Lari dan Lari!
Suatu pagi di ruang kantor Bernaldi, yang biasa di panggil Aldi, seseorang menghadap kepadanya. "Ada apa?"
"Ini mengenai Puput Kharisma, Pak," jawab lelaki itu.
"Siapa Puput Kharisma?" tanya Aldi, CEO dari perusahaan periklanan yang namanya sedang berkibar.
"Dia ... asisten tim kreatif, Pak," sahut Sofyan yang merupakan Human Resource Departemen di kantor tersebut.
"Oh, si hidung jambu? Ah, ya saya ingat. Presentasinya lumayan memukau di depan klien dan anaknya ... menurutmu, berbakat tidak? Agak berbakat ya?" Aldi berat hati untuk mengakui kehebatan anak buahnya.
"Dalam hal pekerjaan memang tidak ada masalah, Pak. Dia sangat solid dalam team work dan ide-idenya disukai oleh klien kita," sahut Sofyan agak gelisah.
"Lalu, apa masalahnya?" desak Aldi yang merasa bahwa waktunya sangat berharga dan menginginkan anak buahnya berlaku efisien.
"Mengenai deb collector yang terus berdatangan mencari Puput. Tapi yang meresahkan adalah pinjaman online yang diambilnya telah meneror rekan-rekan satu kantor sehingga menimbulkan keributan," tutur Sofyan.
"Jadi?" Aldi terlihat tak acuh terhadap permasalahan tersebut.
"Saya minta izin untuk mengeluarkannya, Pak." Akhirnya Sofyan merasa lega karena telah mengutarakan maksudnya kepada Bernaldi. Pria bujangan yang kharismatik.
"Pertimbangan mengenai hal itu kan termasuk dalam kewenangan Pak Sofyan. Saya tidak perlu campur tangan, toh?" Aldi menyudahi pertemuan itu.
"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Sofyan seraya bangkit dari kursinya dan cepat-cepat keluar dari ruangan sang CEO dengan perasaan tidak enak karena hanya dianggap sebagai HRD yang tidak kompeten di mata atasannya.
Surat pemecatan terhadap Puput telah ditandatangani dan dibubuhi stempel basah perusahaan. Namun, kemana surat tersebut harus disampaikan sementara Puput sudah tiga hari tidak masuk kerja?
Rupanya, Puput sedang sibuk menghindari pada deb collector yang terus mengejarnya dari tiap sisi hingga gadis itu nyaris tidak mempunyai ruang bahkan untuk bernapas sekalipun. Sesak.
◇◇◇
TUK TUK TUK
Bunyi sepatu pria murahan yang berat di lorong antara toko-toko, terdengar mengerikan bagi seorang gadis yang sedang bersembunyi di balik tong sampah besar berbau busuk.
Gadis berambut ikal gantung akibat sentuhan salon itu sedang memejamkan matanya erat-erat dengan mulut komat-kamit, sepintas seperti sedang berdoa. Namun, kenyataannya dia sedang mengusir pria tinggi besar berkulit gelap bernama Bob itu, tanpa suara.
"Pergi kau, pergi, pergi pergiii … aku gak ada di sini, gak ada di sini, pergi, pergi."
Saat dirinya sedang khusuk, Indera gadis itu merasakan sesuatu yang kasar, bergerak dan kenyal menyentuh kulit betisnya. Seketika, komat-kamitnya terhenti dan ia membuka tipis kelopak matanya sebelah kiri lalu terbelalak dan secara mengejutkan, gadis tersebut berteriak kencang sambil melompat lalu berlari tunggang langgang melewati lelaki yang sedang mengejarnya. "Aaaa … hantu buluu … hantu bulu …!"
"Ha--hantu?! Aaaa … tolong! Ada hantuu …!" teriak lelaki tinggi besar dengan d**a bidang dan lengan penuh sumpalan otot, terkejut luar biasa mendengar teriakan tiba-tiba dari gadis yang sedang diburunya. Ia mempercayai seribu persen bahwa gadis itu telah melihat hantu di siang bolong. Kalau tidak, mana mungkin dia terlihat sangat panik dan lari begitu cepat bagai atlet maraton?
Ikut merasa panik dan sangat ketakutan, pria itu berbalik dan mencoba untuk berlari sambil mengejar sang gadis, tapi kakinya terantuk selang air yang melintang secara tidak sopan dan tubuh besarnya ambruk ke atas tanah dengan mengeluarkan suara berdebam. "Ah, ha--hantu bulu, tolong jangan ganggu saya, tolong … ta-tapi adakah hantu bernama hantu bulu?! Ah, jelek kali nama kau!" umpatnya sambil berusaha berdiri dan melanjutkan keinginannya semula; Lari!
BUGH! Lagi-lagi ia terjungkal karena bertabrakan dengan temannya yang juga berlari menyusul dirinya ke lorong itu.
"Ah, kau! Macam mana kau tabrak-tabrak aku! Hei, mana pula si betina yang banyak hutang itu? Kau lepaskan dia? Aduuh … Bagaimana bisa dapat uang bensinlah kita, Ah, payah kali kau ini!" Teman yang baik hati melihat sisi buruk dari kejadian rekan kerjanya yaitu kehilangan uang bensin.
"Bantulah abang nih berdiri, jangan kek ayam berkokok, belum pernah kau berjumpa hantu bulu rupanya!" seru pria tinggi besar itu.
"Ah, kau! Bangkitlah sendiri. Kau yang nabrak, kau pula yang terjatuh. Habis jumpa hantu rupanya kau!" Sang teman celingukan mencari gadis bertubuh seksi dengan paras pas-pasan.
Gadis yang dicari telah hilang bagai ditelan bumi. Kedua deb col tersebut harus kembali ke kantor dengan tangan hampa, jangankan berhasil membawa cicilan uang pinjaman, bukti bahwa mereka telah bertemu dengan nasabah pun tidak ada.
"Besok kita tongkrongin saja kantornya, pasti kan pada gerah tuh teman-teman sama atasannya, nah ... pasti Puput keluar kan? Gimana? Bagus kan ideku?
"Sepakat!" Bob berlalu dari hadapan temannya sambil mengomel. "Gerah gundulmu, diringkus satpam iya!"
*
Sepasang kaki ramping berlari tergesa-gesa di antara deretan rumah dinas sederhana yang serupa bentuknya. Ia hampir saja melewatkan rumah yang dihuni oleh ayah dan ibunya.
"Eiitt ... duh, kelewat, kelewat," gumam Puput seraya mengerem langkah kakinya dan membalikkan tubuh kemudian berbelok melawati pintu pagar kecil.
Ia menghambur ke dalam rumah yang pintunya terbuka. "Mama ... Papa ...!" teriak puput menerobos masuk dan mengagetkan kedua orang tuanya.
"Puput? Kamu gak kerja? ini baru jam empat kok sudah di sini?" tanya sang ibu.
"Gawat ini Ma, Pa ... gawat!" seru Puput sambil terengah-engah.
"Apanya yang gawat?!" Kini ayahnya yang berseru.
"A--aku butuh uang, Pa. Pinjami uang ...." Puput bersusah payah mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"Ini, minum dulu, Nak. Pelan-pelan bicaranya, ayo duduk sini, tarik napas ...," ujar wanita setengah baya yang menyodorkan gelas berisi air putih ke tangan Puput dan menarik tangannya untuk duduk.
"Ah, tiap datang cuma pinjam uang, pinjam uang saja. Lantas kamu kerja untuk apa? Satu pun pinjamanmu belum ada yang kembali!" Lelaki itu menggerutu dengan kesal.
"Mama pusing sama kamu, Put. Mama selalu ajarin kamu untuk hidup hemat, beli barang hanya yang dibutuhkan saja, bukan seperti ini. Beli barang juta-juta tapi dari ngutang. Konsep apaan kaya begitu?" omel ibunya Puput.
"Lagi pula, papa sudah tidak punya uang lagi. Kamu pikir kita ini orang kaya? Sampai sekarang saja masih tinggal di rumah dinas, sebentar lagi papa pensiun, harus mengumpulkan uang untuk melunasi cicilan rumah, kok malah diambilin sama anaknya yang sudah kerja?" Ayah Puput geleng-geleng kepala.
Gadis itu terdiam, ia tahu tidak akan mendapatkan apa-apa jika memohon kepada orang tuanya yang hanya pegawai negeri biasa saja. "Maaf, Ma ... Pa ...," ujar Puput sambil bangkit lalu melangkah ke arah kamarnya yang sudah lama tidak ia kunjungi. Puput menghempaskan dirinya di atas kasur.
Mengingat kejadian di kantornya yang mendadak heboh saat setiap orang menerima pesan dari salah satu perusahaan finance yang menagih uang pinjaman kepadanya.
"Puput? Saya sudah tidak tahan deh ... kamu yang pinjam duit kok saya yang dikejar-kejar?" ujar salah seorang temannya.
"Iya, aku juga dapat pesan, malah ditelepon loh, kok aku yang dimarah-marahin sih?"
Puput menangkupkan kedua tangannya pada telinga kiri dan kanan. Ia tidak ingin mendengar apa-apa, tapi keramaian orang-orang yang sangat gusar kepadanya terus terdengar di telinga Puput.
"DIAM!" Tiba-tiba saja Puput berteriak kencang, membuat ibunya datang menghampiri kamar Puput dengan tergopoh-gopoh.
""Kamu ngomong sama siapa, Put?" Wanita itu melongokkan kepalanya ke dalam kamar dan melihat putrinya sedang nungging di atas kasur sambil menutup telinga dengan kedua tangannya.
Pok!
Tangan wanita tersebut menepuk b****g Puput dengan cukup keras sambil mengomel, "Apa-apaan sampai nungging-nungging segala? Pantesan tidak dengar kupingnya ditutup begitu."
Puput segera duduk dengan terkejut. "Mama? Ngagetin aja sih, aku kan lagi pusing Ma," ujar Puput setengah merengek.
"Kamu dikejar-kejar deb col lagi? Kali ini utangmu berapa?" tanya sang ibu.
Mendengar pertanyaan dari wanita itu, seketika harapan Puput melambung tinggi, mengira jika ibunya bisa membantu minimal sepuluh persen saja dari total utangnya.
"Aku cuma butuh sepuluh persennya saja sih Ma, dari total utangnya supaya bulan ini aku bisa kerja tenang sampai gajian," sahut Puput seraya menegakkan tubuhnya.
"Sepuluh persennya tuh berapa?" tanya wanita itu sambil memandang wajah putrinya dengan sorot mata putus asa.
"Lima belas juta, Ma ...," sahut Puput menundukkan wajahnya.
"APA?! Utang kamu seratus lima puluh juta?!" teriak histeris ibunya Puput yang mendadak tersengal-sengal sambil memegang dadanya^ yang turun naik dengan cepat.
Puput terkejut melihat ibunya yang megap-megap, ia menghambur dengan gugup dan panik. "Ma ... kenapa Ma? Mama, ke dokter yuk sekarang, ayo Ma, Puput harus gimana?"
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga. Kehadiranmu cuma bikin jantung mamamu kambuh!" hardik sang ayah yang membawa segelas air putih dan obat di tangan kanannya.
Puput mendongak ke arah pria setengah baya tersebut dengan tatapan mata tidak percaya. "Papa usir Puput?" tanya gadis itu ingin meyakinkan pendengarannya.
"Ya, pergilah dan pulanglah tanpa membawa masalah," sahut lelaki itu.
Dengan lemas, tangan puput meraih tas di atas meja lalu keluar dari kamar tersebut. Ia berbalik di depan pintu, ingin meyakinkan bahwa ibunya tidak apa-apa. Sang ayah telah meminumkan obat yang dibawanya dan sang ibu telah terlihat tenang. Puput pun berlalu meninggalkan rumah dinas orang tuanya.
Gadis itu mencegat sebuah angkot yang melewati tempat kos di mana ia tinggal sejak mulai bekerja dua tahun lalu sampai saat ini. Penampilan Puput yang berbeda dari orang kebanyakan menjadi perhatian yang menyenangkan di atas angkot tersebut. Tapi Puput tidak peduli sebab di kepalanya saat itu sedang fokus memikirkan caranya membayar tagihan dan mencegah para deb. Col mengejarnya.
Alangkah kagetnya Puput ketika di pintu kamar kosnya, tergantung kertas dengan tulisan besar dan menggunakan spidol warna hitam.
"BAYAR TUNGGAKAN 2 BULAN!"
wanita muda tersebut menarik kertas yang ditempelkan pada pintu, kemudian membawanya masuk. Ia menghempaskan diri di atas kasur. Baru teringat olehnya bahwa ia sudah dua bulan belum membayar kos.