Bina menatap takjub melihat seberapa besar rumah orangtua Miko. Jauh lebih besar dari rumah milih ayah dan ibu tirinya dulu. Tapi wajar mengingat seberapa besar perusahaan Miko sekarang.
“Bantuin lo! Diem aja dari tadi.” Ucap Miko ketus. Bina mengatupkan bibirnya dan mulai membantu mengeluarkan belanjaan.
“Binaaaa nggak usah biarin Miko aja. Sini kamu masuk dulu sini!” Ajak Yuli.
“Tap-tapi tadi di suruh sam—”
“Apa lo?” Desis Miko dengan wajah masam. Bina kembali mengatupkan bibirnya dan menunduk. Tidak jadi mengatakan Miko yang menyuruhnya.
“Udah abaikan aja manusia batu itu, biarin dia kerja. Ayo masuk dulu sebentar!” Yuli kembali mengajak dan Bina mengikuti Yuli dengan sedikit tidak enak. Apalagi melihat tatapan Miko yang seperti ingin membunuhnya itu. Bina tidak membayangkan bagaimana nasibnya jika nanti bekerja bersama Miko.
“Loh ini pak Haryo?” Ucap Bina begitu masuk ke dalam rumah itu dan melihat foto salah satu dosennya dulu.
“Iya, katanya dulu kamu mahasiswanya suami ibu yah?” Balas Yuli antusias. Bina tersenyum sambil mengangguk. Tepat ketika Miko masuk dan melihat senyuman manis itu. Yuli melirik sedikit dan melihat Miko terlihat menatap lebih lama pada senyum Bina membuat Yuli gemas karena putranya itu berusaha untuk untuk mempertahankan ekspresi juteknya itu walaupun Yuli tahu ada sedikit ketertarikan. Yuli akui bahwa senyuman Bina adalah daya tarik tersendiri. Yuli juga kaget waktu pertama melihatnya tadi, cantik sekali.
“Miko wajahnya loh! Jangan kaya gitu.” Yuli memperingatkan tapi Miko diam saja sambil melengos ke dapur menaruh belanjaan.
“Sini Bina duduk dulu, ibu buatin minum yah?” Ucap Yuli tidak menunggu persetujuan Bina. Yuli langsung menuju dapur membuat Bina minum dan membawanya dengan senyum lebar.
“Maaf yah Buk, Bina ngerepotin.” Ucap Bina tidak enak.
“Udah tahu ngerepotin masih aja ikut.” Miko menyeletuk dari arah dapur.
“Miko!” Yuli berteriak kesal. Tapi Miko tidak peduli dan masih terus melanjutkan pekerjaanya memindahkan belanjaan ke dalam kulkas. “Kamu tuh nggak ada sopan-sopannya! Siapa yang ngajarin! Bina ikut bunda yang ngajak!” Yuli mengomel. Membuat Bina tidak enak sampai dalam tahap ingin menangis karena sikap Miko yang sangat tidak ramah padanya itu.
“Diminum Bina, makasih yah udah mau di REPOTIN sama bunda buat nemenin belanja.” Ucap yuli sambil menekankan kata merepotkan supaya di dengar Miko. Yuli kesal karena mulut putranya jahat sekali pada Bina. Padahal wanita ini baik. Yuli sampai tidak tega melihat Bina terlihat mau menangis gara-gara ucapan Miko tadi.
“Nggak papa kok buk, lagian Bina nggak sibuk.” Balas Bina pelan. Tiba-tiba duduknya sudah tidak nyaman lagi. Bina ingin pulang dan segera menghilang dari sekitar Miko. Dia takut pada ucapan Miko yang menusuk itu. Bina memang bersalah karena menimbulkan kesalahpahaman sebelumnya, Bina merasa wajar jika Miko marah sebab Bina juga belum meminta maaf dengan benar. Tapi tetap saja, baginya ucapan Miko terasa begitu menyakitkan.
“Mikooo! Sini duduk! Bunda mau bicara!” Panggil Yuli. Miko datang dengan langkah malas dan tatapannya kembali menusuk dia layangkan ke arah Bina yang langsung menunduk takut.
“Apa sih Bun?” Desahnya malas.
“Waktu itu Bina datang ke kantor mau wawancara, tapi gara-gara kamu dia gagal. Karena itu bunda minta kamu kasih satu kesempatan lagi!” Ucap Yuli. Bina masih menunduk tidak enak.
“Enak aja gara-gara Miko! Dia yang tiba-tiba masuk ruangan Miko pakai baju seksi.” Miko tidak terima. Yuli melotot. “Nggak ada kesempatan kedua, enak aja! Banyak yang mau kerja di tempat Miko. Emangnya dia siapa.” Tambah laki-laki itu ketus. Bina semakin menunduk dan sejujurnya Miko sedikit merasa bersalah karena sekejam tadi. gasid itu terlihat akan menangis, sepertinya dia jenis manusia yang cengeng seperti Nana.
“Miko!” Yuli memperingatkan. “Jelas salah kamu dong, Bina salah ruangan kan gara-gara kamu nggak becus ngajarin resepsionis kamu itu. Yang salah ya kamu lah!” Yuli membela Bina.
“Bisa apa lo? Apa yang bisa lo tawarkan buat perusahaan gue?” Miko bertanya pada Bina untuk sedikit menebus rasa bersalahnya. Sekalipun nadanya masih ketus. Tapi Yuli tahu, jika Miko tidak bersikeras melawan argumen Yuli, itu artinya laki-laki ini sedikit luluh. Diam-diam Yuli tersenyum.
Bina kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Miko takut-takut. Entah kenapa Miko jadi lebih merasa bersalah melihat mata gadis itu memerah.
“Sebelumnya saya pernah bekerja di sebuah redaksi besar sebagai editor, dan perusahaan bapak kebetulan menawarkan posisi itu jadi saya rasa, saya bisa mengemban tugas itu dengan baik.” Ucap Bina tegas. Dahi Miko mengkerut, dia pikir Bina akan terbata menjawab pertanyaanya. Tapi rupanya gadis ini bisa tegas juga. Sejujurnya Bobi sudah memberitahu Miko bahwa Bina lumayan. Bahasa inggrinya juga bagus, pengalaman kerjanya bagus. Dan sekarang Miko juga membuktikan sendiri bahwa sikap Bina juga lumayan padahal dia pikir gadis ini akan lemah dan sikap lemah tidak cocok dengan perusahaan Miko.
“Datang lagi senin depan ke ruangan saya, jangan pakai baju seksi!” Putus Miko membuat Yuli tersenyum puas. Miko tidak mudah luluh sekalipun itu permintaan orang-orang terdekatnya. Apalagi jika mengenai perusahaan. Melihat semudah ini meyakinkan Miko tentang Bina, Yuli memiliki keyakinan bahwa Miko bisa melihat potensi yang bagus dari Bina. Yuli juga sedikit berharap mungkin kedepannya Miko bisa melihat potensi lain. Misalnya potensi untuk mencintai gadis menggemaskan itu di kemudian hari. Yuli tersenyum sendiri membayangkan hubungan manis antara Miko dan Bina bisa seperti manisnya hubungan Nana dan Raven kelak. Bolehkan kalau dia bermimpi dulu? Lagipula Laras yang di harapkannya juga membingungkan.
“Terimakasih pak!” Bina terlihat senang dan tersenyum lebar ke arah Miko sambil mengangguk sopan. Membuat Yuli mengulum senyum karena lagi-lagi menangkap Miko sedikit terusik dengan senyuman manis Bina sekalipun anaknya yang keras kepala itu langsung melengoskan wajahnya dengan tidak ramah.
Setelah itu Miko meninggalkan mereka dan Yuli kembali mengajak bicara sebentar. Tidak lama kemudian Miko keluar dengan lebih segar. Sepertinya dia habis mandi, pakaiannya juga sudah berganti menjadi lebih santai. Tapi sayangnya Yuli tidak menemukan Bina terlihat mencuri pandang padahal putranya sudah setampan itu. Mungkin Yuli memang masih harus bersabar. Sepertinya Bina bukan jenis wanita yang mudah silau oleh harta atau ketampanan seseorang. Itu juga menjadi nilai tambah tersendiri di hati Yuli.
“Mik, anterin Bina pulang!” Ucap Yuli. Miko tidak menoleh dan tidak menjawab. Sambil melanjutkan gerakannya meneguk air putih dari gelas. Setelah itu Miko melangkah ke meja mengambil kunci mobilnya dan berjalan tanpa bicara. Bina masih duduk di tempatnya padahal Miko sudah hampir sampai pintu membuat laki-laki itu menoleh.
“Ayok katanya pulang! Malah bengong.” Ucap laki-laki itu ketus. Bina langsung berdiri dengan tidak enak. Sementara Yuli mendengus kesal. Putranya itu terlalu kaku, menyebalkan, dan memancing emosi. Bagaimana dia akan mendapat jodoh jika kelakuannya tetap seperti itu? Yuli tidak habis pikir.
“Bina pulang yah ibu, terimakasih banyak atas bantuannya. Bina hutang banyak sama ibu, kapanpun ibu butuh di temani Ibu bisa hubungi Bina.” Ucap Bina tulus. Bagaimanapun kesempatan kedua wawancara di perusahaan Miko tidak akan bisa Bina dapatkan tanpa bantuan Yuli. Karena itu Bina merasa bersyukur sekali.
“Iya sayang, ibu yang terimakasih kamu hari ini nemenin ibu.” Balas Yuli tulus. “Yang sabar yah sama anak ibu, dia emang kaya gitu!” Ucap Yuli terdengar oleh Miko.
“Buruan mau pulang gak? Panas nih!” Ujar Miko kesal. Yuli lagi-lagi mendengus melihat sikap menyebalkan putranya itu.
“Bina pulang ibu.” Bina melambai setelah menyalami Yuli dengan sopan kemudian mengikuti langkah Miko menuju mobil.
“Duduk di depan! Enak aja! Emang gue supir lo?” Ucap Miko ketus ketika Bina hendak duduk di kursi belakang. Padahal Bina pikir Miko tidak nyaman jika dia terlalu dekat. Yuli mengulum senyum, entah kenapa mereka berdua menggemaskan. Miko yang ketus bersama Bina yang cenderung penurut dan polos dimata Yuli terlihat lebih cocok dibanding ketika dia melihat Miko bersama Laras yang pemberani dan agresif.
“Iya pak maaf.” Cicit Bina lalu membuka pintu depan dan duduk di bangku penumpang.
“Seat belt!” Ucap Miko singkat. Bina langsung buru-buru memakai sabuk pengaman dan setelah itu mobil Miko melaju. Suasana di dalam mobil terasa mencekam untuk Bina. Dia bahkan tidak berani menoleh ke arah Miko setelah mengatakan alamatnya tadi. Bina terus menunduk atau sesekali menoleh ke arah luar jendela. Memandang suasana jalanan yang lumayan macet lebih baik daripada menatap wajah dingin Miko yang menakutkan.
“Ngomong apa lo sama bunda gue sampai dia bantuin lo wawancara lagi?” Miko membuka pembicaraan di tengah kemacetan. Bina meremas tangannya sendiri. Ini yang dia takutkan! Bina takut Miko berpikir dia mempengaruhi Yuli untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan Miko.
“Nggak bilang apapun pak sumpah! Kalau memang bapak tidak berkenan juga tidak masalah pak. Nanti aku akan bilang ke ibu udah dapat kerjaan baru. Lagipula tadi aku juga udah naruh lamaran di toko buku.” Ucap Bina tidak enak. Miko melirik ke arah gadis itu dan tidak bicara lagi membuat Bina bingung. Dia belum terbiasa dengan sikap Miko seperti Bobi sehingga dia kesulitan mengartikan kediaman Miko. “Jadi senin saya tidak usah datang pak?” Bina memperjelas.
“Datang aja ketemu burhan dulu! Jangan salah lantai lagi dan jangan pakai rok seksi lagi!” Jawab Miko dan Bina mengangguk. Sedikit bingung dengan sikap Miko tapi Bina enggan untuk bertanya lebih jauh. Miko sepertinya bukan orang yang suka berbicara.
“Soal yang di Horiison terimakasih banyak pak udah nolongin saya. Suatu hari nanti pasti saya balas.” Ucap Bina tulus. “Dan saya minta maaf sudah menimbulkan kesalahpahaman sebelumnya.” Tambah Bina lagi. Miko menoleh.
“Lagian waktu itu kenapa lo nangis sih? Kan tinggal bilang aja sama Bunda kalau lo salah masuk ruangan. Beres! Malah nangis! Dikira gue apa-apain lo!” Rupanya Miko masih jengkel perihal kesalahpahaman di kantor itu. Bina maklum.
“Saya kaget dan takut karena bapak gak pakai baju jadi saya nangis.” Cicit Bina pelan. Setelah itu Bina bisa mendengar Miko mendengus.
“Emangnya gue mau apain lo sih? Kaya gitu aja nangis. Cengeng!” Miko malah mencibir. Padahal biasanya dia akan memilih diam. Tidak suka bicara tidak penting apalagi mencibir. Tapi entahlah, beberapa hari ini gadis di sampingnya itu selalu membuatnya lepas kendali. Miko juga sebenarnya merasa bersalah karena saat itu Bina menangis dengan terlihat begitu ketakutan. Padahal Miko niatanya tidak sampai seperti itu.
“Maaf pak! Maaf.” Bina tidak enak.
“Rumah lo yang mana?” Miko bertanya karena mereka sudah sampai di gank tempat kos Bina.
“Saya turun di sini aja deh pak, udah deket kok. Makasih banyak yah udah dianterin.” Ucap Bina kemudian sedikit kesulitan melepas seat beltnya. Miko membantunya sehingga tidak sengaja tangan mereka bersentuhan. Wajah Bina memerah entah kenapa dan itu terlihat oleh Miko. Tapi laki-laki itu berusaha untuk mempertahankan ekspresi juteknya sekalipun sebenarnya dimatanya Bina mulai mengusiknya. Pertama karena rok seksi yang memperlihatkan paha putihnya di kantor waktu itu, kedua karena bibir mereka tidak sengaja bersentuhan dan jujur saja bayangan tentang kedua hal itu selalu berhasil membangunkan sesuatu di balik celana Miko setiap malam. Tapi laki-laki itu tidak mau mengakui bahwa Bina mulai menarik. Miko masih tetap pada pendiriannya bahwa perempuan selalu merepotkan kecuali Nana. Karena ibunya juga merepotkan, dan Laras apalagi.
“Terimakasih banyak pak!” Ucap Bina sambil mengangguk sopan ketika sudah turun dari mobil Miko. Miko tidak menjawab dan tanpa ekspresi, melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan Bina.
Bina tersenyum sambil berjalan menuju tempat kosnya, merasa lega karena mendapatkan kesempatan kedua untuk wawancara. Tidak menyangka bahwa Miko ternyata lumayan baik sekalipun sikapnya menyebalkan.
Tapi langkah Bina berhenti melihat siapa yang sudah menunggunya di depan gang!
“Kamu berpikir bisa lari? Kemanapun kamu pergi saya akan menemukannya Bina! Dasar jalang sialan!” Ucap perempuan paling Bina benci di alam semest—ibu tirinya—Arumi.
“Bina salah apa sih buk? Bina nggak akan ganggu ibu dan ayah lagi. Tolong biarin Bina hidup tenang.” Bina memohon.
“Hidup tenang setelag ibu kamu menggoda suamiku dan melahirkan anak haram sepertimu? Tidak akan pernah! Karena perempuan penggoda itu sudah mati, itu artinya kamu yang harus menggantikannya meneria semua akibatnya.” Ucap Arumi sambil tersenyum miring. Tangan Bina mulai gemetar. Dia tidak pernah meminta di lahirkan oleh keadaan yang salah. Lalu kenapa dia yang di salahkan? “Tangkap dia!” Arumi memerintahkan pada dua orang berbadan besar dan tegap yang di bawanya itu. Bina langsung lari menghindari orang itu tapi tangannya berhasil di cekal.
“Lepas! Lepasinn! Tolong!” Bina berteriak tapi gang itu cukup sepi karena orang-orang masih bekerja belum pulang. Tangan Bina kembali kesakitan, bekas luka kemarin masih ada dan sekarang di tambah lagi dengan cekalan keras. Bolehkah Bina berharap Miko belum pergi dan kembali menolongnya? Entah kenapa Bina mulai melihat bahwa Miko adalah salah satu harapannya untuk menolongnya dari kekejaman ibu tirinya ini.
“Tidak akan ada yang menolong kamu Bina! Bawa dia dan jual! Aku mau setoran uang setiap kali dia melayani para laki-laki hidung belang.” Ucap Arumi sambil tertawa lantang. Bina mulai ketakutan, dia tidak mau menjadi perempuan seperti itu. Dia tidak mau! Bina ketakutan dan terus memberontak. Wajahnya di pukul oleh salah satu dari dua laki-laki yang menangkapnya karena Bin terus memberontak. Rasa panas dan perih menjalar ke seluruh wajahnya. Bekas pukulan itu memerah dan Bina sudah menangis ketika sebuah tendangan membuat salah satu dari dua suruhan Arumi terjerembab. Mata Bina samar-samar melihat sosok Miko berdiri dan berjalan mendekat.
“Lepasin dia!” Ucapan dengan nada dingin itu terdengar begitu indah di telinga Bina. Gadis itu menangis. Miko datang lagi dan menyelamatkannya. Semoga ini bukan mimpi!
***