Mata Untuk Raka - 06

1801 Kata
Inikah Rasanya Jatuh Cinta? Rere mulai pulih dari segala t***k bengek permasalahannya dengan Bombom. Dia mulai menjalani hari-harinya seperti biasa kembali. Mama dan abangnya Revan juga sudah bersikap seperti biasa, setelah sebelumnya sempat mendiamkan Rere selama beberapa hari. Hanya saja hubungannya dengan Adit belum membaik. Keduanya sama-sama gengsi untuk mulai menyapa. Baik Adit mau pun Rere sama-sama kekeuh mempertahankan egonya masing-masing.  Rere menatap layar handphonenya dengan raut bimbang. Jemarinya dengan lincah mengetik sebuah pesan, tapi kemudian menghapusnya lagi. Kali ini sebuah pesan cukup panjang telah selesai diketiknya, namun lagi-lagi Rere menghapus pesan itu. Dia mengunci layar handphonenya lalu membukanya lagi. Rere galau, dia ingin cepat berbaikan dengan Adit namun enggan menghubungi terlebih dahulu. Gue mau balikin catatan lo... Akhirnya Rere menekan tombol kirim sambil mengigit bibir. Kemudian dia menanti balasan pesan itu dengan gelisah. Dia melangkah mondar-mandir di depan meja belajarnya. Sesaat kemudian terlihat notice bahwa pesannya sudah dibaca. Rere menelan ludah, dia menunggu jawaban apa yang akan ditulis oleh Adit. Tertulis keterangan bahwa Adit sedang menulis pesan. Namun kemudian keterangan itu hilang dan tidak ada pesan yang masuk. Hal itu terjadi berulang-ulang. Sepertinya Adit juga merasakan hal yang sama. Dia juga galau dan bimbang harus membalas pesan Rere seperti apa. Rere menghela napas panjang. Matanya masih terfokus pada tulisan sedang menulis pesan yang terus muncul dan hilang. Rere mulai gusar dan kembali mengetik sebuah pesan. Namun belum sempat dia mengirim pesan itu, sebuah pesan dari Adit akhirnya datang. Ambil aja! Gue udah bikin yang baru... Balasan pesan dari Adit itu membuat Rere tertegun. Entah kenapa dia merasa ada sakit di sudut hatinya. Lama Rere terdiam dengan tatapan nanar. Bibirnya terus mengulang isi pesan Adit yang menurutnya kasar. Rere menatap layar handphonenya yang memakai fotonya berdua dengan Adit sebagai wallpaper. Raut wajah gadis nakal itu berubah sendu. Bibirnya berkedut dan air matanya kini mulai berlinang. “Gue nggak mau berantem sama lo Dit,” bisiknya. _ Ketika sosok Adit menjauh, Raka malah semakin agresif dalam mendekati Rere. Dia selalu mengekor kemana pun Rere pergi, ke kantin, ke pustaka, ke lapangan, pokoknya selalu ada sosok Raka di belakangnya. Bahkan Raka juga memilih untuk pindah duduk ke sebelah Rere. Bukan itu saja, mereka juga sudah saling bertukar nomor telepon. Sudah beberapa malam ini Rere dan Raka sering terlibat obrolan panjang via telepon di malam hari. Kedekatan mereka berdua sukses menjadi buah bibir di sekolah. Sebagian besar menyatakan keberatan mereka karena sosok Raka memilih dekat dengan gadis nakal seperti Rere. Para siswi melakukan aksi demo menolak Rere yang menurut mereka mulai merebut ‘Raka mereka’. Tapi sepertinya Raka tidak peduli akan hal itu. Dia terus saja mendekati Rere. “Sebaiknya lo nggak usah terlalu deket sama gue,” ucap Rere. “Kenapa? Lo nggak suka gue ada di deket lo?” tanya Raka. “Bukan gitu, cuma kayaknya anak-anak yang lain nggak suka lo deket sama gue,” jawab Rere “Tapi gue suka deket sama lo!” Raka tersenyum lembut. Raka mengacak-acak rambut Rere lalu meletakkan gitarnya. Kemudian  dia berbaring dengan bantalan tangannya di atas rumput. Raka menghela napas panjang sambil menatap langit yang cerah. Awan-awan berarak pelan membentuk berbagai pola yang indah. Sementara Rere duduk di sebelahnya sambil memeluk lututnya sendiri. “Awannya indah ya,” ucap Raka. “Hmm, iya.” Rere mengalihkan pandangannya ke langit. “Eh liat deh yang itu mirip jerapah.” tunjuk Raka. Kening Rere berkerut, “Nggak! Itu mirip gajah,” sanggahnya. “Jerapah!” “Bukan, Gajah!” “Jerapah titik!” “Nggak, pokoknya gajah!” Keduanya saling berdebat lalu tertawa. Dengan senyum yang masih mengembang Raka menutup kedua matanya. Rere menatap wajah Raka lekat-lekat. Perlahan jemarinya mengawang hendak menyentuh wajah itu. Tapi kemudian dia segera tersadar dan menghentikan aksi gilanya. “Coba deh, sekarang lo juga ikut tiduran di sini!” Raka bersuara tanpa membuka matanya. “Emangnya kenapa?” tanya Rere. “Cobain aja.” Rere ikut berbaring di sebelah Raka. Tapi bukannya menatap langit, dia malah menatap wajah pria di sampingnya itu. Rere merasakan sesuatu yang berbeda. Jantungnya kini berdebar kencang. Rere merasa gelisah dan gembira secara bersamaan. “Re ... gue sayang sama lo!” Raka tiba-tiba membuka matanya dan menatap Rere lekat-lekat. Yang ditatap langsung membeku dengan mata membulat dan napas tertahan. Untuk sekian detik Rere terpaku seperti kehilangan raganya. “A-apaan sih, nggak usah becanda deh.” Rere mengelak namun dadanya mulai bergemuruh. “Pokoknya mulai hari ini ... lo itu milik gue!” ucap Raka. “Jangan ngaco deh.” Rere semakin kelabakan dengan ucapan Raka. “Lo mau kan jadi pacar gue?” Raka memiringkan kepalanya menatap Rere. Sorot mata keduanya membiaskan binar yang sama. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Rere. Namun senyuman itu jelas menjawab semuanya. Betapa dia juga menginginkan hal yang sama. Betapa dia bahagia dengan sejuta rasa yang belum pernah di rasakan sebelumnya. _ Begitu Airin membukakan pintu, Rere langsung menerobos masuk ke dalam rumah dengan napas tersengal-sengal. Dia berlari menuju dapur dan segera membuka kulkas. Rere langsung mereguk botol berisi air mineral kemasan dua liter yang terisi penuh. Lelehan air membasahi leher dan juga seragam sekolahnya. Dia terus meminumnya tanpa jeda hingga botol itu kosong dan mengerut. Bunyi sendawa yang keras mengakhiri aksi ekstrimnya itu. Rere mengelap sisa air di bibirnya lalu menghela napas. Butiran peluh masih melekat di wajah, terutama di bagian hidungnya. Sedetik kemudian dia langsung menghentak-hentakan kaki, menjambak rambutnya sendiri, sambil menggerutu dengan suara yang terdengar seperti suara tikus terjepit. Rere terus melakukan aksinya itu hingga dia tersadar bahwa ada Airin yang sedari tadi sudah memerhatikannya. “APA...? kamu serius ditembak sama yang namanya Raka itu?”Airin membelalak kaget. “Iya, dia barusan nembak gue di sekolah.” Rere menjelaskan dengan antusias sambil menghentak-hentakkan kakinya. “Kamu nggak bohong, kan? atau kamu mau ngerjain aku lagi?” Airin mulai menaruh curiga. “Beneran Rin, gue nggak bohong. Lo lihat deh mata gue!” perintah Rere. Airin memerhatikan mata sahabatnya itu perlahan. Binar mata itu jelas menjawab semua keraguan Airin. Dia tahu bahwa saat ini Rere tidak berbohong. “Wah, aku nggak nyangka kamu bisa punya pacar. Sumpah aku masih syok dengan kabar ini.” Airin menggeleng tak percaya. “Gue sendiri juga nggak nyangka Rin. Tunggu tunggu... apa jangan-jangan ini mimpi? Coba lo tampar pipi gue.” perintah Rere. PLAK “Sakiit woooii.” Rere meringis begitu Airin menamparnya. “Kan, kamu sendiri yang nyuruh.” Airin terkikik menahan tawa. Rere menceritakan semua rentetan peristiwa bahagia itu secara detail dan cermat kepada Airin. Kedua gadis itu terlibat obrolan panjang yang tak berujung. Kadang mereka terkikik, saling pukul manja, memasang wajah gemas dan bersorak keras seperti para bucin yang sedang dimabuk asmara. _ Berita penembakan Rere oleh Raka akhirnya sampai ke telinga Adit. Matanya terus melirik jarum jam yang dirasanya bergerak pelan. Adit ingin menemui Rere. Dia ingin mengetahui semua kebenarannya. Sudah beberapa hari ini Adit selalu terhalangi oleh Raka yang selalu ada di sisi Rere. Kali ini Adit menepikan gengsinya dan menunggu Rere di depan rumahnya. Sekolah sudah bubar dua jam yang lalu, namun Rere masih belum terlihat. Adit semakin geram, hatinya kini mulai terbakar. Adit menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia memijit keningnya yang terasa berat. Ada banyak hal yang kini bergelayut dibenaknya. Adit membenamkan wajahnya di antara lutut. Dia menyesal karena waktu itu memarahi Rere. Dia menyesal karena sudah membalas pesannya dengan kasar. Meski sebenarnya dia melakukan itu agar Rere bisa berubah. Dia tidak menduga ada Raka yang ternyata siap menikungnya. Adit tidak memungkiri dan dia juga mengakui, bahwa dia memang sudah dilanda cemburu saat ini. “Makasih ya.” Rere turun dari sepeda Raka dengan tersenyum malu. “Iya, sampai ketemu besok di sekolah,” ucap Raka. Tatapan Raka beralih pada Adit yang kini sudah berdiri di belakang Rere. “Eh, ada lo dit,” sapa Raka. Rere langsung berbalik dan terkejut. Entah kenapa dia merasa seperti tertangkap basah karena sudah melakukan hal yang salah. Adit hanya diam, dia tidak menjawab sapaan Raka. Hal itu membuat Rere merasa tidak nyaman dan ingin lekas keluar dari situasi itu. “Yaudah hati-hati di jalan ya,” ucapnya pada Raka. “Oke, bye.” Raka melambaikan tangannya lalu beranjak pergi. Rere membalas lambaian tangan itu dengan canggung karena ada Adit di belakangnya. Sepeda Adit sudah menghilang di ujung jalan, namun Rere masih merasa berat untuk sekedar berbalik badan. Rere menghela napas dengan mata terpejam. Setelah itu dia memaksakan bibirnya tersenyum dan kemudian berbalik pelan. “Hei, ngapain lo ke sini?” nada suara Rere terdengar canggung. “Apa semua itu benar?” tanya Adit. “Apa?” Adit tersenyum tipis lalu mengalihkan pandangannya. Kakinya sibuk menyipak kerikil yang tidak bersalah. Setelah itu dia kembali menatap Rere dengan tatapan tajam. “Lo gampangan banget ya, bisa deket dan jadian sama orang yang nggak jelas dalam tempo waktu yang singkat,” ucap Adit ketus. “Maksud lo?” tanya Rere. “Munafik!” Adit berkata ketus. “Eh, Dit, lo kalau ngomong jangan sembarangan.” Rere mulai tersulut emosi mendengar ucapan Adit. “Emang ada yang salah sama omongan gue? bukannya waktu itu lo sendiri yang bilang kalau lo nggak mungkin suka sama kecebong kayak dia ... tapi nyatanya?” tanya Adit. Rere terdiam. Adit juga berhenti meracau. Keduanya membisu dengan saling membuang muka. Rere tidak mengerti dengan sikap Adit. Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. “Emangnya salah kalau perasaan gue berubah?” tanya Rere. “Jadi segampang itu perasaan lo berubah,” sanggah Adit. “Lo kenapa sih, Dit? Harusnya sebagai temen lo ngedukung gue, bukan malah matahin semangat gue kayak gini.” Rere mengusap wajahnya pelan. “Gue nggak suka lo deket sama dia!” Adit berteriak keras. “Kenapa?” tanya Rere. Adit terdiam. Rere menatap Adit dengan mata sangsi. Sosok sahabatnya itu terlihat begitu marah. Rere terkesiap menyadari sesuatu. Dia tahu itu tidak masuk akal. Tapi dia ingin memastikannya. Rere menelan ludah, setelah itu dia kembali bersuara. “Apa lo ada rasa sama gue?” Raut wajah Adit langsung berubah. Dia tertegun mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Rere dengan mata sayu. Jemarinya mengepal kuat. Adit menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya sejenak. Setelah itu dia kembali menatap Rere lekat-lekat. “Iya, gue sayang sama lo Re....” Jawaban Adit membuat tungkai kaki Rere melemah. Dia terkejut akan pernyataan itu. Bagi Rere, Adit adalah sosok sahabat yang sudah lebih dari saudara. Rere juga menyayangi Adit, tapi hanya sebagai sahabat karib. Rere tidak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu dan tidak sanggup lagi berkata-kata. Mereka berdua membeku dengan mata saling pandang. Keduanya tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang sedari tadi melihat mereka. Ada sosok Airin meringkuk di balik pagar sambil menutup mulutnya. Dia tidak kalah terkejut mendengar semua pembicaraan Rere dan Adit. Airin mematung dengan mata tak berkedip. Lalu perlahan bulir-bulir bening mulai menetes membasahi pipinya. _ Bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN