata kemampuan kamu memang hanya sebatas ini." Perkataan yang tidak enak didengar kembali keluar dari mulut sang atasan. "Maaf, Pak." Ayana langsung meminta maaf karena rancangannya masih tidak sesuai dengan harapan. "Ya sudah. Mau bagaimana lagi." "Apa masih ada yang perlu diperbaiki, Pak?" "Tidak usah. Hanya buang-buang waktu saja." Alfi langsung menolak. Ayana menunduk dalam. Padahal rancangannya sudah diterima tapi tetap saja ia merasa tidak senang sama sekali. Alfi memberikan kembali tab kepada Ayana. Padahal Ayana berharap sedikit diberi kata-kata penyemangat atau kata-kata apresiasi, tapi dia tidak mendapat apapun. Kata-kata yang keluar dari mulut sang atasan hanyalah kata-kata yang tidak nyaman di hatinya. Ayana melihat jam. Sudah pukul lima kurang sepuluh menit. Tampaknya Alfi ingin segera pulang. "Ada apa?" tanya Alfi karena ternyata Ayana masih berada di ruangannya. "Bolehkah saya bertanya, Pak?" Ayana berkata dengan penuh kegugupan. "Hm." Setelah mendapat persetujuan. Ayana langsung bertanya, "apa Bapak tidak mengenal saya?" Ayana meneguk air ludah dengan susah payah. Dia menunggu jawaban dari sang atasan. Kali saja selama 4 tahun menghilang tidak ada kabar, Alfi mengalami lupa ingatan sehingga menjadi sosok yang berbeda. "Kenapa?" Bukannya menjawab, Alfi malah balik bertanya. Respon yang tidak sesuai dengan harapan Ayana. "Ti-tidak ada apa-apa, Pak." Ayana menjawab dengan cepat. "Apa kamu masih menyukai saya?" tanya Alfi sambil menatap Ayana. Ekspresi wajah datar, bahkan seperti tidak niat untuk berbicara. "Saya harap tidak," lanjut Alfi lagi. Tatapan Alfi seakan-akan mengatakan bahwa jika Ayana masih memiliki perasaan, maka ia termasuk perempuan bodoh. Ayana membenci tatapan itu. "Ba-baik, Pak." "Kalau begitu, silahkan keluar." Alfi menatap Ayana dengan datar. Ayana buru-buru keluar. Dia tidak mampu untuk mengatakan apapun lagi. "Gimana?" tanya Lusi. "Udah disetujui," jawab Ayana dengan tidak bersemangat. Entah kenapa hatinya merasa sangat sakit sekali. Bahkan mata Ayana tampak berkaca-kaca. "Kalau udah disetujui, kenapa kamu murung?" Ayana tidak berani menatap Lusi. Dia hanya berkata, "aku capek, mau pulang." Jam lima, Ayana sudah pulang lebih dulu. Padahal rekan kerja yang lain masih bersantai di tempat duduk. Tapi tidak ada salahnya untuk pulang karena sudah jam pulang. Ada yang memilih menunggu karena tidak ingin terjebak macet. Ayana sudah sampai di parkiran. Dia tengah menahan diri untuk tidak menangis. Padahal sebelumnya Ayana sudah meyakinkan diri untuk tidak menaruh perasaan apapun lagi kepada Alfi. Tapi karena kembali bertemu, perasaan itu muncul begitu saja. Ayana juga tidak bisa memilih. Kalau dia bisa, maka Ayana tidak ingin memiliki perasaan kepada Alfi bagaimanapun kebaikan dan juga pesonannya saat duduk dibangku perkuliahan. "Jahat," lirih Ayana. Tapi dia tidak ingin menangis sehingga memilih untuk menahan sekuat tenaga. Ayana bukan perempuan bodoh, dia punya harga diri. Dia tidak akan membuang air mata dengan percuma hanya karena laki-laki gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN