Davi terburu-buru mengambil barang-barangnya yang tergelatak diatas sofa didalam kamar asing yang ia tempati semalam. Ia sudah berganti baju dengan setelan yang semalam.
"Semalam kau tertidur di mobilku dan aku tidak tau alamat mu." Rion kembali menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Davi menghentikan aktifitasnya, "Aku tidak mengingat apa-apa."
"Tentu saja kau tidak akan ingat apa-apa karena kau dalam keadaan mabuk semalam." Rion menyandarkan dirinya pada tembok dibelakangnya.
"Mau aku antar lagi?"
Davi berpikir sejenak. "Tidak usah."
Davi pun langsung beranjak pergi meninggalkan Rion.
***
"Maafkan aku Dav, maafkan aku. Seharusnya aku tidak meninggalkan mu semalam." Senna mengigit bibirnya menyesal.
Beberapa menit yang lalu, Davi datang ke apartemen Senna dan mencak-mencak kenapa ia meninggalkan Davi begitu saja di klub semalam.
"Memangnya kau kemana?" Davi masih bersikap sinis kepada Senna.
"Semalam aku bertemu dengan Roy," Senna mengigit bibirnya kembali.
"Roy? Mantan mu? Lalu apa yang terjadi setelah itu?" Seketika saja Davi lupa akan kekesalannya terhadap Senna.
"Ya kami mengobrol banyak dan dia mengajakku bertemu dengan calon istrinya yang kebetulan ada disana. setelah itu tanpa pikir panjang lagi aku langsung pergi dan melupakan mu yang masih berada didalam klub. Ketika aku kembali aku sudah tidak menemukan mu, aku pikir kau sudah pulang kembali ke apartemen mu."
Davi merangkul Senna erat. "Maafkan aku Senna, semestinya aku mendengarkan penjelasan mu dulu baru aku marah-marah."
"Tidak, aku juga salah dalam hal ini. Jadi apa kau semalam benar pulang ke apartemen kan?" Senna mengerutkan keningnya dan memerhatikan Davi masih memakai baju yang sama seperti semalam.
"Ada sedikit masalah. tidak. Maksudnya masalah besar semalam."
***
Rion menutup pintu mobil nya dan memasuki rumah besar dan mewah. Ia melangkahkan kakinya menuju meja makan yang disana sudah ada Papa dan Mama nya sedang menunggu kedatangan putra sulung mereka yang sudah belakangan ini jarang terlihat dirumah.
"Malam, Ma Pa." Rion mengecup pipi Mama nya sekilas lalu duduk di bangku disamping nya.
"Malam, Ri. Rasanya sudah lama sekali Mama tidak melihatmu. Apa kau makan dengan teratur?" kekhawatiran seorang ibu tidak ada yang bisa menandingi. Rion hanya mengangguk untuk menenangkan.
"Bagaimana pekerjaan mu? Papa dengar ada kabar baik dari perusahaan mu?" tanya seorang pria setengah baya yang ia kenal sebagai Papa nya sekaligus pemilik dari Ghandi Group. Pradikta Bramanthy Gandhi.
"Rion baru mendapatkan investor yang akan menanamkan modal cukup besar untuk project kita yang selanjutnya Pap." Ujar Rion sedikit berbangga.
"Bagus. Kau selalu bisa Papa andalkan." Bram, mengangguk senang melihat putranya tumbuh dengan baik dan kini sudah bisa mengambil alih bisnis keluarga.
"Tapi kau belum bisa Mama andalkan dalam mencari calon istri." Cibir seorang wanita bernama Adriana Syaquela Henzie. Wanita yang di umurnya sudah tidak muda lagi namun aura kecantikannya masih terpancarkan.
"Mam, Rion hanya belum memikirkan untuk mencari calon istri bukan tidak bisa mencari calon istri." Rion meralat.
"Ya tapi kau mau sampai kapan melajang? Usia mu sudah cukup untuk berkeluarga. Jangan terlalu asik dengan karir mu." Adriana mengingatkan.
"Iya Mam." Rion hanya mengiyakan pertanda ia malas untuk berdebat lebih lanjut dengan Mama nya. "Dimana Audrey?" Audrey merupakan adik Rion yang masih berusia 21 tahun. Perbedaan usia mereka cukup jauh yaitu 9 tahun. Ya Rion sudah berusia 30 tahun. Genap nya sekitar 2 bulan lagi ia akan berkepala tiga dan single.Itulah sebab nya Adriana selalu bawel mengenai kapan Rion akan melepaskan masa lajangnya.
***
Davi sudah menyiapkan beberapa hidangan masakan Indonesia yang ia beli dari Foodtruck sepulang kerja tadi. Belakangan ini ia merasa kangen sekali dengan masakan kampung halaman nya. Beberapa menit kemudian, Dave pulang dan langsung bingung dengan meja makan yang penuh dengan masakan Asia.
"Kau membeli atau memasak?" tanya Dave seraya duduk didepan meja.
"Aku membeli nya di food truck."
"Dalam rangka apa?" Dave mengernyitkan keningnya.
"Aku tidak tau, tadi sepulang kerja aku rindu masakan indonesia." Davi mengambil setusuk sate ayam dari meja lalu melahapnya dengan nikmat. Dulu ia selalu makan Sate Ayam bersama Dave serta Mama dan Papa.
"Apa kau merindukan rumah?" Dave pun ikut mengambil sate ayam dari piring dan kemudian melahapnya.
Davi mengendikan bahunya, "Mungkin iya. Beberapa waktu yang lalu aku bermimpi Mama dan Papa. Mereka seperti menyuruhku untuk jangan berada terlalu jauh dari mereka. Aku jadi kepikiran setelah itu."
Dave menghentikan makan nya dan menatap sendu adiknya satu-satunya. "Mungkin itu pertanda untuk kita segera pulang."
"Benarkah seperti itu?" Davi mengerutkan kening. "Tapi aku rasa sih iya karena di mimpi ku itu terlihat jelas bahwa Mama sangat sedih."
"Jika kau mau pulang maka kita akan pulang." Ujar Dave serius.
Davi mengangguk, "Aku akan memikirkan nya lagi Dave ini akan menjadi keputusan yang besar. Mengingat kita sudah mendapatkan pekerjaan disini."
"Apa karena ada Sebastian menjadi salah satu pertimbangan?" Tanya Dave lagi.
Davi berhenti mengunyah. Sudah beberapa hari belakangan ini ia jarang bertemu dengan Dave. Jadi ia belum sempat memberitahu Dave perihal hubungan mereka yang sudah kandas beberapa hari yang lalu.
"Tidak, dia sudah bukan menjadi bahan pertimbangan ku lagi." jawab Davi agak sedikit meninggikan intonasi suaranya.
Dave semakin mengertukan keningnya, "Ada apa? apa hubungan kalian sedang tidak baik?"
Davi pun menghembuskan napas panjang. "Aku dan dia sudah mengakhiri hubungan beberapa waktu yang lalu."
"Benarkah? Karena apa?" Dave tampak antusias. Sedari dulu Dave selalu berkata bahwa dirinya tidak begitu menyukai Sebastian. Tapi karena melihat Davi yang begitu tergila-gila nya kepada nya waktu itu, Dave hanya bisa mengalah.
"Karena dia selingkuh dengan wanita lain." Davi tidak mungkin bercerita dengan detail bagaimana mereka bisa putus. Dan juga Davi tidak mungkin menceritakan tentang kejadian memalukan di klub bersama dengan seorang pria yang tidak ia kenal. Bisa mati di gantung kalau Dave sampai tau.
"Ya aku rasa itu sudah jalan yang baik, daripada hubungan kalian sudah terlalu jauh baru ketauan belangnya. Lebih baik kau tau sekarang meskipun itu sakit."
***
-Flashback On-
"Apa? kau serius?" Pekik Senna kaget seusai mendengarkan kejadian Davi dengan seorang pria yang tidak ia kenal. "Bagaimana kau bisa satu kamar dengan nya?"
"Aku tidak tau. ketika ku terbangun aku sudah berada di kamar dan dia sedang mandi. Aku juga sudah tidak memakai baju ku, aku memakai kaus kebesaran. Aku tidak tau siapa yang menggantikan bajuku." Davi sedikit jengkel karena ia tidak bisa mengingat apa-apa dengan kejadian malam itu.
"Apa lagi yang kau rasakan ketika kau terbangun? Apakah ada yang sakit?" tanya Senna penasaran.
"Apa nya yang sakit?" Davi balik bertanya. Tidak mengerti.
"Biasanya kalau belum pernah melakukan hubungan seksual, ketika berhubungan untuk pertama kali akan terasa sakit. apa kau juga begitu?"
Davi membulatkan mata nya dan melongo, "Ya Tuhan. Tidak aku tidak merasakan sakit apapun. Aku hanya sudah berganti pakaian dan bukannya berhubungan badan dengan pria itu." Davi menjerit.
"Tapi katamu- apa kau yakin tidak merasa sakit?" tanya Senna masih tidak percaya.
"Aku kan sudah bilang. Tidak terjadi apa-apa, aku yakin tidak terjadi apa-apa." Davi menganggukan kepalanya menyakinkan dirinya sendiri.
"Davi, apakah Dave akan mengetahui hal ini?" Senna menggenggam bahu Davi.
"Tidak, ia tidak boleh tau meskipun tidak terjadi apa-apa tentu saja dia tidak boleh tau, bisa-bisa aku di gantung sama dia." Davi bergidik ngeri.
-Flashback Off-
***