Mata Untuk Raka - 32

1356 Kata
Babak baru cerita Raka dan Rere pun dimulai. Sejauh ini Rere masih tidak mau menuruti keinginan Raka untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Bagaimana pun juga semua itu terasa tidak masuk akal bagi Rere. Ia tidak ingin menipu siapa-siapa lagi. Ia tidak ingin hidup dalam ke-pura-puraan lagi. Lebih jelasnya, Rere tidak ingin lagi terlibat dengan manusia bernama Raka. “Ya udah … kalo gitu kamu istirahat deh, Rin … jaga calon debay-nya baik-baik,” ucap Rere. Terdengar suara Airin mengembuskan napas panjang di balik telepon. “Hmmm … iya, Re. Kalau begitu aku matiin dulu, ya telponnya. Ntar kalo kangen … aku akan gangguin kamu lagi.” Rere tersenyum. “Iya … see you later.” “See you…” Tut … Tut … Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Rere tersenyum pelan. Mengobrol bersama Airin cukup untuk menghiburnya. Airin baru saja bercerita bahwa ia tidak bisa tidur karena Adit ada keperluan bisnis ke Surabaya selama dua hari. Akhirnya mereka berdua berghibah tentang banyak hal hingga dua jam lebih. Awalnya Rere sempat berpikir untuk menceritakan tentang Raka. Tapi kemudian Rere memilih menyimpannya sendiri. Ia tidak ingin Airin yang tengah hamil besar juga ikut kepikiran. Selain itu Rere juga takut jika Airin mengadukannya kepada Adit. Sudah dapat dipastikan bahwa Adit akan memarahi Rere. Rere menyambungkan handphone-nya ke charger. Jarum jam sudah menunujukkan pukul 23.00 malam dan matanya sudah mengantuk. Rere beralih menarik tatakan yang berisi gelas air minum beserta beberapa pil obat yang harus dikonsumsinya. Rere meminum obatnya dan bersiap untuk tidur. Besok ia harus masuk ke kantor pagi-pagi sekali. Ada begitu banyak proyek baru yang sepertinya akan menyenangkan. Rere mematikan lampu utama kamarnya. Sekarang hanya lampu tidur saja yang menyala. Suasana kamar itu berubah temaram. Sangat nyaman sekali dan juga terasa hangat. Rere berbaring pelan sambil mengembuskan napas panjang, lalu menarik selimut hingga menutupi wajahnya. “Ya … semua kesibukan di kantor pasti akan membuat pikiranku teralihkan,” bisik Rere kemudian. Rere memejamkan mata. Ia mencoba untuk terlelap. Kelopak mata itu sudah sepenuhnya terpejam. Ia juga tidak melakukan pergerakan lagi. Suara embusan napasnya pun sudah terdengar teratur dan pelan. Apakah Rere sudah tertidur? Jawabannya tidak. Mata Rere kembali terbuka seiring dengan suara embusan napas gusar. Ia bahkan sudaj menghitung hingga 300 domba, tapi tetap saja … Ia tidak bisa terlelap sama sekali. Otaknya masih saja memikirkan sosok Raka. Semakin Rere berusaha menyingkikan Raka dari benaknya, maka bayangan lelaki itu pun terasa kian nyata dan sangat mengganggu. Sampai akhirnya Rere menendang selimutnya. Entah kenapa ia merasa gerah. Rere kembali bangun, lalu membuka jendela kamarnya lebar-lebar untuk menikmati angin malam ini. Tapi kemudian … Dia tercekat. Deg. Rere melotot menatap ke seberang sana. Terlihat sosok Raka juga sedang duduk di jendela kamarnya sambil memangku sebuah gitar. Rere termangu. Apakah ini halusinasi? Sepertinya tidak, karena sekarang Raka malah melambaikan tangannya. “A-apa dia menempati rumah itu lagi?” bisik Rere pelan. Raka yang melihat keberadaan Rere pun langsung meletakkan gitarnya, lalu melompat keluar. Ia mendekati pagar pembatas yang rendah itu dan sepertinya juga bersiap untuk melompatinya. Raka akan menghampiri Rere. Menyadari hal itu, Rere cepat-cepat menutup jendela kamarnya dan menutup tirai jendelanya lagi. “Hah … hah … hah ….” suara napas Rere langsung berubah sesak. Ia bahkan beringsut mundur menjauh dari jendela itu. Rere menggelengkan kepalanya pelan. “Gawat … kenapa dia harus kembali ke rumah itu?” Sementara itu di luar sana, sosok Raka termangu menatap jendela kamar Rere yang tertutup rapat. Raka tersenyum kecut dan kembali melompat ke pekarangan rumahnya, lalu masuk ke dalam kamarnya lagi melalui jendela. Raka tertawa pelan, lalu kembali menatap kamar Rere di seberang sana. Tak lama kemudian ia juga melihat lampu kamar Rere yang dipadamkan. Raka mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Hmmm … jadi dia ingin menghindar? Okey … kita lihat saja. Selama apa kamu bisa menghindar dari aku ….” . . . “Rere …!!! ayo bangun! Katanya pagi ini kamu harus masuk ke kantor!” Suara pekik sang mama dari arah dapur menggema ke seantaro rumah. Rere tidak menjawab teriakan sang mama. Dia bukannya belum terbangun. Rere sudah duduk di tepi ranjangnya dengan wajah kuyu. Rere sudah terbangun, atau lebih tepatnya, dia belum tertidur sama sekali. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Rere harus segera bersiap-siap. Akhirnya ia menyambar sehelai handuk dengan ogah-ogahan dan beranjak keluar dari kamarnya. Pagi ini tubuh Rere terasa lemas karena drama tidak bisa tidur. Ia sudah selesai bersiap untuk ke kantor. Saat ini Rere duduk di meja makan. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan sesudah mandi. Sang mama masih sibuk mondar mandir menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. “Nih, gulai ikan patin campur jengkol kesukaan kamu,” ucap sang mama sambil meletakkan mangkok berisi masakan kesukaan Rere itu. Rere tersenyum pelan. Sejenak ia merasa dejavu. Merasa kembali terlempar ke masa dahulu. “Hmmm … rumah ini jadi sepi karena nggak ada Bang Revan, ya, Ma,” lirih Rere. Sang mama langsung mencibir. “Nah, kan … sekarang baru terasa kan? Dulu aja, kalian ribut mulu. Abang kamu tadi juga habis telponan sama Mama. Dia nanyain kabar kamu juga.” “Hmmm.” Rere hanya merespon singkat. “Ya sudah ayo buruan sarapan!” sergah sang mama kemudian. . . . Selepas sarapan, Rere langsung bergegas keluar rumah. Tapi kemudian langkah kakinya melambat sesaat tiba di pintu. Rere menjadi takut untuk keluar rumah. Dia takut jika harus bertemu dengan Raka. Akhirnya Rere memantau situasi terlebih dahulu dengan mengintip melalui jendela. Ia melirik ke segala penjuru dengan tatapan mata waspada. Rere mengangguk pelan sambil mengatur napasnya. Situasi di luar sana sepertinya aman terkendali. Rere akhirnya keluar dari rumahnya. Udara pagi yang segar langsung menerpa wajah. Rere cepat-cepat melangkah pergi. Saat melewati rumah Raka, dia bahkan tidak berani untuk sekedar melirik sedikit pun. Lehernya mendadak terasa kaku. Langkah kakinya pun sangat terburu-buru. Rere melesat hingga tiba di pangkalan ojek. Biasanya Rere lebih memilih naik bus. Akan tetapi ia harus berjalan ke jalan utama untuk menunggu bus. Ia takut bertemu dengan Raka. Rere mengangkat tangannya pada seorang tukang ojek di depan sana. Sosok ojek berjaket hitam dengan helm menutupi wajahnya itu pun langsung menyalakan motornya dan mendekati Rere. “Ke Sudirman, ya Bang!” Tukang ojek itu mengangguk dan memberikan helm kepada Rere. Rere buru-buru memakai helm-nya dan segera naik. Motor itu pun melesat pergi. Rere akhirnya bisa mengembuskan napas lega. Sepertinya untuk sementara waktu dia memang harus menghindari Raka yang gila itu. Motor itu terus melaju menembus padatnya kesibukan jalanan Ibukota di pagi hari. Rere sesekali menguap lebar. Terpaan angin yang menyapu wajahnya juga membuat rasa kantuk itu semakin menjadi-jadi. Sepertinya ia harus mencuri waktu beberapa menit nantinya untuk tidur sebentar. Itu bukan hal yang sulit. Pekerjaannya cukup fleksibel dan situasi kantor juga santai dan friendly. Tapi kemudian … Rere mengernyit bingung saat motor itu berbelok ke arah yang lain. Awalnya Rere mengira bahwa ojek itu sedang memilih jalur alternatif. Tapi kemudian Rere menyadari bahwa ojek itu sedang membawanya ke arah yang berlawanan dengan tujuan. Deg. Rere mulai sedikit cemas dan menatap bingung. “B-Bang! Ini nggak salah arah, kan? Saya mau ke Sudirman!” suara Rere terdengar bergetar karena motor yang melaju. Hening. Tukang ojek itu seperti tidak menghiraukan Rere sama sekali. “BANG! SEPERTINYA INI SALAH JALAN!” pekik Rere lagi. Motor itu terus saja melaju. Sang tukang ojek tidak mangacuhkan Rere yang mulai berteriak-teriak. Apa dia tuli? Tidak mungkin. Deg. Rere menatap nanar. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Apalagi tukang ojek itu malah melaju lebih kencang. Ia mengebut mendahului beberapa kendaraan di depannya. Rere jelas menjadi semakin panik. Sampai kemudian ia mulai memukul-mukul pundak tukang ojek itu sambil terus berteriak untuk menyuruhnya berhenti. “KALAU TIDAK BERHENTI JUGA … SAYA AKAN MELOMPAT DARI ATAS MOTOR!” pekik Rere lagi. Ancaman Rere kali ini berhasil membuat ojek itu menepi, lalu kemudian berhenti. Rere pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung turun. Rere langsung melangkah mundur dan menatap takut-takut. “APA-APAAN KAMU, HA!” pekik Rere berang. Sosok lelaki ber-helm itu hanya duduk tenang di atas motornya mendengarkan omelan Rere. Sampai akhirnya dia melepas helm-nya, menatap Rere, lalu menyunggingkan senyum. Dan saat itu jugalah Rere terkejut. “R-RAKA ….” . . . Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN