Jadian
Sejak pengakuan itu, hubungan Rere dan Adit kian merenggang. Rere mulai menjauh dari Adit. Dia tidak mau lagi berangkat sekolah bersama, tidak lagi membalas pesan-pesan Adit, menghindarinya saat akan berpapasan dan menolak ajakannya untuk sekedar bermain bersama.
Rere juga tidak menginginkan situasi yang seperti ini. Dia juga ingin hubungannya dan Adit kembali membaik. Hanya saja butuh waktu baginya untuk kembali seperti dulu. Karena sejak pengakuan itu, sosok Adit telah berubah di matanya. Dia tidak bisa lagi bicara lepas atau pun sekedar menatapnya seperti sedia kala.
Kabar mengejutkan lainnya adalah, Rere menerima Raka sebagai pacarnya. Romansa kisah cinta Raka dan Rere akhirnya merebak menjadi gosip terpanas di sekolah. Tidak hanya di kalangan siswa, para majelis guru pun ikut syok dengan kabar tersebut. Bersatunya siswa teladan dan siswi bandit itu membuat kehebohan yang tidak kunjung mereda.
Suara-suara sumbang mulai mengkritik hubungan keduanya. Ada pula yang menyebut mereka pasangan si tampan dan si buruk rupa. Hingga muncul juga gosip receh yang mengatakan bahwa Rere telah menyantet Raka hingga bisa jatuh hati padanya. Berbagai macam rumor dan gosip tersebar luas. Rere pun mulai merasa gelisah. Kepercayaan dirinya seketika melebur saat mendengar komentar miring terkait hubungannya dan Raka.
“Lo nggak perlu dengerin semua ucapan orang lain! Yang jelas gue sayang sama lo. Gue bahagia karena bisa ngehabisin waktu bareng lo! Dan gue nggak mau kehilangan lo!”
Kalimat itulah yang di lontarkan Raka ketika Rere mengungkapkan kegundahannya. Bahkan Rere sempat ingin mengakhiri hubungan itu yang langsung disambut oleh amarah Raka. Bahkan Raka semakin terang-terangan menunjukkan rasa sayangnya pada Rere di depan umum.
“Sebenernya apa sih, alasan lo bisa suka sama gue?” Pertanyaan yang sudah cukup lama mengganggu pikiran Rere akhirnya terlontar.
“Mmm, apa ya?” Raka tersenyum lalu melempar sebuah kerikil ke dalam danau.
“Jujur sampai detik ini gue masih bingung dan penasaran sama hal itu,” sambung Rere.
“Nggak ada!” jawab Raka.
“Nggak ada maksudnya?” dahi Rere mengernyit.
“Ya, gue nggak punya alasan buat suka sama lo,” jawab Raka.
“Itu bukan jawaban,” sanggah Rere.
Raka memutar tubuhnya dan bersandar pada pagar pembatas jalan. Kemudian dia mamandang Rere dengan tatapan teduh. Rere pun balas menatapnya dan masih menunggu jawaban. Sementara Raka masih belum bersuara dan terus menatapnya dengan senyum yang tak juga surut.
“Ayo jawab,” desak Rere.
“Hmm ... sekarang gini deh, kalo dibilang gue suka sama lo karena lo cantik, kenyataannya lo jelek! Kalo dibilang gue suka sama lo karena ko pinter, kemarin lagi-lagi lo menyabet predikat sebagai rangking terakhir lagi kan, di kelas? Kalo dibilang gue suka karena lo itu baik, lo itu kan anarkis. Dan kalo—,”
“Cukup!” Rere langsung menghentikan ocehan Raka.
“Hahaha ... kenapa?” Raka terkikik melihat Raut wajah Rere yang mulai kesal.
“Nggak tau deh.” Rere mulai merajuk.
“Makanya gue bilang ... gue nggak punya alasan buat suka sama lo. Hanya saja—” ucapan Raka terhenti.
“Hanya saja apa?” tanya Rere.
“Hanya saja cuma lo satu-satunya yang bikin gue berdebar... cuma lo satu-satunya yang bikin mata gue susah terpejam di malam hari... cuma lo satu-satunya orang yang pengen gue liat begitu gue terbangun dan cuma lo yang selalu ada di hati dan juga pikiran gue....”
Rere terdiam mendengar itu semua. Bias cahaya matahari senja menyapu wajah mereka. Riak danau yang bergerak pelan melengkapi romantisme senja ini. Raka dan Rere kembali menatap senja. Perlahan jemari mereka bersentuhan. Raka langsung meraih tangan itu dan menggenggamnya erat. Rere menatap Raka dengan sejuta rasa yang bergolak di hatinya. Raka menyadari hal itu dan balas menatap. Dia tersenyum lembut dan kemudian berbisik pelan.
“Gue sayang sama lo ....”
_
Berpacaran dengan Raka ternyata mampu mengubah sosok Rere. Sejauh ini dia tidak pernah lagi mengganggu murid yang lain. Sikap kerasnya juga lenyap. Rere mulai berubah menjadi anak yang lebih baik. Mama dan abangnya Revan ikut senang melihat perubahan itu. Bahkan sekarang guru BK juga turut heran dan merindukan kedatangannya.
Rere melirik arlojinya dengan gelisah. Dia terus memanjangkan leher ke sekeliling melihat seseorang yang tak juga kunjung datang. Beberapa orang yang lewat menatapnya lalu menyembunyikan tawa. Bagaimana tidak, penampilan Rere saat ini memang terlihat menggelikan.
Rere mencoba berpenampilan feminim hari ini. Dia mengenakan gaun one piece berwarna merah milik Airin yang sebetulnya kurang cocok dengan warna kulitnya. Selain itu dia juga memakai foundation berwarna terang milik mamanya, yang membuat warna wajah dan lehernya menjadi berbeda.
Tapi sepertinya Rere tidak menyadari hal itu. Dia tetap percaya diri dan merasa sudah cantik sekali. Hari ini dia sudah berjanji akan jalan-jalan bersama Raka. Namun sudah lebih 30 menit menunggu, sosok kekasih hatinya itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Udah nyampe mana...?
Maaf, ban sepedanya kempes. Jadinya gue jalan kaki.
Jalan kaki?
Iya, jalan kaki.
Terus sekarang lo di mana?
Udah di taman.
Oke.
Eh tau nggak, gue ngeliat orang aneh yang jadi pusat perhatian.
Orang aneh? Emangnya dia kenapa?
Pakaiannya ngejreng gitu. Dandanannya juga lucu. Kayaknya dia bagian dari grup badut buat pesta ulang tahun anak-anak atau mungkin juga dia lagi ikutan cosplay.
Bajunya warna apa?
Merah...
Rere menggigit bibir bawahnya dengan mata terpejam. Kedua pipinya terasa panas. Tatapannya beralih pada sosok Raka yang sibuk dengan handphonenya di depan sana. Kemudian Rere kembali menatap pakaian yang kini dikenakannya. Sedetik kemudian, handphonenya kembali berbunyi.
Lo di mana?
Kan, lo udah ngeliat gue
Nggak ada keliatan...
Lo bisa ngeliat badut yang lo ceritain tadi itu, kan?
Iya gue lihat.
Nah, itu gue...
Rere menatap Raka lekat-lekat. Yang ditatap hanya garuk-garuk kepala lalu melangkah dengan gugup. Rere berusaha tersenyum meski sekarang dia lebih ingin menghajar Raka. Rere mencoba menenangkan dirinya. Sementara Raka diam-diam tertawa dan menyembunyikan senyumnya.
“Maafin gue karena udah jadi badut,” ucap Rere.
“Bukan gitu, maksud gue.” Raka kembali tergelak.
“Maafin gue karena mirip cosplay,” kata Rere lagi.
Kali ini Raka tidak mampu lagi menahan tawa. Dia tertawa keras sambil memegangi perutnya. Sesekali dia menatap Rere lagi dan semburat tawa itu kembali menggelegar. Rere mulai merasa kesal juga malu. Menyadari hal itu, Raka langsung menghentikan tingkahnya.
“Maafin gue,” ucap Raka.
“Nggak. Gue yang harusnya minta maaf karena udah bikin lo malu dengan penampilan gue,” jawab Rere lesu.
“Malu? gue nggak ada ngerasa malu sedikit pun,” jawab Raka.
“Gue mau pulang aja,” cetus Rere.
“Kenapa?” raut wajah Raka berubah serius.
“Gue nggak mau berkeliaran dengan penampilan kayak gini,” jawab Rere.
Raka tersenyum lalu mengacak-acak rambut Rere. Kemudian dia juga menyeka air mata Rere yang mulai menggenang. Raka meraih tangan Rere lalu menatapnya lembut. Dia mengangkat dagu Rere dengan jemarinya lalu berucap pelan.
“Kalau itu gue punya solusinya,”
_
Raka belum juga keluar dari bilik ganti. Awalnya Rere berpikir kalau Raka akan membelikan pakaian baru untuknya. Tapi ternyata Raka malah membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Rere merasa malu karena sudah GR duluan dan salah sangka.
“Ayo cepetan,” ucap Rere.
“Sabar, ini susah masangnya,” jawab Raka dari balik tirai.
“TARAAA ...!”
Raka keluar dari bilik ganti dengan senyum sumringah. Mata Rere langsung membesar melihat penampilannya itu. Bukan hanya Rere, pengunjung toko yang lain juga ikut terpana melihatnya. Rere manatap Raka dari ujung kaki hingga kepala lalu menelan ludah. Sosok Raka yang manly dan memiliki gaya casual kini sudah menghilang.
Rere bahkan tidak yakin bahwa sosok itu adalah Raka. Sosok yang kini mengenakan gaun putih ala pengantin tanpa lengan lengkap dengan wig berwarna pirang. Raka berputar-putar menunjukkan penampilannya. Otot tangan dan betisnya menjadi terlihat menyeramkan. Semua orang langsung tertawa melihat penampilannya itu.
“K-kamu—” Rere tidak mampu berkata-kata.
“Eits .... masih ada yang kurang,” ucap Raka.
Dia kembali masuk ke bilik ganti lalu keluar dengan sebuah tongkat berbentuk bintang di tangannya. Tongkat ala peri itu pun mengeluarkan cahaya di saat dia menggoyangkannya. Rere menggeleng tak percaya. Dia berpikir kalau Raka sudah kehilangan kewarasannya. Tapi disatu sisi dia merasa ulah Raka itu begitu manis dan manja.
“Ayok kita keluar,” ajak Raka.
“Kamu serius mau keluar kayak gini?” tanya Rere.
“Yaps.” Raka tersenyum lalu segera menyeret Rere pergi.
_
Penampilan aneh Raka sukses mencuri perhatian. Beberapa pengunjung taman dan anak-anak bahkan berebut ingin berfoto bersama. Bukannya malu, Raka malah terus bertingkah jenaka. Semua ikut tertawa bersama Raka. Kali ini dia mengeluarkan gitarnya lalu bernyanyi bersama anak-anak itu.
Aksi panggung dadakan Raka mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton. Di tengah keramaian itu, Rere manatapnya dengan lembut. Ada kehangatan terasa menyebar di hatinya. Rere begitu bahagia saat ini. Dia merasa bangga karena bisa menjadi kekasih Raka. Dia bersyukur karena telah diperkenankan untuk menjadi kekasihnya.
Tiba-tiba Raka menghentikan nyanyiannya. Dia langsung menarik Rere untuk ikut duduk di sampingnya. Kehadiran Rere langsung disambut riuh penonton. Rere hanya diam tersipu dengan detak jantung terpompa cepat. Raka kembali memetik gitar dan menyanyikan lagu Virgoun yang berjudul Bukti.
Maruntuhkan egoku bukanlah satu hal yang mudah...
Namun sedetik pun tak pernah kau berpaling dariku...
Beruntungnya aku... dimiliki kamu...
Kamu adalah bukti... dari cantiknya paras dan hati...
Kau jadi harmoni saatku bernyanyi... tentang terang dan gelapnya hidup ini....
Kaulah bentuk terindah... dari baiknya tuhan padaku...
Waktu tak mengusaikan cantikmu...
Kau wanita terhebat bagiku... tolong kamu camkan itu...
Tepuk tangan dan siulan mengakhiri aksi panggung Raka. Semua yang hadir ikut hanyut dalam sensasi romantisme itu. Sorak sorai penonton masih terdengar, namun Raka dan Rere kini terdiam. Keduanya beradu pandang dengan jemari yang kini saling berpagutan erat.
_