Chapter 3

1967 Kata
"Terima kasih, Mr. Rolland Thomson atas kerja sama nya." ujar Rion menjabat tangan seorang laki-laki berambut putih dan berkaca mata. Rolland Thomson mengangguk, "Senang bekerja sama dangan anda Mr. Arion Gandhi, dan Mr. Fabian Valeryan" "Keren, kita dapet inverstor kelas kakap." Bisik Fabian ketika Rolland Thomson pergi bersama dengan anak buahnya. Rion tersenyum puas dengan hasil yang sudah berada di tangannya. "Kita masih punya waktu tiga hari sebelum pulang. Jadi nikmati waktu mu selagi kita masih disini." Ujar Rion. *** Ketika jam sudah menunjukkan waktu sore hari, Davi masih berkutat di meja nya dengan sejilid naskah yang masih ia geluti. Sebagian konsentrasinya terpecah. Ia masih memikirkan Bastian yang belum juga menghubungi nya. Sudah dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir mereka. Davi juga sudah mencoba untuk menghubungi Bastian namun tidak berhasil. Ketika menghubungi ponsel nya ia selalu tersambung ke mailbox. Ketika menelepon ke kantor, receptionist selalu bilang kalau Bastian sedang sibuk dan tidak bisa di ganggu. Apakah dirinya salah? Davi menghembuskan napas panjang. Ia sudah tidak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. "Hei kau kenapa?" Senna nongol dari balik kubikel. "Aku hanya sedang menunggu telepon dari Bastian," Ujar Davi. "Kenapa harus menunggu? Kau saja yang menghubungi duluan," "Sudah, tapi tidak diangkat." "Apa kau sedang ada masalah dengan nya Dav?" Davi menggeleng. Senna pun paham dengan karakter Davi yang memang agak sedikit introvert. "Sebaiknya kau datangi saja Sebastian. Kau terlihat kusut kalau sedang uring-uringan seperti ini." Senna mengusulkan. Davi mendongak lalu mata nya berbinar, "Kenapa aku tidak kepikiran ya." "Karena kau terlalu egois menunggu dia yang menghubungi duluan. Sudah rapihkan meja mu dan siap berangkat menemuinya." Tanpa menunggu lama lagi Davi langsung bergegas dan meninggalkan Senna. "Thankyou Senna.." Davi sempat mengecup pipi Senna sebelum akhirnya benar-benar pergi. *** Setengah jam kemudian, Davi sudah berada di dalam lift menuju ruangan Sebastian berada. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah jam setengah tujuh malam, suasana kantor memang sudah sepi hanya ada beberapa karyawan yang masih betah berada didalam meja nya ditemani dengan lampu meja. Davi melintasi koridor berjalan menuju ruangan yang terletak di ujung ruangan berpintu kayu mahoni. Sekali lagi Davi melihat paperbag yang berisi spageti kesukaan Bastian. Davi membuka pintu lalu matanya terbelalak melihat pemandangan yang tepat berada didepannya sekarang. "What the hell are you doing, Sebastian?" Teriak Davi. Di depan nya kini, Sebastian dengan seorang wanita berambut pirang sedang berciuman panas. Baju wanita itu sudah berantakan dan rok sepan nya sudah terangkat hingga ke perut. Mendengar teriakan Davi, sontak Sebastian menghentikan aktifitasnya dan kaget melihat Davi kini tengah berada di hadapan nya dengan tatapan marah. Wanita berambut pirang itu juga langsung melepaskan diri dari dekapan Sebastian lalu merapihkan kembali bajunya dan keluar dengan tertunduk malu. "Davi, sedang apa kau disini?" Bastian tergagap. "Apa yang kau lakukan dengan wanita itu? Siapa dia?" Mata Davi berkilat marah. Ia menatap Bastian dengan tajam. "Dia, dia sekertaris baru ku. Maafkah aku Davi." Sebastian menggenggam tangan Davi tetapi Davi nya menepisnya. "Sudahlah Bas, aku tau kau sebenarnya kau tidak bisa terikat. Jadi aku akan menyudahi hubungan kita." Ucap Davi lirih. "Davi, tolong dengarkan aku dulu. Aku bahkan baru sekali berhubungan dengannya. Aku tidak tau kenapa, aku merasa aku benar-benar sangat ingin..." Bastian menggiggit bibirnya Davi menggeleng. "Semuanya sudah jelas, Bas. Kau tidak bisa terikat sedangkan aku menuntut mu untuk terikat dengan ku. Tujuan kita tidak sama." Davi menaruh paper bag diatas meja nya lalu bergegas pergi meninggalkan Sebastian. "Apa kau segitu kolot nya hingga kau mempertahankan prinsip mu itu di sini?" Disini! Mata Davi berkilat tidak percaya. "Aku terlahir sebagai orang timur, bukan barat yang bisa melakukan hubungan tanpa ada ikatan pernikahan. Meskipun aku sekarang berada di luar Indonesia, aku tidak pernah lupa tentang pelajaran moral yang sudah di tanamkan pada diriku sejak kecil." Davi berbalik dan melangkah pergi. Sebastian masih memanggil-manggil nama nya namun Davi tidak mengubris. ia sudah memasuki lift dan memencet tombol. Setelah itu air mata pun mengalir deras membasahi pipi nya. *** Esok hari nya, Davi mengurung dirinya di kamar. Setelah Dave pergi ia kembali menangis meraung didalam kamarnya. Ia begitu menyayangi Sebastian. Selama lima tahun terakhir bukanlah waktu yang singkat dan sudah banyak sekali kenangan bersama nya yang tak bisa ia lupakan begitu saja. Satu hal yang tak bisa ia terima adalah Bastian tidak menghargai keputusan nya, ia tidak menghargai komitmen yang ia buat dan sudah mereka sepakati dari awal mereka berpacaran. Senna sudah beberapa kali menghubungi nya, namun Davi tidak mengubrisnya. Sekarang ini yang ia butuhkan adalah sendiri. *** Suara ketukan pintu harus membangunkan Davi dari tidurnya, ia masih meringkuk di atas kasur kemudian melihat jam yang berada di nakas samping tempat tidurnya. Apakah itu Dave yang membunyikan bell? Davi mengernyitkan keningnya heran. Kemudian Davi bangkit dan berjalan ke luar dari kamar nya. Davi sempat melihat pantulan dirinya di cermin, mata nya masih bengkak. Tak mungkin ia harus bertemu dengan Dave dengan keadaan seperti ini. Ia berbelok ke toilet dan membasuh wajahnya sebelum membukakan pintu. "Dave, sudah ku bilang berkali-kali kalau jangan mengetuk pintu kalau kau sudah tau nomor pin nya." Ketika Davi membuka pintu, yang ia lihat bukanlah Dave. Melainkan sosok yang ingin ia hindari sejak kemarin. "Sebastian? Untuk apa kau kesini?" Davi terkejut dengan kedatangan Sebastian. "Ada yang ingin ku katakan padamu, Davi." Suaranya terdengar parau. "Mau bicara apa lagi? Aku sudah tidak mau mendengar penjelasan mu lagi." Davi ingin menutup pintu lalu kemudian niatnya di halangi oleh Bastian yang mengganjal pintu dengan kaki nya. "Sebentar saja, Davi. ku mohon." "Tidak, aku tidak mau. Atau besok saja kau kemari lagi atau kita bisa ketemuan di luar." Davi benar-benar ketakutan. Tapi Sebastian masih bersihkeras dan kaki nya masih belum menahan pintu untuk tertutup. Davi sekuat tenaga menahan Bastian untuk memasuki apartment nya namun kekuatan Bastian jauh lebih besar dari dirinya. Hingga akhirnya Bastian berhasil membuka lebar pintu dan Davi terjatuh karena dorongan Bastian. "Sekali lagi ku katakan, pergi dari sini atau aku akan panggil security untuk mengusirmu!" "Tidak, jangan! Aku hanya ingin kau mendengarkan ku dulu." "Aku tidak mau mendengarkan apa-apa dari mu, Bas." Sebastian pun maju lalu memegang tangan Davi begitu eratnya sehingga Davi meringis kesakitan. "Kenapa kau begitu keras kepala? Aku hanya minta untuk mendengarkan ku sebentar aja." Tiba-tiba saja, Senna nongol dari balik pintu dan ia terkejut begitu melihat ada Sebastian dan Davi yang sedang bersitegang di dalam apartemen nya. ia melihat Davi menahan kesakitan karena Sebastian mengenggam tangannya begitu erat. "Bastian, lepaskan tangan mu sekarang juga." Senna mengeplak kepala Bastian hingga ia melepaskan tangannya dari Davi. "Gak usah ikut campur Senna, ini urusan ku dengan Davi." Sebastian menggertak. "Enggak, kita udah gak ada urusan apa-apa lagi. Senna tolong bantu aku untuk mengusir dia dari sini." "Lihat kan? Kau mau pulang sendiri atau aku bantu kau untuk keluar dari sini sekarang juga?" Bastian menatap Davi dengan tegas, "Ok, aku akan pergi tapi kau harus bersiap jika aku datang menemui mu lagi. Aku akan kembali kesini!" setelah itu Bastian melangkah keluar dari apartemen Davi. Davi menghembuskan napas lega dan ia merebahkan dirinya di sofa. Memijat keningnya yang terasa pening. Senna mengikuti Davi duduk disebelahnya. "Ada apa sebenarnya Dav? Kemarin setelah kau menemui Bastian kau tidak bisa dihubungi, hari ini pun kau tidak ada kabar?" ujar Senna perhatian. Davi kembali menghembuskan napas, "Ceritanya panjang, Kemarin aku memergoki Bastian sedang b******u dengan seorang wanita yang ternyata adalah sekertarisnya sendiri." Mata Senna terbelalak, "What???!!" *** Hingar bingar dentuman musik membuat semua pengunjung meliuk-liukan badannya. Cahaya remang-remang dan penuh dengan asap rokok itu menjadi tempat favorit sebagian orang untuk melepaskan penat. Senna menarik tangan Davi menuju meja bartender. "Kenapa kita harus kesini?" tanya Davi enggan. "Aku mengajak mu untuk mengajari mu bergaul. kau harus melihat dunia luar. Jangan khawatir aku akan menjaga mu." Davi mengangguk, ia tidak tahu harus berbuat apa ditempat seperti ini karena ini adalah kali pertama Davi menginjakan kaki nya di sebuah klub. Senna memesan dua minuman yang berwarna seperti teh. Davi meminum nya, namun ia meringis karena rasanya begitu aneh di lidahnya, tapi Dav meneguknya hingga habis. *** Rion duduk disebuah bangku disudut ruangan. Ia tampak sendiri menikmati hingar bingar klub yang ia kunjungi malam ini. Tadinya ia bersama dengan Fabian, namun beberapa menit berlalu ia sudah menghilang dengan seorang perempuan berambut merah. Ia memerhatikan sekitarnya, ada seorang wanita berambut hitam sedang duduk di meja bartender seorang diri. ia tampak sudah mabuk. Lalu ada seorang pria berambut pirang datang menghampirinya dan merangkulnya. Wanita itu menepis lalu menamparnya. Pria yang ditampar tampak tidak terima dengan perlakuan gadis itu, ia lalu menarik tangannya namun masih ada penolakan dari nya. Naluri Rion menuntunnya untuk menghampiri mereka. "Maaf apa yang kau lakukan dengan tunangan ku?" Pria berambut pirang itu tampak terkejut dengan kedatangan Rion. "Dia tunangan mu?" "Iya dia tunangan ku," Rion merangkul gadis itu kedalam dekapannya dan pria rambut pirang itupun segera berlalu. Rion memandangi wajah gadis berambut hitam itu dengan seksama sekarang. Keningnya berkerut. Apakah ia orang asia? Tanyanya didalam hati. "Hei, kau sendirian?" Rion bertanya. Gadis itu menolah dan kemudian menggeleng. "Aku bersama dengan teman ku tadi tapi sekarang aku tidak tau dia dimana." Ucap gadis itu. "Mau ku temani?" tanya Rion sopan. "Mau apa kau? Aku bukan orang yang akan gampang kau ajak make out. Aku masih perawan kau tau? pacar ku saja tak ku berikan, apalagi dengan mu pria asing." Ujarnya sedikit sempoyongan. Rion terkekeh. Ia tidak tau kenapa ia bisa tersenyum begitu melihat gadis lugu yang berada didepannya kini. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Anggaplah kita sama-sama sedang patah hati." Ujar Rion kemudian mengambil bangku disebelah nya. "Aku Rion. Boleh ku tau siapa nama mu?" "Davi." "Jadi, kau masih Virgin di sini?" Rion memberikan penekanan disini. "Ya, apakah itu terdengar aneh?" "Iya. Tidak, maksudku sedikit aneh jika mengingat dimana kau sedang berpijak." "Memang, aku sering di bilang kolot karena mempunyai prinsip seperti itu di sini," Sekali lagi Rion terkekeh. "Jadi apa kau sedang punya masalah dengan pacarmu?" Davi mengangguk, "Ya, saat ini aku sedang patah hati, karena aku menemukan pacarku sedang b******a dengan sekertarisnya sendiri." Rion mengangguk paham, "Aku mengerti bagaimana perasaan mu." "Aku rasa aku harus mencari Senna, aku sudah tidak kuat disini. Aku harus pulang." Davi pun beranjak dan berbalik. Sial nya ia menabrak seorang pria berotot dan menumpahkan minuman yang ia bawa. "Apa kau tidak punya mata!" bentak pria berotot dan bertatto. "Maaf aku tidak melihatmu." Davi mengambil tissue dari dalam tasnya dan mencoba membersihkan baju pria itu. "Bagaimana bisa kau tidak melihat." Pria itu membetak lagi. Davi seketika mundur beberapa langkah karena ketakutan dengan pria itu. "Kau harus membayar nya," Ujar pria itu lagi. ia lalu melihat Davi dari atas hingga ke bawah lalu tersenyum menyeringai, "Kau mau ikut dengan ku." Pria itu menarik kasar tangan Davi. Davi memberontak. Rion bangkit dari kursinya dan mencegah pria itu bertindak lebih lanjut lagi. "Hei dia tunangan ku. Kau mau aku membayar baju mu yang basah itu?" ujar Rion mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Pria itu mengambil uang pemberian Rion dan langsung pergi berlalu. Kemudian Rion menghampiri Davi lagi. ia terlihat pucat. "Mau ku antar pulang?" tanya Rion berhati-hati. Rion dan Davi kini sudah berada di dalam mobil yang di sewa Rion selama di New York. Sudah sepuluh menit berlalu, Davi belum memberitahu alamat tempat tinggal Davi. gadis itu malah asik tertidur pulas. Disitu lah Rion merasakan sesuatu yang hangat ketika melihat gadis itu tertidur. *** Davi mengerjap-ngerjap mata nya karena silau oleh cahaya matahari yang sudah bersinar tinggi. Cahaya nya menembus masuk ke dalam kamar. Davi membuka mata dan melihat pemandangan yang aneh. Ia merasa bahwa ini adalah bukan kamar nya. Davi mencoba mengingat kejadian semalam namun ia tidak mengingat apa-apa. Ia bangkit dan menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia memakai kaus polos berwarna abu-abu yang kebesaran hingga kaus nya menutupi hingga sebatas paha nya. Seorang pria tinggi nan tampan muncul dari kamar mandi memakai handuk yang menutupi sebatas pingga hingga ke bawah. Davi membelalakkan mata dan menjerit keras. "SIAPA KAU?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN