Bab 3. Aku bisa hidup tanpamu

1355 Kata
"Silahkan, ibu bawa anakmu dan calon mantumu yang baru, aku tidak sudi mereka berlama-lama ada disini!" seruku dengan nada tinggi. Aku tak peduli mereka menganggapku tak berperasaan. "Dasar menantu kurang ajar! Wanita tidak tahu diri!" ibu balas membentakku. "Yang kurang ajar dan gak tahu diri itu anakmu, Bu! Tega-teganya dia berselingkuh bahkan dengan keponakan istrinya sendiri!" Mas Rizki hanya diam, dia terlihat marah namun tak dapat mengungkapkannya. "Kamu juga, Key, kemasi barang-barangmu! Tante beri waktu 10 menit, kalau tidak tante yang akan melemparkan baju-bajumu ke jalanan!" hardikku lagi. Keysha menatapku dengan tatapan tidak suka. Ia kemudian pergi berjingkat ke kamarnya. "Dek, tolonglah jangan seperti ini. Kita masih bisa bicarakan baik-baik," tukas Mas Rizki dengan tatapan menghiba. "Sudahlah Rizki, buat apa kamu memelas seperti itu! Baguslah kalau kamu lepas dari wanita licik ini! Lagipula kamu juga bukan wanita yang sempurna! Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Rizki! Biarkan Rizki memilih jalannya sendiri!" pungkas Ibu mertuaku. Luka sayatan di hatiku bertambah menganga karena ungkapan ibu. Seorang ibu yang seharusnya menjadi penengah ketika ada masalah dalam rumah tangga kami, justru makin memperkeruhnya. "Kamu yakin dek, mau pisah dari aku? Kamu yakin, bisa hidup tanpa aku?" tanya Mas Rizki seakan tak percaya dengan keputusanku. "Aku yakin mas, meskipun hatiku sakit, tapi keputusanku takkan berubah, lebih baik aku mundur, mas. Silahkan kau menikah dengan Keysha, dan semoga kebahagiaanmu bisa terwujud." "Tapi, dek... Kamu kan tidak bekerja? Bagaimana kamu bisa menghidupi dirimu sendiri? Selama ini aku yang selalu memberikan uang gajiku padamu. Apa kamu tidak menyesal berpisah denganku?" tanya Mas Rizki. Hah, lucu sekali kau ini mas? Apa kau ini terlalu sombong? Mentang-mentang jabatanmu tinggi, seorang manager? Jadi memandang rendah aku yang hanya seorang ibu rumah tangga? "Insyaallah Allah akan membantuku, mas. Kamu gak usah khawatir," lanjutku lagi. Kau belum tahu saja mas, apa yang aku lakukan selama ini. Kamu itu terlalu merendahkanku sebagai seorang wanita. Dikira aku tak mampu untuk berusaha? Kamu salah besar mas. Bukan aku yang akan menyesal, tapi justru aku yang akan membuat hidupmu menyesal. "Tante...." panggil Keysha. Dia sudah menenteng tas berisi pakaiannya, wajahnya terlihat sendu seperti enggan untuk meninggalkan rumah ini. "Tolong maafin Key, Tan..." ujarnya. "Bolehkan kalau Keysha bilang ini? Key mencintai Om Rizki. Maafin Key, tante..." Aku hanya tersenyum kecut. Aku tak pernah menyangka, gadis selugu kamu bisa setega ini sama tantemu sendiri. Padahal, almarhumah ibumu sangat baik pada tante. Ah sudahlah! Biarlah aku mengalah, tapi bukan berarti aku kalah. Aku hanya tidak mau bertahan dengan seorang pengkhianat. Aku tidak mau dimadu. Lebih baik aku yang mundur dari pada harus menelan pil sakit hati. Mereka bertiga pergi meninggalkan rumah ini. Aku benar-benar sendirian sekarang. Benarkah keputusan yang kuambil sudah tepat? Segera kututup pintu rumah. Hatiku tersayat begitu perih melihat Mas Rizki merangkul Keysha. Bahkan tidak segan-segan di hadapan ibunya. Keysha pun nampak menggelayut manja di lengannya. Aku benar-benar dikhianati. *** Aku membereskan kamar Keysha mencari tahu apakah ada barangnya yang tertinggal di kamar? Deg! Ketemukan bungkus alat tes kehamilan yang sudah terpakai. Namun tak ada isinya. Tenggorokanku makin tercekat. Kelu. Mereka benar-benar sudah sejauh ini? Apakah Keysha benar-benar hamil? Air mataku meleleh lagi, bahkan mereka sudah pergi, tapi kenapa rasa sakitnya masih tertinggal disini? *** Kubasuh wajahku dan kembali memoles make up tipis-tipis, setidaknya agar sembabku tak begitu kentara. Kupandangi wajahku di depan kaca rias. Apakah wajah ini sudah terlihat tak menarik? Makanya Mas Rizki berpaling dariku? Kuembuskan nafas dalam-dalam, mencoba mengurangi penat yang ada. Aku segera memesan taksi online, dan menuju ke rumah Mirna, sahabatku. Dia juga pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Dikhianati oleh sang suami. Padahal dia wanita yang sempurna. Diapun sudah memberikan dua anak yang lucu-lucu. Entahlah bagaimana dia bisa bertahan. Justru sekarang dia bisa hidup mandiri dengan usahanya. "Nadia, kamu kenapa?" tanya Mirna dengan tatapan cemas. "Mas Rizki mengkhianatiku, Mir," sahutku terisak. "Astaghfirullah. Sama siapa, Nad?" "Keponakanku sendiri," "Maksudmu Keysha? Gadis cantik itu? Anaknya almarhumah Mbak Niah?" Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mirna. Hatiku rasanya ngilu. "Astaghfirullah hal'adzim. Kenapa mereka tega menusukmu dari belakang sih! Keterlaluan!" gerutunya lagi. Dia memelukku. Ya, saat ini aku memang butuh sandaran. "Aku akan selalu dukung keputusanmu, Nad. Jangan menyerah ya, kamu harus tetap semangat!" ujar Mirna lagi memberiku semangat. "Mas Rizki mau menikahi Keysha, tapi dia gak mau menceraikanku, Mir." "Dasar laki-laki tidak tahu diri. Aku tahu perasaanmu, Nad. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Tapi lebih baik, kau relakan saja mereka menikah, paling-paling hanya bisa nikah siri, tidak bisa nikah secara hukum negara karena tidak ada izin dari istri pertama," terang Mirna lagi. "Ada yang membuatku lebih sakit dari sekedar itu, Mirna. Kemungkinan Keysha hamil, aku menemukan bungkus testpack di kamarnya." "Astaghfirullah hal'adzim, mereka memang sudah benar-benar keterlaluan. Kau gugat cerai saja, Nad. Biar cepat lepas dari baj*ngan itu!" Aku mengangguk. Aku juga sudah tidak sudi untuk jadi istrinya lagi. Hatiku terlalu sakit. Aku tak pernah menyangka, mereka tega mengkhianatiku. Keponakan yang aku sayangi, menjadi duri dalam rumah tanggaku. Pun suamiku, suami yang dulunya lembut padaku justru berkhianat menorehkan luka yang begitu dalam. "Bagaimana kalau kamu ikut mengelola Butik Kinita?" tukas Mirna menghenyakkanku pikiranku. Aku menoleh memandang paras wajah sahabatku itu. Ia nampak sumringah meskipun pernah patah hati. Mungkin aku perlu mencontoh semangatnya. "Tidak usah Mir, itu kan butik kamu." "Tapi kamu juga punya andil dalam berdirinya butik itu. Kalau saja tidak ada tambahan uang modal dari kamu, mungkin Butik Kinita tidak bisa berdiri," ujar Mirna lagi. "Itu usaha kamu, Mirna. Insyaallah aku akan berwirausaha sendiri. Aku masih punya uang tabungan dari bagi hasil yang kamu berikan," jawabku. Dia hanya mengangguk sembari berusaha untuk menguatkan. "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Aku akan selalu mendukungnya." Dulu, aku memang memberikannya modal tambahan, karena saat itu Mirna sedang kesulitan keuangan. Pasca perceraiannya, sang suamipun angkat tangan tak pernah memberi anak-anaknya nafkah. Aku tidak tega, akhirnya kuberikan sebagian tabunganku padanya. Tidak hanya itu, setiap bulannya aku mendapatkan 30% dari penghasilan bersih yang ia terima, sedangkan dia mendapatkan 70% karena Mirna yang mengelolanya sendiri serta dia banyak kebutuhan untuk menghidupi anak-anaknya. Aku sudah bilang tidak usah, aku ikhlas membantunya, tapi dia tetap saja memberiku uang bagi hasil. Dan selama ini uang itu kutabung tanpa sepengetahuan Mas Rizki. Selama menikah dengan Mas Rizki, dia selalu mencukupi kebutuhanku. Aku sama sekali tidak kekurangan. Pola hidupku sederhana, membeli ketika butuh bukan karena keinginan atau gengsi. Justru sering kali aku kelebihan uang belanja, dan itu aku tabung juga, untuk dana yang tak terduga. Mas Rizki tak pernah mengungkit-ungkit apakah uang belanja itu lebih atau kurang. Setiap bulannya Mas Rizki selalu memberiku 5 juta rupiah untuk uang dapur dan kebutuhanku. Sedangkan uang kuliah Keysha, listrik dan air dia yang membayarkannya, serta jatah uang untuk ibu dan uang pegangannya sendiri. Kalau ditotal mungkin gaji Mas Rizki diatas 10 juta rupiah, dia tak pernah transparan mengenai gajinya. Jatahku hanya 5 juta, cukup atau tidak Mas Rizki tidak peduli, yang penting ada lauk di meja makan. Bagiku yang masih belum punya anak, uang segitu lebih dari cukup untuk makan satu keluarga, aku, Mas Rizki dan Keysha. Selebihnya aku tabung di rekeningku sendiri. Untungnya Mas Rizki pun tak pernah tahu dan mengungkit ada berapa uang tabunganku. Makanya tadi, dengan congkaknya dia mengatakan apakah aku bisa hidup tanpa dia? Secara selama ini dia yang menghidupiku. Dia pula yang memenuhi semua kebutuhanku. Oke, sepertinya mulai saat ini aku harus bangkit. Bangkit dengan kelebihan yang kumiliki. Akan kubuktikan pada Mas Rizki, bahwa akupun bisa hidup tanpamu. Aku beranjak bangkit, setelah mencurahkan isi hatiku pada sahabatku itu, rasanya hatiku sedikit lega. Aku juga jadi punya semangat untuk menjalani hari-hariku. "Aku pamit pulang ya Mir, terima kasih sudah menjadi teman curhatku." "Iya, Nad. Kamu yang sabar ya dan harus tetap semangat!" "Makasih, Mir," "Hati-hati dijalan ya, Nad," ujar Mirna lagi. "Assalamualaikum," "Waalaikum salam." *** Sesampainya di rumah aku lihat ada seorang pemuda seumuran Keysha sedang berdiri dengan gelisah. Ia nampak berjalan mondar-mandir di depan teras. "Maaf mas, cari siapa ya?" tanyaku. Ia nampak kaget dengan kedatanganku, lalu diapun tersenyum. "Oh mbak, maaf, aku cari Keysha, apa Keysha'nya ada? Keysha tinggal disini, kan?" tanyanya dengan senyum seakan dipaksakan. "Keysha'nya sudah gak tinggal disini lagi. Memangnya mas ini siapa?" "Aku teman kuliahnya, mbak," "Teman apa teman?" tanyaku memancing. "Ah anu, sebenarnya...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN