Praankk.... Gelas yang kubawa luruh seketika. Air mataku sudah jatuh seperti kucuran air hujan. Sakit dan kecewa.
Segera aku berlari dan mengunci pintu kamar. Tak kuhiraukan panggilan Mas Rizki dari balik pintu. Ia merajuk agar bisa dibukakan pintu.
"Dek... Buka pintunya, dek! Mas mau bicara..."
Suara Mas Rizki terdengar bergetar. Suara yang dulu selalu mendamaikan hatiku, kini berbalik menyerangku seperti sayatan sembilu. Perih.
"Dek, buka pintunya, dek! Mas mau bicara!" teriaknya lagi sembari menggedor pintu.
"Tidak perlu ada yang dibicarakan lagi, mas. Aku sudah mendengar semuanya. Tega kamu, mas!"
"Nadia, ini gak seperti yang kamu pikirkan!"
"Tidak seperti yang kupikirkan bagaimana? Aku mendengar percakapanmu bersama Keysha dengan jelas."
"Nadia, kamu salah paham. Buka dulu pintunya, biar mas jelaskan."
"Ya jelas aku salah paham. Untuk apa kamu masuk ke kamar Keysha tengah malam begitu? Kau sudah menodainya, benar kan?"
"Mas tidak menodainya sayang, kami lakukan itu atas dasar suka sama suka."
Deg! Bagaikan disambar oleh petir mendengar pengakuannya. Suka sama suka katanya? Astaghfirullah hal'adzim... Jadi mereka melakukan hubungan yang terlarang, tanpa takut berbuat dosa?
"Dasar menjijikkan! Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Mas? Apa salahku? Apa hanya gara-gara aku belum bisa memberikan anak seperti yang kau mau? Jadi dengan teganya kau mengkhianati pernikahan kita?!"
"Tidak, Nadia."
"Cukup, mas. Cukup! Aku tak mau mendengar alasanmu lagi!"
"Nadia, aku masih mencintaimu. Tapi aku juga mencintai keponakanmu, Keysha!"
Dasar serakah! Harusnya satu wanita saja sudah cukup. Oh, ternyata benar, sebuah nasehat yang diungkapkan oleh orang-orang. Kesetiaan istri diuji saat sang suami tak punya apa-apa, dan kesetiaan suami diuji saat dia memiliki segalanya.
Kudengar derap langkah menjauh dari kamarku. Ah, bolehkah aku marah seperti ini? Hatiku sudah terlanjur sakit karenanya. Nyeri.
Entah sudah berapa liter air mata yang sudah kutumpahkan. Rasanya belum kering juga. Aku terkulai dibalik pintu sambil memeluk lutut. Rupanya hanya bualan belaka ketika dia bilang mencintaiku apa adanya. Buktinya, baru menikah lima tahun, dia sudah tega mengkhianatiku, hanya karena aku tak kunjung hamil.
Tak habis pikir, kenapa dia harus berselingkuh dengan Keysha? Keponakanku sendiri! Kejutan yang mereka berikan justru menambah beban luka di hatiku. Sakitnya terasa sampai ke ulu hati.
Aku mendongak dan mengerjap-ngerjapkan mata perlahan, jam sudah menunjuk angka lima pagi. Ah, rupanya aku ketiduran karena hatiku sangat lelah. Aku segera bergegas bangun untuk melaksanakan kewajibanku sholat subuh. Kubasuh wajahku secara perlahan, lalu segera mandi pagi.
Mau tak mau aku harus menghadapi kenyataan ini. Walau bagaimanapun juga, Mas Rizki masih suamiku. Oke, akupun harus membuatkannya sarapan, sebentar lagi dia akan berangkat ke kantor. Telat sedikit saja dia akan terjebak macet selama berjam-jam.
Sungguh aku tercengang melihatnya. Mas Rizki dan Keysha sedang bercengkrama di dapur. Entahlah apa yang mereka lakukan, sepertinya Mas Rizki sedang mengajari Keysha memasak. Sungguh menjijikkan, setelah aku tahu tentang hubungan mereka, justru mereka makin terang-terangan memperlihatkannya di depanku, tanpa rasa bersalah?
"Eh, dek, kau sudah bangun?" sapa Mas Rizki agak kikuk.
"Tante, biar hari ini Keysha yang masak. Tadi om udah kasih tahu resep-resepnya, ini sebentar lagi juga matang," ucapnya dengan nada manja. Mas Rizki pun tersenyum tanda setuju dengan ucapannya.
Aku tersenyum getir. Muak melihat mereka berdua. Mendadak mual perutku mendengar semua itu. Anak itu, dia yang tadinya sangat polos dan manja. Kini dia menusukku dari belakang?? Bagaimana perasaanmu teman? Bagiku, ini terlalu sakit. Laku bagaimana caranya aku mengumpulkan puing-puing hati yang sudah remuk dan berserakan?
***
"Dek, ada yang mau kukatakan padamu," ucap Mas Rizki memecah kebisuan.
Aku bergeming sambil terus mengoles roti dengan selai strawberry. Tak Sudi aku memakan masakan Keysha, walaupun makanan itu sudah tersedia di meja makan.
"Kamu gak makan masakannya Keysha, dek? Ini pertama kalinya dia memasak lho, harusnya kamu bisa menghargainya," ujar Mas Rizki.
Kulihat Keysha dengan bersemangat menyendokkan nasi plus lauk pauknya ke piring Mas Rizki. Dia pula yang menyiapkan air putih untuknya.
"Makasih, Key," sahut Mas Rizki sambil tersenyum manis. Memuakkan!
Tak berapa lama, Mas Rizki terlihat memicingkan matanya.
"Key, ini keasinan. Harusnya tambah garamnya sedikit aja."
"Masa sih, om?" tanyanya lalu dia mulai mencicipi masakannya sendiri. Beh... Beh... Dia melepehkan makanannya untuk mengurangi rasa asin. Keysha kemudian nyengir kuda.
"Maaf om..."
"Iya gak apa-apa, Key. Nanti belajar masak lagi ya sama Tante Nadia, lama-lama juga kamu akan terbiasa," sahut Mas Rizki dengan santainya.
Cuihh... Belajar masak bersama? Silahkan saja bermimpi! Dulu mungkin aku menginginkannya, tapi tidak sekarang setelah aku tahu kalian mengkhianatiku di belakang!
"Iya, om," sahut Keysha.
"Hari ini biar om sarapan roti selai saja."
Aku bangkit dari duduk, tapi genggaman tangannya mencegahnya untuk pergi.
"Duduk dulu, dek. Ada yang mau mas katakan padamu," tukasnya sambil menatapku dengan tegas.
Aku kembali duduk seperti yang dia minta.
"Katakan, mas!" sergahku. Sudah dari semalam aku menyiapkan hatiku untuk mendengarkan semuanya, meskipun satu sisi hatiku tidak akan kuat untuk menerima semua itu.
"Nadia, izinkan mas menikahi Keysha," pintanya dengan nada lembut.
Mendadak lidahku jadi kelu. Jantungku berdentam-dentam hebat seperti letupan gunung berapi. Panas dan bergemuruh.
"Kenapa tidak kau ceraikan aku dulu, Mas?" tanyaku dengan bibir bergetar hebat. Aku tak kuasa menahan semuanya. Air mataku berderai tanpa henti. Sungguh aku malu pada diriku sendiri. Kenapa aku nangis di hadapan mereka, terutama gadis itu. Ah bukan gadis, dia memang gadis tapi sudah tak perawan. Memang gila!
"Tidak Nad, sudah kubilang, aku mencintaimu. Aku tidak akan menceraikanmu."
"Kau bilang ini cinta? Kalau kau benar-benar cinta, tidak akan ada pengkhianatan dalam hubungan kita!" protesku penuh emosi.
"Nadia, poligami kan tidak dilarang oleh agama!"
Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami bertiga. Ibu mertuaku datang dengan senyumannya yang sinis. Ya, dari dulu memang ibu mertuaku tak pernah menyukaiku.
"Apa maksud ibu?" tanyaku.
Ibu Mertuaku duduk di samping Keysha yang masih menatapku dengan tatapan tak suka.
"Harusnya bagus dong, Rizki mau berterus terang padamu, dan izin mau menikah lagi!"
Mas Rizki tersenyum, gayungnya seperti bersambut karena dibela oleh sang ibu.
"Diluar sana banyak lelaki yang menikah lagi tanpa istri pertamanya tahu. Kamu termasuk beruntung lho," ucapan ibu mertuaku sungguh seperti paku berkarat yang sengaja ditancapkan ke dalam daging.
Beruntung kata ibu? Hah, dasar ibu yang aneh, anaknya melakukan kesalahan justru dibela. Andai saja semalam aku tak memergoki hubungan mereka, mereka pasti akan menyimpannya rapat-rapat, bukan?
"Bagaimana Nadia, apakah kamu mau dipoligami? Lagi pula, adik madumu nanti keponakanmu sendiri."
"Sungguh miris kalian ini! Tidak punya akal! Apa ibu tidak tahu? Bahwa menikah dengan keponakan istri itu tidak diperbolehkan?! Kecuali sang istri diceraikan lebih dulu?! Apa kamu tidak tahu hal itu, mas?" nada suaraku mulai meninggi.
Ah ya! Pasti kamu tidak tahu, karena hati dan akalmu sudah dipenuhi oleh nafsu. Aku menatap tajam ke arah Mas Rizki dan juga Keysha. Mereka terdiam dan Keysha hanya menunduk.
"Baiklah mas, kalau kamu mau tetap menikah dengan Keysha, silahkan saja, aku tidak melarang. Tapi maaf, aku yang mundur mas," ujarku walau hatiku remuk redam.
"Tapi, Nad...."
"Terlepas dari hukum itu, sampai kapanpun Aku tak mau dimadu, mas. Aku tidak rela membagi suamiku dengan orang lain."
"Kamu paham apa resikonya kalau kau bercerai dengan Rizki, Nadia?!" tukas ibu mertuaku ikut menyela ucapanku.
"Aku paham, Bu. Aku tidak akan menuntut harta apapun dari Mas Rizki. Tapi aku minta hak rumah ini ada padaku. Walau bagaimanapun juga aku ikut andil dalam pembangunan rumah ini!"
"Tidak bisa begitu dong! Selama ini kan kau tidak bekerja!" seru ibu mertuaku lagi.
"Sudah Bu, sudah. Nadia juga berhak atas rumah ini. Pembangunan rumah ini sebagian menggunakan uang tabungannya ketika dia masih sendiri," pungkas Mas Rizki.
Maaf ya, Bu. Walau bagaimanapun aku tidak rela hasil jerih payahku tidak dihargai.
Ibu mendengkus kesal seakan dia tak terima dengan keputusan ini. Haruskah ibu mertua seperti ini aku hormati?
Aku bergegas ke kamar, dan memasukkan baju-baju suamiku ke dalam koper. Lalu menyerahkan koper itu padanya.
"Tega kamu ya, Nad! Orang masih makan malah diusir terang-terangan begini!" teriak ibu mertuaku lagi.
"Siapa yang lebih tega, Bu? Aku atau anakmu?" timpalku tepat menghunjam hatinya.
Ibu tak bisa berkata-kata lagi. Dia menatapku dengan sorot mata yang tajam. Ia benar-benar tidak suka denganku. Apalagi saat aku meminta rumah ini menjadi hakku. Entah apa yang membuatku lebih berani membela hakku sendiri.
"Silahkan ibu bawa anakmu dan calon mantumu yang baru, aku tidak sudi mereka berlama-lama ada disini!"