Bagian 5

1223 Kata
“Kondisi punggung Anda cukup parah, untung segera dibawa ke rumah sakit dan ditangani!” ujar seorang dokter jaga yang memeriksa kondisi Rangga. Dia dibawa ke IGD oleh sekretarisnya, Hellena. “Tidak ada tulang yang retak, ini hanya memar! Saya telah meresepkan obat untuk diminum dan jangan lupa dikompres secara rutin.” “Baik, terima kasih, Dok!” jawab Rangga sambil membenahkan kembali bajunya. “Jadi ... dia tidak kenapa-kenapa, kan, Dok?” tanya Hellena yang merasa bersalah. “Asal tidak melakukan pekerjaan yang terlalu berat terlebih dahulu, maka kondisinya akan baik-baik saja!” ucap sang dokter sambil berdiri. Tepat setelahnya, seorang perawat memanggil dokter tersebut. “Dokter Danish, ada pasien lain yang masuk.” “Kalau begitu, saya tinggal dulu,” pamit sang dokter. Rangga terus memperhatikan pria berjas putih yang sedang berlari ke bilik rawat yang lain. Matanya menyipit dan dahinya mengkerut hingga kedua alisnya bersatu. “Kenapa aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat?” “Anda ... tidak apa-apa, Pak Rangga?” tanya Hellena sekali lagi. “Tinggalkan saja aku! Aku bisa mengurus diri sendiri,” jawab Rangga sambil berdiri. “Oke, aku akan pergi setelah mengurus administrasi dan mengambil obat! Jangan pergi dulu, ya!” “Apa Dokter Danish sedang berjaga di sini?” tanya seorang perempuan yang sedang berjalan masuk ke ruang IGD. Karena suaranya yang sangat akrab di telinga Rangga, pria itu tentu langsung menatap ke arahnya. “Nadira ...,” lirih pria tersebut melihat istrinya yang juga ada di sana. Nadira tampak menghampiri Dokter Danish dan bicara sejenak, lalu setelah itu kedua orang tersebut berjalan ke luar IGD menuju ke dalam selasar rumah sakit. Rangga yang melihat hal tersebut, langsung mencibir dalam hati. “Tidak bisakah mereka berkencan di luar rumah sakit? Apa yang sedang dia lakukan untuk mengganggu pekerjaan selingkuhannya?” Gemuruh dalam hati pria tersebut, membuat dia langsung ingin pergi saat itu juga dari rumah sakit. Bahkan ia juga tak peduli saat Hellena terus-menerus memanggil saat ia berjalan ke luar. ** “Rio mendadak demam tinggi?” “Maaf, karena aku mengganggu pekerjaanmu, Dok!” ucap Nadira sambil setengah berlari selasar rumah sakit. “Tidak masalah, aku adalah penanggungjawab kondisi Rio!” jawab Dokter Danish. Keduanya menuju ke ruang ICU dan Nadira diminta untuk menunggu di luar saja. Sementara Dokter Danish dan para perawat lain masuk ke sana untuk segera menangani kondisi Rio. Nadira cemas sambil berjalan bolak-balik di depan ruangan tersebut. Dia juga tak mengerti kenapa anaknya mendadak demam tinggi saat semua kondisi vital sebelumnya dinyatakan stabil. Tak lama kemudian, sang dokter pun keluar. “Aku telah memberikan suntikan penurun demam dan antibiotik untuk Rio. Semoga suhu tubuhnya segera menurun. Hal ini memang sering terjadi pada pasien yang menderita kelainan darah sepertinya. Selain itu, hal tersebut juga menjadi pertanda jika level gawat pada kondisi Rio semakin meningkat.” “Itu artinya aku harus segera ....” “Ya, benar! Terapi sel punca adalah satu-satunya jalan. Jika kau dan suamimu berhasil, maka tahun ini Rio bisa mendapatkan terapi untuk kesembuhannya,” jelas sang dokter lagi. Embusan napas panjang keluar dari mulut Nadira. Antara sanggup dan tidak sanggup untuk melakukannya. Dan di saat seperti ini, dadanya kembali terasa sangat sakit hingga ia mengalami batuk yang cukup parah. “Nadira ... kau tak apa-apa?” tanya Dokter Danish. Selain menjadi penanggungjawab atas penyakit Rio, Dokter Danish juga mengetahui pasal penyakit yang diderita oleh Nadira. Nadira mencoba mengurut dadanya perlahan sambil menghela napas dan mengembuskannya. “Aku ... baik-baik saja.” “Syukurlah. Anu ... Nadira ...,” panggil sang dokter seakan ia ragu dengan apa yang hendak dikatakan. “Ada apa?” “Aku sebenarnya sudah lama ingin menanyakan ini.” “Tanyakan saja!” ujar nadira dengan tegas. “Apa hubunganmu dengan suami baik-baik saja ...?” tanya Dokter Danish dengan hati-hati. Mendapat pertanyaan demikian, Nadira hanya mengangguk. “Baik! Kenapa memang?” “Emmm, tidak! Aku hanya merasa sedikit khawatir, karena setiap membicarakan sel punca dan kau harus mengandung adik untuk Rio, wajahmu selalu tampak tegang!” “Oh, itu ...! Mungkin, karena aku takut tidak segera hamil. Ya ... rata-rata perempuan akan merasa demikian saat menjalani program kehamilannya.” Dokter Danish hanya mengangguk dan mencoba memercayainya. Walau sebenarnya, dia sedikit mengenai bagaimana kondisi rumah tangga Nadira. “Kalau kau butuh apa-apa lagi, kau bisa cari aku di IGD. Aku harus kembali, maaf aku tidak bisa lama-lama,” pamit sang dokter sambil segera pergi. “Ah iya! Terima kasih, atas bantuannya!” “Sama-sama!” ** Sementara itu, Rangga yang masih dongkol karena punggungnya, dia juga merasa dongkol atas apa yang ia lihat di rumah sakit. Walau ia tak mengakui, tapi momen saat Nadira memanggil dokter tersebut sangat mengganggu pikirannya. “Pak Rangga, saya sudah memeriksa rekening dari perusahaan tambang Mineral Alam. Memang terbukti ada transaksi mencurigakan dengan jumlah yang tak wajar dalam jangka waktu panjang. Jika kita bisa menemukan perusahaan tempat mereka mencuci uang, maka kemungkinan besar kita bisa menuntut mereka.” Salah seorang pegawai yang bekerja dengan Rangga memberikan laporannya. Rangga mengangguk-angguk dengan tatapannya yang tajam. “Bagus! Sudah lima tahun semua ini kalian kubur rapat! Akhirnya perlahan aku pasti bisa mengungkapnya!” “Oh, iya! Saya juga menyertakan laporan rekening koran beberapa pejabat lima tahun lalu yang mungkin terlibat dengan transaksi ini saat mereka mengajukan perizinan.” Rangga mengangguk-anggukkan kepala. “Kerja bagus, Sam!” “Dan ada satu lagi yang perlu bapak tahu,” ujar pria yang dipanggil dengan nama Sam tersebut dengan menyodorkan sebuah dokumen untuk Rangga. “Ini ....” “Ya, itu adalah laporan keuangan Bu Nadira. Saya sudah pantau, jika tidak ada transaksinya yang berkaitan dengan perusahaan tambang selama lima tahun ini. Dan ... yang lebih anehnya lagi, Anda bisa lihat di halaman selanjutnya.” Rangga membalik dokumen itu dan tercengang. Sama sekali tak ada transaksi dari kartu kredit milik Nadira yang terhubung dengan kekayaan keluarganya. “Dia tidak pernah memakai kartu kredit pemberian keluarganya?” tanya Rangga dengan wajah yang heran. “Lebih tepatnya, dia diblokir! Tapi atas alasan apa? Saya juga tidak tahu!” Rangga menggelengkan kepala tak percaya. “Tetap pantau mereka, terutama Nadira dan juga pria yang bernama ....” Rangga agak ragu untuk mengucapkan kelanjutannya. “Pria siapa, Pak?” “Tidak jadi! Cukup Nadira saja! Laporkan padaku, dengan siapa saja dia bertemu dan berinteraksi!” “Baik, Pak!” Begitu Sam pergi, bertepatan dengan datangnya Hellena. Perempuan itu tampak curiga karena tampang serius dari keduanya. “Kalian baru saja membicarakan apa?” Rangga diam saja, tak ingin Hellena ikut campur dan suasana menjadi runyam lagi seperti kejadian di rumah Nadira kemarin siang. “Oh, iya! Lusa adalah sidang perceraian kalian! Anda sudah bilang pada Nadira agar dia datang?” tanya Hellena. Tapi kali ini Rangga malah memijat kening tanpa menimpali. “Pak Rangga ...?” panggil Hellena sekali lagi. “Nadira bilang masih belum ingin bercerai dariku. Ada beberapa hal yang perlu kita selesaikan,” jawabnya yang bertolak belakang dengan keinginan sebelumnya. “Loh, bukannya ....” “Jangan ganggu aku, Hellena! Pergilah selagi aku masih bicara dengan baik,” jawab Rangga yang membuat Hellena akhirnya pergi juga dari ruang tersebut. Sementara Rangga malah dilanda dilema. Di satu sisi, dia benci melihat Nadira yang terang-terangan berselingkuh darinya tapi masih menginginkan anak bersama Rangga. Tapi di sisi lain, Rangga juga merasa ada yang janggal karena Nadira seperti diasingkan dari keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN