"Gue duluan kalo gitu ya, Tar." Lala menepuk pelan lengan Mentari sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan sahabatnya di bawah tangga.
Dengan kedua pipi yang menggembung, Mentari hanya bisa menatap punggung Lala yang kian menjauh. Gadis itu lalu merogoh saku roknya saat ponselnya bergetar.
"Halo?"
"Kamu beneran gak apa-apa gak Ibu jemput? Terus kamu pulangnya gimana?" Suara khas Mala terdengar cemas di seberang sana.
"Aku bisa naik angkot kok, Bu. Alan juga kan ada, jadi Ibu gak perlu khawatir."
"Iya, tapi tetep aja. Ya udah sana, katanya kamu sama Alan disuruh bersihin toilet."
"Hm." Mentari segera menutup sambungan telepon dan pergi ke kelas Alan. Namun sesampainya di sana, gadis itu harus menunggu karena ternyata Alan masih mengikuti materi di dalam kelas. Hingga sekitar sepuluh menit setelahnya, guru yang mengajar di sana pun keluar dari kelas.
"Nyari siapa?" Seorang murid laki-laki bertanya begitu bertemu dengan Mentari di depan pintu. Semua orang tahu kalau gadis yang berasal dari kelas sebelas IPA dua itu merupakan gadis yang memiliki alergi terhadap matahari.
"Alan," jawab Mentari. Ucapannya membuat lelaki di depannya sempat mengerutkan dahi.
"Dia masih di kelas." Murid bernama Eric itu menatap Mentari yang masuk ke dalam kelasnya. "Sejak kapan Alan sama Mentari saling kenal?" Ia bergumam pelan.
Sementara itu Mentari tampak berjalan menuju meja Alan dan melihat pemuda itu sedang membereskan buku.
"Ngapain lo di sini?" tanya Alan begitu menyadari kehadiran Mentari di sana.
"Gue takut lo lupa aja. Abis ini kita berdua masih harus bersihin toilet," ujar Mentari. Gadis itu mengambl sisa peralatan tulis yang ada id atas meja lalu memasukkannya ke dalam tas milik Alan.
"Gue inget kok." Alan segera memakai tasnya dan pergi bersama Mentari. "Jangan mentang-mentang ingatan gue kacau, lo bisa seenaknya berburuk sangka sama gue. Lo berpikir kalo gue bakalan kabur, kan?"
"Hah? Ma-mana ada." Mentari membuang muka ke arah lain.
Sesampainya di toilet, gadis itu sedikit bersuykur karena toilet di sekolahnya terbilang bersih, jadi ia dan Alan tidak perlu memerlukan tenaga eksta untuk mmebersihkannya. Gadis itu mengambil sebuah sikat namun Alan dengan cepat merebutnya.
"Lo diem aja."
"Hah?" Mentari dibuat terbengong-bengong. Ia melihat Alan memasuki toilet laki-laki sendirian dengan membawa sikat dan sebuah ember. "Gue kan juga dihukum, Lan. Masa lo mau bersihin semua sendirian. Harusnya lo yang diem, karena gara-gara gue, lo jadi ikut dihukum." Mentari mengambil ember lain yang berada di sana lalu menyusul Alan. Namun bukan Mentari namanya jika dia tidak mengalami kesialan. Gadis itu terpeleset hingga tubuhnya limbung dan mneghantam permukaan lantai.
Alan yang sedang membersihkan wastafel itu seketika menoleh begitu mendengar suara. Dilihatnya Mentari tengah mengaduh kesakitan di atas lantai dengan ember yang tersangkut di kepala.
"Astaga, lo ngapain sih?" Alan berjalan menghampiri Mentari dan membantu gadis itu berdiri. Ia hampir saja tertawa melihat ekspresi wajah Mentari saat ember yang ada di kepala gadis itu berhasil ia lepas. Mentari tampak kesal sekaligus menahan sakit di tubuhnya.
"Lo mendingan bersihin toilet cewek, biar cepet beres," ujar Alan kemudian seraya mendorong pelan punggung Mentari agar gadis itu keluar dari sana.
"Tuh cewek ada aja kelakuannya." Alan menggelengkan kepalanya pelan dan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
***
Galang yang semula tengah menonton TV itu mendadak menoleh saat ibunya duduk di sofa dengan raut wajah yang gelisah.
"Kak Mentari belum pulang, Bu?" tanya anak itu seolah bisa menebak isi kepala sang ibu.
Mala mengangguk pelan. "Kakak kamu bilang dia dihukum sama Kak Alan disuruh bersihin toilet. Tapi dia nolak pas mau Ibu jemput, katanya mau naik angkot aja."
Salah satu alis Galang naik. Ia tahu betul kalau kakaknya yang super aneh itu adalah manusia yang anti dengan benda bernama angkot. "Mungkin Kak Mentari mau pulang bareng Kak Alan, Bu. Toh cuaca juga lagi mendung, jadi kayaknya gak apa-apa juga kalau Kak Mentari naik motor," ujar Galang. Anak itu lu menoleh ke sebuah jam yang terpajang di dinding. "Ibu udah nelepon Kakak lagi?"
Mala segera mengecek kembali ponselnya namun pesannya beberapa waktu lalu belum mendapat balasan. "Belom dibales."
"Mungkin lagi di jalan, Bu. Ini kan udah jam empat lewat. Ada Kak Alan di sana jadi Ibu gak perlu khawatir."
Memang ada benarnya juga ucapan Galang, namun sebagai seorang ibu, Mala tetap khawatir dengan putri sulungnya yang memang sedikit berbeda dengan gadis-gadis seumurannya.
***
"Lo yakin?" Alan Menatap Mentari saat gadis itu bersikeras menunggu angkot di bawah gerbang. kepalanya sudah ditutupi oleh topi jaket merah muda yang bertelinga kucing.
"Gue bisa nunggu angkot atau pesen taksi online kok. Lo duluan aja," ujar Mentari.
"Ini udah sore loh. Emangnya lo gak takut sendirian? Lagian udah mau hujan juga, mending lo ikut sama gue."
'gak usah, makasih. Lo hari ini udah cukup repot gara-gara gue."
Alan menggaruk lehernya yang tidak gatal. Benar ternyata kalau wanita adalah makhluk yang ribet. Iya, ribet. Pemuda itu hampir melajukan motornya namun ia urungkan. "Lo naik aja deh."
"Lo gila? Gue kan—"
"Udahlah, gak usah kebanyakan omong. Lo naik aja. Lagian ini mendung kok, lo gak bakalan kenapa-napa lagi."
"Tapi—"
"Buruan naik!"
Mentari tersentak pelan dan segera naik ke atas motor milik Alan. Tidak lama setelah mereka menjauhi area sekolah, gerimis perlahan turun.
"Lan?" panggil Mentari.
Alan melirik sekilas bayangan Mentari lewat spion. "Apaan?" Pemuda itu menyahut dari balik helmnya.
"Sori, ya. Gue hari ini pasti banyak ngebebanin lo. Hanya karena kecerobohan gue, lo jadi ikut dihukum."
"Lo gak perlu minta maaf, Tar."
"Lo tuh seharusnya gak usah bohong kayak tadi. Padahal jelas-jelas gue yang salah." Mentari membuang napasnya pelan. "Sori, ya. Makasih juga."
Salah satu sudut bibir Alan naik. "Gue kasihan aja kalo lo beneran lari keiling lapangan sama bersihin toilet sendirian. Jadi gak usah kepedean."
Mentari menggembungkan kedua pipinya. Gadis itu lalu menengadahkan kepalanya ke atas langit. Sudah sejak lama ia tak berada di bawah langit secara langsung seperti saat ini ketika di jalan. Ia tanpa sadar memejamkan kedua matanya dan kedua sudut bibirnya mmebentuk lengkungan ke atas. Ia menikmati semilir angin dingin yang menyapu pori-pori wajahnya. Pakaiannya basah, membuat tubuhnya sedikit menggigil.
"Lan?" Mentari kembali memanggil.
"Kenapa lagi?" tanya Alan. Ia tak mendengar jawaban Mentari setelahnya, namun ia merasa ada sesuatu yang perlahan menimpa punggungnya, bersamaan dengan remasan pelan di kedua sisi jaketnya yang basah. Alan tertegun dan lantas mengintip ke spion. Wajah Mentari terlihat tenggelam di balik punggungnya. "Lo kenapa, Tar?" tanyanya.
"Gue ngantuk, Lan," jawab Mentari tanpa mengubah posisinya. Gadis itu menempelkan salah satu sisi wajahnya di punggung Alan.
Semula Alan hanya menggumamkan 'oh', sebelum akhirnya pemuda itu membulatkan kedua matanya. "Lo jangan tidur, Tar! Ntar kita jatoh!" Ia menggoyangkan punggungnya, namun bukannya bangun, gadis di belakangnya justru malah mengeratkan tangannya.
"Mentari, bangun! Lo berat!"
Bugh!
Alan merasa punggungnya berdenyut. Ia melirik ke spion dan melihat Mentari yang sudah menatap garang padanya.
"Lo ngatan gue berat?!" ujar gadis itu sewot.
Alan membuang napas kasar. Selain ribet, wanita juga paling sensitf jika ada yang menyinggung soal berat badan.
— TBC