Hasna tidak mengerti dengan dirinya sendiri, lihat saja setelah anak-anaknya ke sekolah dan suaminya pergi bekerja dia tidak ingin melakukan apapun. Perasaan marah, kesal dan sedih masih setia menghinggapi rongga dadanya. Hasna ingin berteriak kencang mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya, apakah perbuatan itu normal? Entahlah. Hatinya hancur, bahkan kata-kata saja tidak akan mampu untuk menjabarkan rasa sakit itu. Hasna lebih banyak melamun di depan televisi. Jika disuruh mengulang apa yang diputar pada layar di depannya maka dia tidak akan bisa sama sekali. Tidak ada yang masuk ke dalam pikirannya, matanya boleh melihat tetapi pikirannya berada kemana-mana. Kadang Hasna juga tertawa sendiri, dia harus mulai belajar untuk bisa hidup sendiri tanpa mengharapkan orang lain sebagai san