Arman perlahan membuka amplop putih yang diberikan Lestari. Tangannya gemetar saat ia merobek bagian tepinya, seolah-olah amplop itu mengandung beban yang jauh lebih berat daripada selembar kertas. Di dalam hatinya, ia sudah tahu apa yang ada di dalamnya, tetapi membacanya langsung terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.
Amplop itu berisi surat gugatan cerai—tanda bahwa pernikahannya dengan Lestari, yang telah bertahun-tahun ia bangun, berada di ambang kehancuran. Kertas putih itu seakan menceritakan akhir dari sebuah bab panjang dalam hidupnya, bab yang diwarnai oleh cinta, pengkhianatan, dan rasa bersalah yang semakin hari semakin mendalam. Lestari, yang berdiri di hadapannya, menatap tanpa ekspresi. Namun, di balik mata dingin itu, Arman bisa melihat rasa sakit yang mendalam—kekecewaan dari seorang wanita yang merasa dikhianati oleh suaminya sendiri.
"Aku sudah tak punya pilihan lain, Mas," kata Lestari, suaranya dingin tapi penuh ketegasan. "Kau yang memaksaku untuk melakukan ini. Aku sudah berusaha bertahan, memberi kesempatan, bahkan menunggu. Tapi kau terus mengkhianatiku. Sekarang, semua ini sudah berakhir."
Arman tak mampu berkata-kata. Tubuhnya kaku, dan pikirannya berusaha keras mencerna kenyataan yang terjadi. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa apa yang ia lakukan salah. Hubungannya dengan Santi adalah pelarian dari masalah-masalah rumah tangganya sendiri, tetapi pelarian itu justru menghancurkan semua yang pernah ia miliki.
Sementara itu, Santi berdiri tak jauh dari mereka, menyaksikan semua ini dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa kasihan pada Lestari yang harus menghadapi kenyataan pahit ini. Di sisi lain, ia juga merasa terpojok. Ia tahu bahwa kehadirannya di kehidupan Arman telah menjadi pemicu kehancuran ini. Tatapan Lestari sesekali melirik ke arahnya, seolah-olah menekankan bahwa ia juga adalah bagian dari masalah ini.
"Maafkan aku, Lestari," Arman akhirnya berkata, suaranya serak dan lemah. "Aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku... aku nggak tahu bagaimana semua ini bisa sampai sejauh ini."
Lestari hanya menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Kata-kata maafmu sudah tak ada artinya, Mas. Semua sudah terlambat. Aku tak butuh lagi maaf atau penjelasan darimu. Aku hanya ingin keluar dari hubungan ini sebelum semuanya makin memburuk."
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Surat cerai itu sudah aku tandatangani. Sekarang giliran kamu. Setelah ini, aku akan mengurus semuanya di pengadilan. Aku tak akan kembali. Dan kali ini, aku benar-benar serius."
Arman merasa seluruh dunianya runtuh. Di satu sisi, ia masih mencintai Lestari. Ia tak pernah benar-benar ingin berpisah dari istrinya, tetapi tindakannya sendiri yang membawa mereka pada titik ini. Sementara itu, Santi merasa semakin tertekan. Hubungannya dengan Arman, yang awalnya penuh harapan, kini menjadi sumber masalah besar yang menghancurkan hidup banyak orang.
"Lestari, jangan begini... Kita bisa bicarakan ini lagi," Arman berusaha mengulurkan tangannya, tetapi Lestari mundur selangkah, menolak untuk disentuh.
"Enggak, Mas. Sudah cukup," jawab Lestari dengan tegas. "Aku sudah cukup memberikanmu waktu dan kesempatan. Sekarang aku memilih untuk menyelamatkan diriku sendiri. Kau bebas melakukan apa yang kau mau, tapi aku tak akan lagi berada di sini untuk menyaksikannya."
Ningrum, ibu Lestari, yang selama ini berdiri diam, akhirnya angkat bicara. "Arman, ini keputusan terbaik untuk Lestari. Dia pantas mendapatkan lebih baik daripada ini. Kau telah menghabiskan terlalu banyak waktu mempermainkan perasaannya. Sebagai seorang ibu, aku tak akan membiarkan putriku terus disakiti."
"Lestari, aku mohon mengerti lah sedikit saja, semua ini aku lakukan demi mendapatkan keturunan. Aku harap kamu bisa bersabar sampai Santi melahirkan." Arman berusaha membujuk Lestari.
Santi mendekat ke arah Arman. "Mas Arman benar, Mbak. Sesuai dengan perjanjian diantara kami, Mas Arman akan menceraikanku setelah anak ini lahir."
"Menceraikanmu? Lalu kalian minta aku untuk merawat anak ini! Gila … kalian berdua benar-benar gila, apa kalian nggak berpikir bagaimana perasaanku jika aku merawat anak hasil dari perselingkuhan kalian. Jangankan untuk merawatnya, menatap wajah bayimu saja sudah membuatku sakit hati." Lestari mulai meluapkan emosinya.
Kini tatapannya berpindah ke Arman. "Dan kamu, Mas. Selama ini kamu menolak tawaranku untuk mengadopsi anak karena kamu ingin memiliki anak dari darah dagingmu sendiri. Lalu bagaimana dengan aku, apa aku nggak punya keinginan yang sama sampai-sampai kamu memintaku merawat anak haram kalian!" bentak Lestari dengan air mata yang mulai menggenang di kedua matanya.
Santi ingin mengatakan sesuatu, apa pun yang bisa meredakan situasi ini, tetapi lidahnya terasa kelu. Bagaimana mungkin ia bisa memperbaiki kerusakan yang ia bantu ciptakan? Bagaimana mungkin ia bisa mengembalikan hubungan yang sudah hancur berkeping-keping?
"Lestari, jangan buang-buang waktu lagi. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini, Ibu sudah muak melihat wajah mereka." Ningrum memandang wajah Arman dan Santi secara bergantian dengan tatapan penuh kebencian dan amarah.
Setelah itu, Lestari dan Ningrum berbalik untuk pergi. Langkah mereka tegap, tetapi Santi bisa merasakan betapa hancurnya hati Lestari meski ia berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.Saat pintu villa tertutup di belakang Lestari dan Ningrum, keheningan yang mencekam memenuhi ruangan. Arman terduduk di kursi, kepalanya tertunduk dan tangannya masih memegang surat cerai itu. Suasana di dalam villa terasa begitu berat, penuh dengan beban rasa bersalah dan penyesalan.
Santi mendekati Arman perlahan, mencoba menawarkan dukungan yang ia sendiri tak yakin bisa diberikan. "Mas, aku... aku nggak tahu harus berkata apa," bisiknya, suara itu hampir tak terdengar.
Arman tak merespons. Matanya masih terpaku pada surat di tangannya, seolah-olah itu adalah lambang dari segala kesalahan yang telah ia perbuat. "Semuanya hancur, Santi," katanya lirih. "Aku menghancurkan semuanya. Lestari... hidupku... semuanya."
Santi tahu bahwa tak ada kata-kata yang bisa memperbaiki keadaan ini. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia mengandung anak Arman, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa masa depan mereka semakin tidak jelas. Hubungan yang selama ini mereka jalani dalam bayang-bayang kebohongan kini terbuka dengan cara yang paling menyakitkan.
Santi berdiri di samping Arman, terdiam, mencoba memahami apa yang akan terjadi selanjutnya. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah semua ini layak diperjuangkan. Apakah hubungan yang dibangun di atas penghianatan dan kebohongan benar-benar bisa bertahan? Ataukah semuanya hanya akan berakhir seperti ini, dengan luka yang mendalam bagi semua orang yang terlibat?
Pikiran Santi melayang pada Reza, mantan suaminya yang juga terlibat dalam kekacauan ini. Reza, yang awalnya diam dan menerima situasi, akhirnya memilih untuk mengungkapkan rahasia ini kepada Lestari.
Santi tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu hanyalah bahwa hidupnya kini dipenuhi oleh ketidakpastian. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tak yakin apakah ia bisa menghadapi semua ini.