Pagi yang cerah. Puput keluar dari kamarnya sambil bersenandung. Hari ini ia akan menjalankan tugasnya mengatur para pelayan di rumah itu, sesuai keinginan Aldi. Mengenakan baju kantor yang rapi dan trendi ia menuruni tangga, terus melangkah menuju dapur. Di sana, ada dua orang pelayan yang sedang menyiapkan sarapan pagi untuk tuan mereka dan tamunya, Puput.
"Bik, jam sepuluh nanti, semua orang dikumpulkan dan temui saya di ruang kantor ya," pinta Puput sambil memeriksa dapur dengan seksama. Di tangannya, ia memegang buku kecil dan ballpoint.
"Baik, Non," sahut bibik dengan nada patuh. Puput merasa puas. Ia menghabiskan pagi dengan berkeliling mendatangi setiap ruang sampai ke halaman dari mansion tersebut. Tidak ketinggalan area satpam yang berjaga siang malam.
Segala hal yang ditemukannya, ia catat di buku yang dibawanya. Pukul delapan pagi, Puput kembali ke dalam rumah dan langsung menuju meja makan. Ia terkejut mendapati Aldi berada di sana, merasa heran karena setahunya, bos dingin itu tidak tinggal di sana. Ia hendak berbalik dan kembali ke kamar, tapi, bunyi keroncongan dari perutnya membuat Puput mengurungkan niatnya untuk kabur dari pandangan lelaki yang menyebalkan itu.
Dengan santai, ia pun melanjutkan langkahnya dan menarik kursi yang letaknya paling jauh dari lelaki yang sedang menikmati secangkir kopi dan roti selai. Tanpa menoleh kepada Aldi, Puput mengambil makanan dan menaruhnya di atas piring, kemudian, ia melahap makanannya dengan tenang.
Aldi melirik dengan sudut matanya, ia merasa cukup terkejut dengan sikap Puput yang seolah-olah tidak mengerti tata krama dan kesopanan. Lelaki itu merasa kesal karena dianggap tidak ada oleh gadis tersebut. 'Memangnya, yang jadi bos di sini, siapa?' pikir Aldi.
Sambil menghentakkan kakinya, Aldi bangkit dan segera meninggalkan ruang makan. Lain hal dengan Puput, ia merasakan kelegaan luar biasa karena lelaki itu justru pergi dari sana. "Hmm, akhirnya ... bisa menikmati makanan dengan bebas," gumam Puput sumringah.
Tiga puluh menit kemudian, "Non, apa sudah selesai sarapannya?" tanya bibik yang melihat piring kosong di hadapan Puput, tapi gadis itu belum beranjak juga dari sana. Ia sangat asik dengan telepon genggamnya. Rupanya, Puput sedang membuka katalog baru dari sebuah market online dan sedang terpesona dengan barang-barang baru.
"Non!" Bibik menyentuh tangan gadis itu dengan halus.
"Ah, i-iya, Bik? Ada apa?" Puput terkaget-kaget sampai gelagapan.
"Anu, Non. Kata bapak, ada proposal yang harus dipelajari, Non," ucap bibik dengan hati-hati.
"Ah, baiklah. Saya ke atas," sahut Puput seraya bangkit dari kursi tanpa mengalihkan pandangan dari layar telepon genggamnya. Ia harus melewati ruang keluarga sebelum naik tangga ke lantai dua.
"Put? Puput!" seru Aldi yang semakin merasa heran melihat gadis itu melangkah tanpa lepas dari ponselnya.
"Ah, i-ya, Pak ...." Puput terkejut menyadari kalau bosnya belum berangkat. Semakin terkejut lagi melihat kalau Aldi tidak sendirian di ruangan itu. Ada seorang wanita berambut lurus panjang dengan kaki yang jenjang dan langsing tengah menatapnya dengan sorot mata curiga.
"Si-siapa dia, Al?" tanya wanita itu kepada Aldi.
Puput yang hendak pergi, mengurungkan niatnya. Mata jeli gadis itu menangkap sebuah scarf yang melingkar pada leher wanita yang sedang menatapanya. Tanpa sadar, Puput melangkah mendekati wanita itu. "Ini bescarf kan? Ini seharusnya bisa aku beli, cantik sekali," ujar Puput sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan kenan, fokus pada scarf orange yang sangat memukau di matanya.
"Puput! Apa yang kamu lakukan?!" bentak Aldi yang seketika merasa khawatir atas sikap gadis itu.
"Ah, iya, Pak. Saya hanya mengagumi scarf yang tidak bisa saya beli. Maaf, saya ada pekerjaan. Permisi," ucap Puput sambil melesat pergi menaiki tangga, tidak menghiraukan seruan Aldi yang masih memanggilnya.
"Siapa sih Al? Kenapa kamu terlihat marah sekali?" tanya wanita itu, seorang model yang disewa oleh kantornya.
"Oh, bukan siapa-siapa, hanya salah satu karyawanku, ayo kita lanjutkan pembicaraan kita," tukas Aldi sambil duduk kembali. Kekesalannya kepada Puput semakin hari semakin besar dan membuatnya uring-uringan sepanjang hari.
"Al, apa tidak sebaiknya kita bicara di luar aja?" tanya wanita itu sambil melirik ke arah tangga.
"Aku lagi tidak bisa keluar, hari ini ada meeting seharian di kantor. Gimana?" Aldi balik bertanya. Melihat wanita itu terdiam, Aldi melanjutkan, "Atau kita tunda dulu? Aku tanya sekretarisku untuk bikin jadwal, gimana?" desak Aldi.
Wanita itu tampak menelan salivanya dengan gugup. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan di pagi itu, bisa diterima Aldi di mansionnya yang mewah. "Ya sekarang aja deh, daripada susah lagi ketemu kamu, Al." Dia menggeser duduknya mendekati lelaki tampan itu.
"Ya, aku mendengarkan," sahut Aldi pendek.
Dari atas Puput terus mengintip ke arah mereka. Ia terpesona pada scarf orange yang melilit cantik pada leher wanita itu dan ia juga tersenyum melihat bagaimana sikap wanita tersebut berusaha mendekati bosnya. "Hm ... cocok. Satu ganteng dan kaya, satu lagi cantik dan keren," gumam Puput.
Merasa ada yang memperhatikan, Aldi menoleh ke atas tiba-tiba dan kedua mata mereka bersirobok. Puput terkejut hingga wajahnya merona merah karena merasa bersalah telah mengintip mereka, sementara Aldi sorot matanya mengobarkan kemarahan.
Lelaki itu berdiri dengan cepat dan melangkahi dua anak tangga sekaligus membawa emosi yang siap meledak. Jantung Puput seketika bertalu-talu. Ia pun segera masuk ke ruang kantor Aldi dan menguncinya dari dalam.
Dor Dor Dor!
Suara pintu digedor kencang oleh tangan yang terkepal dengan energi kemarahan. "PUPUT! BUKA!" teriak Aldi yang terdengar ke mana-mana. Beberapa menit kemudian menunggu, tidak ada sinyal bahwa pintu akan dibuka dari dalam.
Menyadari bahwa gadis itu akan semakin ketakutan, Aldi menggunakan trik lain. Sambil menahan diri agar tidak terdengar marah, ia pun kembali mengetuk pintu, kali ini dengan pelan-pelan. "Put ... tolong buka pintunya," pinta Aldi dengan sopan.
Tidak disangka Aldi mendapat jawaban dari dalam, "Nanti aja, Pak. Kalau Bapak sudah tidak marah lagi."
Kedua mata Aldi membola dengan rahang yang mengetat. "What the hell!" pekiknya pelan. Ia mengepalkan kedua tangannya hendak kembali menggedor keras pintu itu. Tapi, tangannya berhenti di udara, ia berpikir cepat sambil menarik napas panjang.
"Put, ini rumah siapa? Ruangan ini kantor siapa?" tanya Aldi dengan nada yang diusahakan lemah lembut meski siapapun yang mendengarnya akan tahu kalau lelaki itu berbicara dengan nada datar dan menyimpan geram.
"Maaf, Pak. Ini rumah Bapak, kantor ini termasuk kantorku juga karena aku bekerja di sini, kan? Tapi ... biarpun di rumah Bapak, aku harus melindungi diri dari kemarahan Bapak." Suara Puput terdengar tegas.
Aldi menghembuskan napas dengan keras, satu tangannya menepuk kencang keningnya sendiri. Benar-benar menguras energi menghadapi gadis itu.
"Baiklah, saya tidak marah. Buka pintunya Put, tas kerja saya masih di dalam," ucap Aldi sambil menggelengkan kepalanya.
Terdengar langkah kaki menjauh dari pintu, tidak lama kemudian, Puput menjawab agak kencang. "Masuk, tidak dikunci!" Mendengar jawaban Puput yang seenaknya seperti itu, lagi-lagi emosi Aldi naik. Dengan sigap ia menekan pegangan pintu dan Brak! Pintu pun terbuka.
Tampak gadis itu sudah duduk di meja kerjanya sambil menyalakan komputer. Aldi terpaku melihat ketenangan Puput dan ia merasa tertipu karena telah mengira gadis itu ketakutan olehnya. Tapi, kemarahannya pun tiba-tiba saja menguap entah ke mana. Aldi melangkah masuk ke dalam ruangan menuju meja kebesarannya. Ia meraih tas dari atas meja, sambil menoleh ke arah Puput yang sedang berpura-pura sibuk.
Aldi hanya menggelengkan kepalanya kemudian berbalik dan melihat Kirei, tamunya sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan aneh.
"Ayo jalan, maafkan peristiwa tadi," ajak Aldi sambil menutup pintu di belakangnya dengan keras.
"Huh, dasar lelaki kasar! Kaget tahu!" teriak Puput dari dalam.
Aldi dan Kirei terkejut, keduanya saling tatap sejenak, kemudian Aldi melangkah turun diikuti oleh wanita itu.
"Wow Al?! Tatapan apa itu tadi di dalam sana? Jangan katakan kamu tertarik pada gadis aneh itu." Kirei mengatakannya dengan nada cemburu. Ia melihat dengan jelas bagaimana hangatnya tatapan Aldi kepada Puput waktu lelaki itu menoleh padanya.
"Apa kamu bilang? Tertarik?! Yang henar saja!" seru Aldi tidak terima.
"Tapi, tatapanmu begitu hangat dan ... dan ... lembut. Padaku saja gak pernah seperti itu," protes Kirei.
"Hei, kamu itu adik dari sahabatku dan sekarang kita kerjasama bisnis. Tapi, aku menatapmu ya menatapmu, sama aja kan?" elak Aldi.
"Dia bahkan pegawaimu. Pegawai yang menurutku kurang ajar padamu. Lagi pula, kenapa dia bekerja di rumah? Kenapa tidak di kantor? Al, buatku ini tidak masuk akal!" seru Kirei berapi-api.
Aldi menghentikan langkahnya tepat di depan pintu keluar menuju area parkir di mana mobilnya telah disiapkan oleh supir pribadinya. "Rei, mengenai dia, tidak ada sangkut pautnya dengan kerjasama kita. Mengenai hal lainnya, aku harap kamu berhenti banyak bertanya dan ikut campur dengan urusanku. Paham?!" tegas Aldi sambil menatap wanita cantik itu dengan tajam.
"Oh ... aa ... i-iya, Al. Maaf," sahut Kirei tergagap dan merasakan sesuatu seolah sedang mengiris hatinya. Wanita itu pun segera menundukkan wajahnya dan hanya ikut melangkah saat Aldi melanjutkan langkahnya.