Tak tahan lagi, akhirnya Mala memutuskan untuk menjemput putrinya saja. Ia sudah mengambil kunci mobilnya dan sudah hampir memasuki garasi namun bersamaan dengan itu, sebuah sepeda motor melaju memasuki halaman rumahnya. Ia kemudian berjalan menghampiri dua remaja yang ada di sana.
"Thanks, ya," ujar Mentari.
"Hm."
"Dan ... maaf juga," lirih Mentari setelahnya.
"Ck! Udahlah, lo tuh kebanyakan minta maaf," balas Alan setelahnya. Lelaki itu kemudian menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya dan Mentari. Ia langsung turun dari motornya.
"So-sore, Tante," sapa Alan. Apa mungkin Mala akan memarahinya karena membawa Mentari menggunakan motor?
"Naik motor ternyata seseru itu lho, Bu. Aku seneng bisa pulang sama Alan." Mentari tertawa renyah, "tadinya aku mau nunggu angkot aja tapi Alan ngeyel ngajak pulang bareng, katanya cuaca juga lagi mendung, jadi matahari gak bakalan nongol. Tapi naik motor gak seburuk itu kok, aku malah sering ngantuk gara-gara angin," jelas gadis itu, berjaga-jaga jika ibunya akan mengomeli Alan, meskipun Mentari tahu kalau ibunya tak akan melakukan hal itu
"Ibu khawatir lho. Tapi syukurlah kalo kamu gak kenapa-napa. Makasih ya, Lan."
Alan berkedip dua kali dan setelahnya lelaki itu menjawab, "i-iya, Tante."
"Mau mampir dulu? Sekalian aja makan di sini," tawar Mala.
"Ehh ... gak usah, Tante. Mungkin lain kali aja." Setelahnya Alan berpamitan dari sana dan pulang ke rumahnya yang berada di sebelah Mentari. Ia sesekali menatap Mentari ke arah rumah Mentari sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu, Galang yang melihat kepulangan Mentari segera bertanya, "kok tumben pulangnya sore, Kak?" tanya bocah itu.
"Hm."
"Kenapa emangnya, Kak?"
Mentari yang mendudukkan tubuhnya di sofa itu berdecak pelan dan langsung menjitak kepala adiknya yang duduk di bawah, tepat di dekatnya. Beruntungnya saat ini Mala sedang berada di dapur jadi wanita itu tak melihat kelakuan kedua anaknya.
"Diem ah, gak usah banyak nanya. Bawel banget lo kayak emak-emak arisan!"
Galang mencebikkan bibirnya seraya memegangi puncak kepalanya yang berdenyut, "Dasar Nenek Lampir!" ledeknya kemudian berpindah tempat sebelum kepalanya kembali mendapat hantaman lagi.
"Mentari udah mau pergi tapi saya tahan karena saya suruh buat bantu ngerjain tugas."
Mentari menatap langit-langit rumahnya. Kenapa juga Alan harus membela dirinya? Jika saja pemuda itu tak mengatakan hal seperti itu, ia pasti tak akan ikut dihukum.
"Saya ini tetangganya Mentari dan adiknya cukup sering cerita sama saya kalau kakaknya kurang tidur karena harus ngerjain makalah."
Kedua mata milik Mentari seketika mengerjap dan gadis itu langsung menatap sang adik yang tengah menonton TV, "Heh, lo sering ngomongin tentang gue ke Alan, ya?" tanyanya to the point.
Galang yang sedang mengunyah snack itu pun mendadak membeku di tempatnya. "E-enggak, kok!"
"Halah, gak usah boong! Ngomong apa aja lo sama dia? Pasti lo sering jelek-jelekin gue, iya kan?"
"Enggak kok!" Galang langsung memutar tubuhnya ke belakang dan menatap Mentari. "Ngapain juga jelek-jelekin Kakak!" Ia mencebik.
Mentari menatap bocah itu selama beberapa saat sebelum akhirnya ia bangkit dari posisinya dan berjalan ke kamar.
Sementara itu di belakangnya, Galang yang sudah was-was mendapat amukan itu hanya diam saja menatapnya.
Kini Mentari menjatuhkan tubuhnya di atas kasurnya dan menatap langit-langit kamarnya. Di saat yang bersamaan ia merasa kalau ponselnya bergetar. Gadis itu segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan melihat notifikasi yang baru saja masuk itu.
Keningnya mengerut membaca sebuah pesan di sana.
Sudah pulang?
"Kenapa sih ini guru satu doyan banget gangguin gue?" Mentari hanya membaca pesan itu, tanpa berniat membalasnya sama sekali. Gadis itu memilih meletakkan kembali ponselnya namun benda itu kembali bergetar.
Ia kembali menatap notifikasi yang ada di sana dan siapa sangka kalau ternyata Chandra menunggu balasan darinya bahkan sampai memperhatikan kalau Mentari hanya membaca pesan yang dikirimkannya itu.
Kamu marah?
"Lama-lama gue tonjok juga nih guru olahraga!" Dengan malas Mentari menekan tombol reply dan mengetik pesan balasan di sana.
Udah pulang.
Awalnya gadis itu mengira kalau Chandra tak akan membalasnya namun ternyata lelaki itu kembali mengetik sesuatu di sana.
Marah?
Mentari berdecak dan langsung meletakkan ponselnya di atas kasur tanpa berniat membalasnya sama sekali, bahkan gadis itu tak membuka pesannya. Gadis itu memilih memejamkan kedua matanya dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya.
*
"Galang mana, Bu?" tanya Mentari usai turun dari kamarnya. Rupanya ia benar-benar tertidur dan terbangun saat hari sudah hampir malam.
"Lagi ke warung. Oh, iya, Tar, bisa anterin ini ke rumahnya Alan? Ibu kebetulan nemu resep kue yang baru di internet, terus Ibu nyoba bikin." Mala memberikan sebuah paper box pada Mentari. "Galang lagi Ibu suruh ke warung, kan, jadi kamu aja yang anterin. Bilang aja buay ucapan makasih."
Mentari menatap paper box di tangannya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengangguk dan pergi menuju rumah Alan.
Gadis itu melihat ada mobil yang terparkir di halaman rumah Alan, sepertinya sedang ada tamu di sana. Ia mengetuk pintunya dan tak ada tanda-tanda kalau pintunya dibuka. Mungkin pemiliknya sedang mengobrol dengan tamu jadi ketukan pintunya tak terdengar, pikir Mentari.
Akhirnya Mentari kembali mengetuk pintunya selama beberapa kali. "Permi—"
Ucapan Mentari terputus saat pintu itu dibuka. Semula ia mengira kalau Dewi yang membukakkan pintu, namun ternyata perkiraannya itu salah besar, karena ia justru melihat wajah menyebalkan itu lagi di sana bahkan tanpa diduga sama sekali.
"Mentari?"
Mentari membeku di posisinya menatap sosok di depannya. Dalam hati ia mendadak mengutuk Galang yang tak kunjung kembali dari warung hingga membuat dirinya harus pergi ke rumah Alan, membuatnya bertemu dengan Chandra yang entah kenapa bisa berada di sana.
"Bapak ngapain di rumahnya Alan?" tanya Mentari.
Di saat yang bersamaan, Alan muncul dari belakang Chandra dan ia cukup terkejut melihat Mentari ke sana.
"Lo ngapain, Tar?" tanya lelaki itu.
"A-ah, ini ... Nyokap habis bikin kue, terus gue disuruh ngasih ini sama lo, itung-itung ucapan makasih buat yang tadi." Mentari memberikan paper box yang ia bawa.
Alan berkedip dua kali lalu menerima benda itu. "Wah, makasih ya. Baik banget Tante Mala. Oh iya lo ... " Ia menggantungkan kalimatnya dan melirik Chandra yang berdiri di sebelahnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali berkata, "mau mampir dulu?"
"Eh? Enggak usah, gue mau pulang aja." Mentari menatap Chandra sekilas dan segera berpamitan dari sana.
Sedang apa Chandra di sana? Lalu kenapa sepertinya lelaki itu akrab dengan Alan?
Mentari menoleh ke belakang dan terkejut karena rupanya Chandra masih berada di sana dengan kedua mata yang mengarah padanya. Mentari buru-buru meluruskan kembali pandangannya ke depan dan langsung mempercepat langkah kedua kakinya dan kembali ke rumah.
—TBC