Bab 6. Menagih Janji

1074 Kata
“Santi, tolong pikirkan lagi. Kita nggak punya pilihan lain,” desak Reza dengan suara penuh harap. “Aku sudah bicara dengan Pak Arman, dan dia bersedia memberi kita uang dalam jumlah besar. Ini bukan hanya soal sewa, ini tentang hidup kita.” Santi menggeleng pelan, merasa jijik. “Aku lebih baik diusir daripada harus menjual diriku, Mas. Jika kau benar-benar peduli padaku, kau nggak akan pernah menyarankan ini. Kau akan berjuang bersamaku, tanpa harus menyerahkan harga diriku untuk uang.” Reza terdiam, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Santi sudah membuat pendiriannya jelas, dan tidak ada yang bisa dia katakan untuk mengubah perasaan istrinya. Suasana di antara mereka menjadi sunyi. Hanya suara napas berat dan ketegangan yang menggantung di udara. Reza tahu bahwa hubungannya dengan Santi kini berada di ujung tanduk, dan semua keputusan yang dia buat telah menghancurkan segalanya. Santi memandang Reza dengan tatapan dingin, lalu berkata, “Aku nggak peduli lagi tentang uang, Mas. Aku hanya ingin kita keluar dari semua ini tanpa harus menghancurkan diri kita sendiri. Kalau kau nggak bisa menghargai aku, aku akan keluar dari hidupmu. Aku nggak bisa terus hidup seperti ini.” Reza merasa hatinya remuk. Dia tahu, dia telah mengambil keputusan yang salah. Tapi kini, mungkin sudah terlambat untuk memperbaiki segalanya. *** "Pak Reza!" ucap seorang wanita yang sudah berdiri di hadapan Reza. "Pak Arman memintamu untuk segera ke ruangannya." "Iya, terima kasih." Reza mengangguk dan segera berdiri dari tempat duduknya. Reza duduk gelisah di dalam kantor Pak Arman. Ruangan itu terasa lebih sunyi dari biasanya, padahal biasanya Arman selalu memancarkan aura tenang dan percaya diri. Reza tahu saatnya telah tiba, dan ia merasa semakin tertekan setiap detik yang berlalu. Pak Arman duduk di balik meja besar dengan tangan yang terlipat di depannya, matanya menatap Reza dengan tajam, seolah menanti jawaban yang sudah sangat ia nanti-nantikan. “Kau tahu kenapa aku memanggilmu kemari, Reza?” tanya Arman dengan nada tenang tapi penuh tekanan. Reza mengangguk perlahan, tak berani menatap langsung mata bosnya. “Iya, Pak. Saya tahu.” Arman bersandar ke kursinya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. “Jadi, bagaimana? Apa jawaban dari istrimu?” Reza menghela napas panjang sebelum akhirnya berani berbicara. Ia tahu Arman adalah pria yang tidak suka menunggu, apalagi setelah membuat kesepakatan seberani ini. Namun, situasi di rumah dengan Santi telah menjadi mimpi buruk bagi Reza. Istrinya sangat menentang keputusan ini, dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan berubah pikiran. “Santi … dia belum memberikan jawaban yang pasti, Pak,” jawab Reza dengan suara gemetar. “Dia masih ... kesulitan menerima semua ini.” Arman menatap Reza dengan tatapan datar, namun jelas ada sedikit ketidaksabaran dalam sorot matanya. “Kesulitan? Reza, kita sudah membicarakan ini beberapa minggu lalu. Aku sudah memberimu cukup waktu untuk membujuknya.” Reza menundukkan kepala, mencoba menahan rasa malu dan takut. “Saya sudah mencoba, Pak. Saya benar-benar sudah melakukan yang terbaik, tapi Santi masih belum bisa menerima.” Arman menyipitkan matanya, bibirnya sedikit mengerucut. “Kau tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi kita berdua, Reza. Aku tidak hanya membantumu keluar dari masalah keuanganmu. Ini juga tentang keinginanku yang selama ini belum terpenuhi.” Reza mengangguk cepat, menyadari betul maksud dari Arman. Dia tahu Arman dan istrinya sudah lama berusaha mendapatkan anak, tapi tanpa hasil. Itulah sebabnya Arman membuat tawaran ini—membantu Reza dan Santi secara finansial dengan imbalan Santi bersedia menjadi "istri sementara" bagi Arman untuk memberikan keturunan yang sangat diinginkan pria itu. “Aku tahu, Pak,” jawab Reza, suaranya terdengar lemah. “Saya hanya butuh waktu lebih untuk meyakinkannya.” Arman mendesah, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke arah kota. Dengan punggung menghadap Reza, ia berkata, “Waktu adalah hal yang tidak kita miliki banyak, Reza. Aku sudah bersabar. Kau tahu aku bisa memberikan apapun yang kau inginkan, asalkan kau memberikan apa yang aku minta.” Reza merasa kepalanya semakin berat. Setiap kata Arman mengingatkannya pada kesepakatan yang telah ia buat, dan kini ia merasa terjebak dalam jaring yang semakin menjerat. Arman menawarkan uang yang cukup untuk mengubah hidup mereka, untuk melunasi hutang, membayar sewa, bahkan memberikan mereka kemewahan yang tak pernah mereka bayangkan. Namun, harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan: Santi, istrinya sendiri. “Tapi bagaimana jika dia benar-benar menolak, Pak?” tanya Reza dengan suara bergetar. “Santi adalah wanita yang kuat. Dia tidak akan mudah menerima ini.” Arman berbalik, tatapannya kembali tajam. “Itu urusanmu, Reza. Kau yang harus mencari cara. Kau yang harus membuatnya mengerti bahwa ini untuk kebaikan semua pihak. Istrimu akan mendapatkan keamanan finansial seumur hidupnya, dan kau juga akan hidup lebih baik. Apa itu tidak cukup untuknya?” Reza tidak bisa menjawab. Di satu sisi, ia tahu Arman benar. Secara logis, kesepakatan ini memang menjanjikan kemakmuran yang tak terduga. Tapi secara emosional, Reza tahu betapa sakitnya bagi Santi, dan bahkan baginya sendiri, untuk melalui ini. Arman kembali mendekati meja, lalu duduk dan menyilangkan tangannya di depan d**a. “Dengar, Reza. Aku bukan orang yang suka memaksakan kehendak, tapi jika ini berlarut-larut, aku harus mencari solusi lain. Kau tahu betul, banyak orang di luar sana yang siap melakukan apa saja untuk mendapatkan kesempatan seperti ini.” Reza menelan ludah. Ancaman halus itu jelas ia pahami. Jika ia gagal, Arman tidak akan ragu mencari orang lain untuk menggantikan posisinya. Kesempatan untuk mendapatkan uang yang dijanjikan akan menghilang, dan itu bisa berarti bencana bagi keluarganya. “Saya mengerti, Pak. Saya akan mencoba lagi,” ucap Reza, meskipun suaranya terdengar semakin berat. “Pastikan kau tidak hanya mencoba,” kata Arman dengan nada dingin. “Aku ingin hasilnya, Reza. Dan aku ingin itu segera. Jika kau butuh bantuan, aku bisa berbicara langsung dengan Santi. Mungkin dia akan lebih mengerti jika aku yang menjelaskan.” Reza tercekat mendengar usulan itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Santi jika Arman datang kepadanya dan menjelaskan kesepakatan ini dengan segala detailnya. Itu hanya akan membuat situasi semakin buruk. “Tidak, Pak,” Reza buru-buru menjawab. “Biarkan saya yang berbicara dengannya. Saya yakin, dengan sedikit waktu lagi, dia akan mengerti.” Arman memandangi Reza sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi ingat, Reza, waktu kita semakin sedikit. Jangan sia-siakan kesempatan ini.” Reza hanya bisa mengangguk sebelum perlahan bangkit dari kursi. Kepalanya penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Ia berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah berat, tahu bahwa keputusan yang ia buat semakin menjeratnya dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN