Bab 8

966 Kata
"Jadi penawaran apa yang akan anda berikan pada saya." tanya Ansell pada Ayra. Setelah telpon Ayra kemarin Ansell memutuskan bertemu kembali dengan Ayra di tempat terakhir kali mereka bertemu. "Sebelum saya masuk ke penawaran, saya ingin bertanya tentang masalah kemarin apakah sudah selesai? Karena saya tidak mau terjadi masalah dikedepannya mengenai pembayaran kepada pemilik lahan yang anda beli." Ayra pastinya tidak ingin masyarakat di sini jadi korban dan tidak terjamin kesejahteraannya apabila lahan mereka jadi sengketa akibat beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab. Sudah banyak contohnya uang yang harusnya menjadi hak dari penjual lahan tidak segera cair bahkan sampai diselewengkan. "Itu sudah diurus dan yang bersangkutan sudah tidak menangani proyek ini? Dan lagi kami sudah menggantinya." Jawab Ansell, jelas dirinya juga tidak ingin ambil resiko akibat kesalahan dari karyawannya yang fatal. "Apa bisa dipercaya?" tanya Ayra menyakinkan. "Insya Allah, lalu bagaimana dengan anda apa penawaran anda?" Ayra membenarkan posisi duduknya sebelum memulai penawarannnya. "Saya akan memberikan lahan itu dengan dua syarat.” "Apa itu?" "Pertama, saya minta anda untuk membuat pernyataan hitam di atas putih bahwa anda akan menjamin masyarakat di sini tetap terjamin kesejahteraannya, termasuk menjadikan mereka bagian dari proyek yang akan anda kerjakan." Masuk akal batin Ansell. "Tapi tetap pada norma aturan ya, kalau memang mereka mau bekerja dengan baik maka saya akan setuju tapi kalau mereka malas-malasan dan hanya mengandalkan jaminan saya tidak akan segan-segan." balasnya tegas, sebagai penggusaha tentunya dirinya juga tak ingin dirugikan bukan? "Ok, yang kedua saya ingin anda menjadi suami saya." Dengan tenang Ayra mengatakan syarat keduanya, syarat yang sudah ia pikirkan dan ia sudah mintakan izin pada kedua orang tuanya. Meski awalnya dapat pertentangan dari sang abi yang memang sangat protektif padanya. Mungkin bagi kalian yang mendengar pernyataan Ayra ini terlalu berani dan sembrono, tapi Ayra sudah memikirkan ini masak-masak. "APA?" Teriak Ansell setelah ia dapat menyerap apa yang dikatakan Ayra.!0 "Apa anda tidak mendengar yang saya katakan?" "Maaf, tapi saya tidak mengerti maksud anda?" "Apa anda tidak mengerti apa arti dari menjadi suami saya?" "Bukan itu maksud saya tapi kenapa harus menikah? Asal anda tahu saya tidak pernah mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Dan saya dengan tegas menolak syarat anda." d**a Ansell terlihat naik turun menahan rasa marah, karena ia sadar yang dirinya hadapi adalah perempuan. Pantang baginya melukai perempuan secara fisik maupun hati sesalah apapun perempuam itua. "Dengan resiko anda tidak mendapatkan lahan itu?" tanya Ayra dengan sedikit nada menantang. "Saya pikir anda orang yang berpendidikan bukan? Harusnya anda paham bahwa bisnis adalah bisnis, saya akan tetap bertahan untuk mendapatkan lahan itu menjadi milik saya tanpa harus mengikuti syarat konyol dari anda." "Kenapa?" "Karena saya sudah punya istri dan saya tidak mungkin meninggalkan istri saya hanya untuk lahan itu." "Dalam islam poligami itu tidak dilarang bukan? Dan menurut saya tidak masalah kalau anda beristri dua," Ayra dengan tenang masih mencoba membujuk Ansell untuk menerima tawaran darinya. "Anda tahu lebih tentang agama bukan? Bahwa beristri dua itu penuh dengan tanggung jawab, dan saya pikir sebagai seorang perempuan harusnya anda paham bagaimana rasanya jika harus berbagi suami." "Saya paham, maka dari itu saya menyarankan poligami pada anda, asal anda bisa adil bukankah tidak masalah." "Saya permisi." "Tawaran saya tetap akan berlaku, dan saya harap anda memikirkanya kembali." Ansell tidak berhenti sama sekali saat mendengar ucapan terakhir Ayra dirinya bahkan tidak mengucapkan salam pada Ayra yang masih duduk dengan santainya, bahkan dari balik cadarnya ia tersenyum melihat kepergian Ansell. Untungnya mereka menempati ruangan kaca yang kedap suara kalau tidak mungkin saat keluar dari sini ia akan ditatap benci opeh pengunjung lainnya. "Aku harap ini pilihan yang tepat." bisik Ayra, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi juga dari sana. *** Ansell Pov "Assalamu'alaikum?" Terdengar suara perempuan yang entah kenapa bisa membuatku nyaman. Membuatku tersenyum sebelum aku membalas salamnya. "Wa'alaikumussalam, lagi di mana?" tanyaku, karena tadi ia izin pergi bersama dengan pamannya yang baru datang. Ya sejak aku minta nomernya dari bunda aku mulai mendekat padanya, memulai untuk menjadi suami yang seutuhnya untuk ia istriku. Meskipun kami belum bisa bertemu saat ini. "Baru pulang A', Aa sudah pulang? Tadi katanya mau pergi kan?" "Iya, Aa sudah pulang. Hmmm..," apa aku harus mengatakan apa yang aku alami tadi ya? Tapi aku takut ia salah paham. "Ada apa, A'?" "Tadi Aa ketemu sama klien yang punya lahan." "Ohh, terus gimana? Dapat?" "Belum, dia mengajukan syarat dan sulit untuk Aa lakukan?" "Apa itu, A?" tanyanya lagi, membuatku sedikit panas dingin. Apa aku harus jujur? "Tidak apa-apa itu urusan kantor, kenapa kita tidak bahas hubungan kita saja, ya supaya kita saling mengenal." Pilihan yang tepat semoga ia paham, apalagi aku tidak ingin masalah ini membuat hubungan kami yang baru di mulai jadi berantakan. Biarlah perempuan itu aku urus sendiri. "Memangnya mau bahas apa?" "Makanan kesukaan kamu mungkin?" "Apa ya? Suka semua sih A' nggak suka bedain makanan, tapi paling favorit itu yang manis, kalau Aa?" "Sama, tapi Aa nggak suka kalau makanan manis." "Kenapa?" "Karena mandang kamu aja udah manis jadi nggak perlu tambahan manis-manis lagi." Aku menepuk dahiku setelah mengatakannya, hilang sudah wibawaku didepan dirinya. Tapi ya gimana sudah terlanjur juga. "Ihh,gombal banget sih, ternyata Aa penggombal juga ya?” balasnya dengan diikuti suara tawa. "Ya sama istri ini kan? Aa mau kita bisa lebih dekat dan nggak cangung lagi, Ay." jujurku padanya. Ya meski harus sedikit menurunkan ego dan wibawaku agar bisa berbicara santai dengannya, bagiku tak masalah. "Ay?" tanyanya Lagi saat mendengar panggilanku untuknya. "Iya, Ay singkatan dari Ayang atau sayang." jelasku padanya tentang panggilan itu, dia manggil aku Aa jadi nggak masalah dong aku panggil Ay, tadi niatnya mau panggil Neng tapi kok terdengar Sunda pisan." "Ya Allah Aa ada-ada aja." Aku rasa dirinya sedikit tersipu dengan oenjelasannku. Ya siapa juga yang nggak tersipu kalau dapat panggilang sayang, apalagi ini dari suami. "Tapi suka kan?" godaku padanya. "Suka kok, A', makasih ya." "Alhamdulillah kalau suka, kan Aa jadi seneng gitu. Ya sudah Aa dipanggil sama eyang uti kita sambung lagi nanti ya?" "Iya, Aa, salam buat yang di sana ya." "Iya, Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam, Aa." Setidaknya setelah menelpon istriku, aku bisa lebih tenang dan sedikit bisa melupakan permintaan dari perempuan tadi. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN