PART. 7 RESEPSI

1060 Kata
Acara resepsi berlangsung, di hotel tempat Dilla dulu menggelar resepsi pernikahannya dengan David. Kamar yang akan ditempati Sakha, dan Shinta untuk bermalam pertamapun, kamar yang sama dengan kamar Dilla, dan David dulu. Acara resepsi berlangsung dengan kemeriahan, dan kemewahan yang luar biasa. Para tamu berdecak kagum dengan segala hal yang ada di resepsi pernikahan mereka. Dari dekorasi ruangan, kue pengantin, hidangan, pelaminan, sampai gaun pengantin, dan penyanyi, serta MC yang memeriahkan acara, semuanya terlihat menunjukan betapa mewah acara tersebut. Dilla menemani Shinta masuk ke kamar tempat mereka menginap. "Di sini dulu, Pipi, sama Mimi bermalam pertama, tapi kalian tidak bermalam pertama lagi, tadi siang sudahkan? Berapa ronde tadi siang?" "Mimi, kita nggak ...." "Nggak apa? Mau bilang nggak ngapa-ngapain?" "Iissh, Mimi." Shinta menekuk wajahnya kesal. Safira datang bersama Sakha. "Kamu beruntung bermalam pertama di hotel mewah, dulu Ayah, dan Bunda, malam pertamanya cuma di rumah," ujar Safira. "Hisss, mereka sudah tidak bermalam pertama lagi, tadi siang sudah ... ehmm nggak tahu deh berapa ronde," bisik Dilla. "Haah, yang benar Dek, Dilla!" "Iya, Kak, aku sendiri yang memergoki mereka." "Mimiii!" Seru Shinta kesal, wajahnya merah padam karena malu. Sakha terlihat santai saja, duduk di tepi ranjang super besar yang ada di sana. "Ranjangnya kebesaran nih," gumamnya. "Kan enak besar, Bang, biar lega," sahut Safira. "Enak yang kecil dong, Bun, biar tidurnya bisa dempetan," jawab Sakha, seraya mengedipkan sebelah matanya pada Shinta. Shinta membalas kedipan Sakha dengan seringai sinisnya. "Ya ampun, Bang, jangan bikin malu aah, belum apa-apa omesmu sudah ke luar." Safira mencubit Sakha. "Aduuh, nggak apakan punya menantu omes, Mi, biar seimbang, turunan omes dapatnya yang omes juga," ujar Sakha pada Dilla. Dilla tertawa mendengar ucapan Sakha. "Semoga keomesan kalian berdua, bisa membuat kami punya cucu yang banyak," sahut Dilla. "Iisshhh, Mimi, apa sih!?" rajuk Shinta kesal. "Eeh benar dong, sebagai orang tua, harapan kita pasti punya cucu saat menikahkan anak-anaknya, iyakan, Kak?" "Iya, Dek Dilla, apa lagi ini akan jadi cucu pertama bagi Mimi Pipimu, Shinta." "Ehmm ... Bunda, dan Mimi, kalau di sini kelamaan, proses pembuatan cucunya jadi tertunda nih," gumam Sakha, seakan pada dirinya sendiri. "Abaang!" Tegur Safira. "Sakha benar, Kak, kita pulang saja, biarkan mereka memulai proses membuat cucu untuk kita. Shinta, Sakha, Mimi, Pipi pulang dulu ya. Sakha, kalau Shinta bandel, bilang saja sama Mimi ya." "Siap, Mi!" "Bunda, dan Ayah juga mau pulang, Abang baik-baik ya, jangan terlalu jahil, Bang. Shinta, kalau Sakha jahilin kamu, bilang sama Bunda ya." "Iya, Bun." Dilla memeluk Shinta dengan erat, dan mata berkaca-kaca. "Kamu bukan lagi Shinta kecil Mimi, sekarang kamu sudah jadi seorang istri. Baik-baik sama suamimu ya, kontrol emosimu, jangan cepat marah. Cup ... Mimi sayang Shinta." Dilla mengecup kening putrinya. Shinta menangis dalam pelukan Dilla. "Shinta juga sayang Mimi." "Mimi pulang ya, assalamuallaikum." Dilla melepaskan pelukan putrinya. "Waalaikum salam." Dengan berat hati, Shinta melepaskan kepulangan Miminya. Safira juga tampak memeluk Sakha. "Jadilah suami yang membuat nyaman rumahnya, bagi istri, dan anak-anakmu, Bang. Shinta sudah jadi tanggung jawabmu sekarang, berhenti bermain- main, dan gonta ganti pasangan. Bunda yakin, kamu pasti bisa sebaik, sesabar, dan sebijaksana Ayahmu." "Iya, Bun." "Bunda, dan Ayah pulang ya, assalamuallaikum." Safira mengecup pipi putranya. "Waalaikum salam." Sakha mengecup jemari Bundanya. Kemudian David, dan Safiq masuk, mereka juga memberi wejangan yang hampir sama pada anak-anak mereka. -- Setelah menutup pintu kamar. Sakha membanting tubuhnya di atas kasur. "Huuh capeknya!" "Iih lo jorok banget sih, mandi dulu sana, baru tidur!" "Ehmm perlu bantuan melepaskan gaunmu?" Sakha bangun dari berbaringnya. "Tidak perlu, gue bisa sendiri!" Sahut Shinta ketus. "Yakiiinn!?" Goda Sakha. Shinta tidak menjawab ucapan Sakha. Ia berusaha menggapai restleting gaun pengantinnya, tapi tidak bisa. Sakha tertawa melihatnya, ia berdiri dari duduknya. "Sini, makanya jangan sok jual mahal jadi orang, Churut judes!" "Gue bisa sendiri!" Shinta kukuh tidak ingin menerima bantuan Sakha. "Kalau bisa, dari tadi sudah lepas nih baju, sini biar aku yang buka." Sakha memutar tubuh Shinta menghadap ke cermin di depannya. Perlahan diturunkan restleting gaun Shinta. Shinta menahan gaun itu agar jangan jatuh di kakinya. "Sudah, biar gue lepas sendiri, lo balik badan sana! Awas ngintip!" "Ya ampun, tadi siang aku sudah melihat semuanya loh, masih samakan bentuk badanmu dengan yang tadi siang, atau kalau malam ke luar buntut di atas pantatmu, oh iya churutkan punya buntut" Sakha tergelak dengan nyaringnya. Shinta memukul Sakha dengan perasaan kesal luar biasa. "Iiisshhh lo ngeselin banget ya, gue laporin Bunda, baru tahu rasa!" "Uuuh ... tukang ngadu ternyata, aku pikir sudah dewasa, masih childish ternyata, ck ... ck ... ck ...." Sakha menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berdecak mencemooh Shinta. "Lo merasa sudah dewasa eeh, kelakuan lo juga persis anak-anak, kerjaannya jahilin orang terus!" "Oww, beda dong jahilnya aku, sama jahilnya anak-anak, kalau jahil ala pria dewasa begini!" Sakha memeluk Shinta dengan erat. Dihujaninya dengan ciuman bahu Shinta yang terbuka. Shinta tidak bisa bergerak, karena kedua tangannya yang menahan gaun, agar tidak jatuh, terjepit di antara tubuhnya dengan tubuh Sakha. "Iih lo gila! m***m! Lepaskan!" "Lepaskan!? Ooh dengan senang hati!" Sakha meraih tangan Shinta yang menahan gaunnya, otomatis gaunnya melorot, dan jatuh di bawah kakinya. "Sudah aku lepaskan gaunmu!" "Iiih lo gila! Lo ... lo ... Mimi!" Shinta masih berusaha lepas dari pelukan Sakha. Rasa kesal membuat air matanya berjatuhan dipipinya. "Haahh, sudahlah, aku capek, mau mandi, sudah jangan nangis, sayang airmata dibuang-buang, simpan air matamu untuk saat-saat melepas keperawananmu nanti, eeh kamu masih perawankan?" Sakha menghapus air mata Shinta. "Kurang ajar!" Shinta menepiskan tangan Sakha dengan kasar. "Sama suami tidak boleh kasar, Chinta, dosa!" "Suaminya model lo, pantas untuk dikasarin!" "Nanti saja main kasarnya, kalau sudah di atas ranjang, aku pasrah deh kalau kamu main kasar." Sakha menjawil dagu Shinta dengan ujung jarinya. "Gue nggak mau tidur satu ranjang sama lo!" "Terus kamu mau tidur satu ranjang sama siapa? Sama Security hotel?" "Iiih, lo ... lo ... uuuhhh!" Shinta memukuli Sakha dengan kedua tangannya. Sakha kembali memeluknya. "Sudah jangan marah, sekarang masuk kamar mandi sana, sebelum aku tergiur untuk melemparmu ke tempat tidur." Sakha melepaskan pelukannya, Shinta langsung berbalik ingin masuk ke dalam kamar mandi, tapi kakinya terbelit gaun pengantin yang teronggok di bawah kakinya. Sigap Sakha meraih Shinta agar tidak terjatuh. "Hati-hati kalau jalan, cepat masuk kamar mandi!" Sakha memukul p****t Shinta pelan. "Dasar, Chakar ayam!" "Churut judes, kalau masih di sini aku lempar kamu ke tempat tidur!" Ancam Sakha. Cepat Shinta masuk ke dalam kamar mandi, hatinya luar biasa kesal terhadap Sakha. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN