Permintaan tolong

1134 Kata
Hari ini restoran tempat Antoni bekerja ramai sekali disesaki pengunjung, mungkin penyebabnya karena ini adalah hari minggu yang merupakan hari libur sekaligus weekend. Antoni dan teman-temannya sampai hampir kewalahan membuat masakan pesanan para konsumen restoran mereka. Tetapi, bagi para koki yang memang sangat mencintai dunia memasak, keramaian pesanan dan menyiapkan banyak menu bukanlah masalah, namun malah menjadi hal yang menyenangkan. Hingga menjelang pergantian shift dan jam pulang Antoni pukul 17.45, dia mendapat pesan telepon dari kakaknya di rumah, agar cepat pulang. "Cepat pulang? Tapi ngebut kan tidak baik?" Desah Antoni seraya memasang jaket di badan dan segera menyalakan mesin sepeda motornya. Lantas dia beranjak dari tempat kerja untuk segera pulang, terbersit sedikit rasa cemas ketika mengingat bahwa kakaknya tidak memberitahu alasan dia harus pulang cepat. Setelah hampir tiga puluh menit kemudian, barulah Antoni sampai di rumahnya, dan langsung disambut sang kakak. Tidak terlihat raut wajah tidak mengenakkan dari kak Amar, itu membuat Antoni bersyukur, bisa menebak bahwa tidak ada hal yang tidak baik terjadi. Antoni hampir melompat dari motornya ketika menghampiri Amar di teras depan rumah. "Ada apa kak?" Ujarnya. Namun perhatiannya segera teralihkan oleh sepasang sandal pria dan wanita yang berjajar rapi di dekat tempat dia meletakkan sepatu sneakers-nya sendiri. "Ada tamu ya?" Ujarnya lagi. Tetapi Amar tidak banyak bicara dan malah memintanya untuk segera masuk ke rumah. Dan di ruang tamu, sudah menunggu sepasang suami-istri yang tidak asing bagi Antoni dan keluarganya. Mereka adalah Bu Ana dan Pak Hanung yang merupakan bos atau pemilik restoran tempat Antoni bekerja, dan merupakan orang yang sudah seperti orang tua sendiri bagi Antoni. Antoni segera menyalami keduanya, mencium tangan dan memeluk mereka penuh kehangatan. Sepasang suami-istri tersebut pun tampak akrab dan hangat dengan Antoni. Sangat harmonis. Tetapi Bu Ana tampak sedang kurang sehat, itu terlihat dari wajahnya yang pucat dan tubuhnya terasa agak panas ketika Antoni memeluknya. "Ada perlu apa bapak dan ibu ke sini? Maksudku, kalau butuh bantuanku, aku bisa datang ke rumah kok, apalagi ibu sedang sakit..." Bu Ana segera menimpali, "Kami datang kemari karena suatu tujuan, Antoni. Maksud ini sangat penting. Amar dan kakak iparmu sudah tahu, tinggal kau saja yang belum diberi tahu." "Kami, ah bukan. Tepatnya aku, ingin meminta pertolongan darimu, nak. Sangat berharap besar kamu tidak menolaknya," Kemudian bu Ana terbatuk di ujung kalimatnya. Dan kata-kata barusan membuat Antoni berpikir permintaan tolong seperti apa yang akan ditujukan itu? Dia berkata sambil tersenyum tenang, "Aku akan bantu sebisaku ya, Bu," Lantas, Bu Ana menatap pada suaminya, tatapan yang terlihat seperti kode meminta persetujuan, lalu ditimpali dengan anggukan mantap Pak Hanung. Pemandangan tersebut justru membuat Antoni semakin mengernyit keheranan, namun dia segera mengendalikan raut wajahnya ketika Bu Ana kembali menatapnya. Seraya memegangi tangan kiri Antoni, dia berkata pelan, "Kamu mau ya, menikahi Rima? Ibu mohon..." Suasana langsung hening beberapa saat. Antoni tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya terhadap perkataan Bu Ana barusan, mulutnya sedikit menganga dengan mata yang membulat. Jantungnya terasa mendesir kencang. "Jangan takut, nak. Ibu akan membantumu ketika kamu dan anakku berumah tangga nanti," Bu Ana menggenggam tangan Antoni. Sementara, di belakangnya, Pak Hanung merasa ragu dan dia tidak mampu menyembunyikan perasaannya itu. Dia berdehem dan menarik napas beberapa kali untuk menetralisir keraguannya. Antoni yang menyadari dirinya sedang melongo pun, segera dengan cepat kembali menutup mulutnya, dia membetulkan posisi kacamatanya yang tidak miring, dan menyeka keringat di dahi yang tiba-tiba muncul. "A-aku, bukan begitu Bu! Aduh, bagaimana ya jika soal itu..." Lalu sedikit menundukkan wajahnya, menyeka keringat berkali-kali sambil berusaha menetralkan pikirannya yang tiba-tiba kacau seperti deretan puluhan mobil yang mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol. Kacau sekali. Kenapa tiba-tiba Bu Ana meminta pertolongan seperti ini? Kenapa harus dia? Dia tahu sedikit tentang puteri sulung bos-nya tersebut, yang terkenal agak ketus dan dingin, setidaknya begitu menurut orang-orang yang mengenali keluarga Bu Ana dan Pak Hanung. Dan itu terbukti ketika Antoni bertemu langsung dengan gadis itu beberapa waktu lalu di restoran, ketika Bu Ana membawanya. Tidak ada ekspresi ramah di wajahnya, cenderung datar dan enggan untuk tersenyum sepanjang waktu, selama berada di restoran. Bahkan dia enggan untuk menyapa para karyawan. Bagaimana jadinya jika dia harus menikah dengan gadis seperti itu? "Ibu harap kau tidak menolaknya, Toni, meskipun ini tampak berat. Hanya kau yang kupercaya untuk menikahi dia," Ucapan Bu Ana kembali menarik pikiran Antoni ke dunia nyata. Lalu dia berkata lirih, dengan raut wajah kecut, "Bu, maaf, aku...tidak bisa menerima permintaan itu..." Seketika Bu Ana memindahkan posisi duduknya ke lantai di dekat kaki Antoni, dan hal itu refleks membuat Antoni segera membimbingnya kembali duduk di sofa, karena menyadari apa yang akan dilakukannya barusan. Tidak mungkin Antoni membiarkan Bu Ana bersimpuh di kakinya, itu hal yang tidak pantas. Sedangkan Pak Hanung sendiri terlihat begitu tidak enak hati, melihat pemandangan tersebut, dan Bu Ana masih menanti jawaban dari Antoni tersebut, jawaban penerimaan tepatnya. Karena dia memang berharap Antoni untuk menerima permintaan tolongnya, mengingat kondisi puterinya yang jauh dari pantauan dia dan sang suami. Karena Rima memang tinggal di sebuah apartemen, bukan rumah orang tuanya, dia adalah tipe gadis yang mandiri dan pekerja keras. "Bu, beri saya waktu ya," jawab Antoni pada akhirnya. Dengan berat hati tentunya, karena siapapun tahu bahwa permintaan menikahi seseorang yang tidak dikenali secara tiba-tiba adalah hal yang mengejutkan dan tidak mudah. Bahkan Amar dan istrinya sedari tadi hanya mendengarkan saja dari dalam kamar mereka, percakapan adiknya dengan sepasang suami-istri tersebut. Mereka tidak berkomentar apapun, belum. Biar nanti setelah bu Ana dan Pak Hanung pulang, Antoni akan diberikan nasihat dan arahan. Tanpa disangka, bu Ana tersenyum mendengar jawaban Antoni yang meskipun belum pasti itu. "Terima kasih, nak." Ujarnya. Seraya mengusap lembut tangan pemuda berkacamata di depannya. Karena, jujur, mendengar ucapan tersebut saja, hatinya sudah merasa tenang, tanda masih ada pertimbangan dan belum tentu ditolak. Meskipun harapannya tetap ingin agar Antoni mau mengabulkan permintaannya. Antoni hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha bersikap tenang meskipun keterkejutan masih melingkupi dirinya. Beberapa menit kemudian, bu Ana dan pak Hanung pamit pulang dari rumah keluarga Antoni. Pak Hanung sempat berbicara empat mata dengan Antoni dan meminta maaf atas permintaan mereka, tepatnya permintaan sang istri. Dan pembicaraan sore menjelang malam itu sukses mengganggu waktu tidur Antoni. Berjam-jam dia membolak-balikkan badan mencari posisi tidur ternyaman, berguling ke kanan dan kiri, tetap saja tidak ada rasa kantuk sedikitpun. Yang terbayang di kepalanya adalah permintaan bu Ana hari ini. Ucapannya terus terdengar di telinga, berbagai ekspektasi dan bayangan bagaimana nantinya pernikahan dia dengan puteri sulung bu Ana terus berseliweran di pikirannya. Bukan ekspektasi kebahagiaan, karena dia tak berani membayangkan hal tersebut. Melainkan rasa cemas dan khawatir akan hal yang tidak diinginkan, yang akhirnya, sampai membuat kepalanya terasa sakit. Dia bangkit dari tempat tidur untuk mencari obat pereda sakit kepala di lemari khusus P3K. Barulah setelah itu, dia bisa pergi tidur meski dengan kepala berdenyut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN