Bab 14. Kebohongan yang Terungkap

1437 Kata
Arman yang baru saja tiba di rumahnya bersama Lestari langsung berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah, sambil memanggil nama istrinya dengan penuh kecemasan. "Lestari! Lestari." Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Dia terus memanggil nama Lestari, mengira ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Kecemasan ini semakin membesar saat langkahnya mulai menyentuh anak tangga menuju kamar tidur mereka. Namun, tiba-tiba terdengar suara yang akrab di telinganya, suara Lestari yang tenang namun tajam, “Akhirnya kamu pulang juga, Mas.” Arman langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Lestari duduk di kursi meja makan, tampak begitu tenang dan terkendali. Namun, Arman bisa merasakan aura dingin yang mengelilingi istrinya. Sesuatu terasa salah. Rasa lega karena tidak menemukan Lestari dalam bahaya mulai berubah menjadi kegelisahan yang berbeda. Dengan cepat, Arman menghampiri Lestari. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu membuatku panik seperti ini? Aku pikir kamu dalam bahaya!” suaranya sedikit terengah-engah, masih tersisa rasa khawatir. Lestari hanya tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak membawa kehangatan. Ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya. “Kalau aku nggak seperti ini, aku yakin kamu nggak akan pulang, kan? Kamu mungkin masih bersama w************n itu.” Mata Arman seketika melebar, terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Lestari. Rasa panik yang sebelumnya disebabkan oleh kekhawatiran tentang keselamatan istrinya kini berubah menjadi ketakutan atas apa yang mungkin sudah Lestari ketahui. "Apa maksudmu?" tanya Arman dengan nada gugup, meski dalam hatinya ia sudah memiliki firasat buruk. Lestari berdiri dengan tenang dari tempat duduknya. Tatapannya tidak lepas dari Arman, penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang tersembunyi di balik ketenangannya. Tanpa berkata-kata lebih lanjut, Lestari meraih beberapa lembar foto dari atas meja dan melemparkannya ke arah Arman. Foto-foto itu melayang di udara sebelum mendarat di lantai, dan satu per satu memperlihatkan gambar yang jelas—gambar Arman dan Santi, pagi ini, sedang bersama di halaman villa. Arman mematung. Hatinya seakan berhenti berdetak sesaat. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Lestari akan menemukan buktinya secepat ini. Pikirannya berpacu mencari penjelasan, mencari kata-kata yang bisa meredam situasi ini, tapi setiap usaha rasanya sia-sia. Foto-foto itu mengatakan segalanya. Tidak ada jalan keluar dari kebenaran yang terbentang di hadapan mereka. Dengan langkah perlahan namun pasti, Lestari mendekati Arman. “Kamu nggak perlu berpura-pura nggak tahu, Mas. Aku hanya ingin mendengar dari mulutmu sendiri. Apa maksud dari semua ini?” suaranya terdengar datar, tapi Arman tahu bahwa di balik ketenangan itu ada badai besar yang siap meledak. Arman menunduk, tangannya sedikit gemetar saat dia mengambil salah satu foto dari lantai. Gambar itu menunjukkan dirinya dengan Santi, tangan mereka yang saling menggenggam, senyum yang sebelumnya terasa hangat, kini menjadi bukti pengkhianatan yang tak terbantahkan. Arman menelan ludah, suaranya serak saat akhirnya dia berbicara. “Lestari... aku bisa menjelaskan...” Lestari mengangkat satu alis, seolah menantang suaminya. “Benarkah? Aku menunggu.” Arman mengambil napas panjang, mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata yang benar. “Hubunganku dengan Santi... ini bukan seperti yang kamu kira. Awalnya... hanya kesepakatan. Aku hanya ingin memastikan dia dan bayinya baik-baik saja,” kata Arman dengan nada menyesal, namun sadar bahwa penjelasannya mungkin tidak cukup untuk meredakan kemarahan Lestari. “Kau pikir aku bodoh, Mas?” potong Lestari tajam. “Kesepakatan? Dan dari foto-foto ini, jelas sekali bahwa hubungan kalian sudah melampaui batas itu. Berapa lama kau berencana untuk menyembunyikan ini dariku? Atau kau pikir aku akan tetap buta selamanya?” Arman hanya bisa menunduk. Dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang cukup untuk membela dirinya. Hubungannya dengan Santi, yang awalnya memang sebuah kesepakatan sementara, telah berubah menjadi sesuatu yang lebih. Rasa nyaman yang ia rasakan saat bersama Santi perlahan berubah menjadi perasaan yang lebih dalam, sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan. “Aku minta maaf, Lestari. Aku tahu aku salah. Tapi aku mohon, biarkan aku menjelaskan semuanya lebih lanjut. Aku nggak pernah berniat untuk menyakitimu,” kata Arman dengan penuh penyesalan. Lestari menatapnya dengan tatapan dingin. “Menjelaskan? Apalagi yang harus kau jelaskan, Mas? Semua ini sudah cukup jelas. Kau mengkhianatiku. Kau berpikir aku akan memaafkanmu begitu saja?” suaranya bergetar, kali ini emosi mulai menguasai dirinya. “Aku selalu setia padamu. Aku memberikan segalanya dalam pernikahan ini, tapi ini balasannya?” Arman mencoba mendekat, ingin meraih tangan Lestari, namun Lestari mundur, menghindari sentuhannya. “Jangan sentuh aku, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan ini.” Hening sejenak mengisi ruangan, ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Arman merasa semakin terpojok. Dalam hati, dia tahu bahwa hubungan mereka kini berada di tepi jurang, dan satu langkah lagi bisa menghancurkan semuanya. Arman yang merasa terpojok oleh situasi yang semakin rumit akhirnya mencoba menjelaskan niat sebenarnya di balik hubungannya dengan Santi. “Lestari, tolong dengarkan aku dulu. Hubunganku dengan Santi nggak seperti yang kau pikirkan. Ini semua hanya sebuah perjanjian antara aku dan Reza. Santi hanya melahirkan anak untukku, karena aku ingin kita bisa memiliki keturunan. Setelah bayi itu lahir, aku akan menceraikan Santi, dan anak itu bisa kita rawat bersama. Anak itu akan menjadi anak kita, Lestari.” Arman mencoba untuk menenangkan istrinya, berharap bahwa penjelasannya akan sedikit meredakan kemarahan yang dirasakan Lestari. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mendengar penjelasan Arman, mata Lestari semakin menunjukkan ketidaksetujuan dan kebingungan. Tatapannya menjadi semakin dingin, dan rasa sakit yang ia rasakan semakin mendalam. “Bagaimana mungkin, Mas?” kata Lestari dengan suara bergetar. “Bagaimana mungkin kau berpikir bahwa aku bisa merawat anak yang lahir dari perselingkuhan antara dirimu dengan wanita lain? Apa kau pikir ini semudah itu bagiku?” Arman terdiam sejenak, tak mampu menanggapi pertanyaan itu. Dia bisa melihat betapa dalam rasa kecewa Lestari. Ia tahu bahwa Lestari telah lama menginginkan seorang anak, tapi tidak pernah ia bayangkan bahwa cara yang ditempuhnya untuk mewujudkan keinginan itu akan menghancurkan pernikahannya. Lestari melanjutkan, suaranya lebih tenang namun penuh luka. “Arman, kau tidak mengerti. Aku selalu mendambakan memiliki anak dari rahimku sendiri, anak yang lahir dari cinta kita. Tapi sekarang, kau meminta aku untuk menerima dan merawat anak yang lahir dari wanita lain, dari hubungan yang seharusnya tidak pernah ada. Bagaimana kau bisa berpikir bahwa ini adalah solusi yang tepat untuk kita?” Arman berusaha mendekat, mencoba meraih tangan Lestari, tetapi Lestari kembali mundur, menolak sentuhannya. "Aku hanya ingin kita punya keluarga, Lestari. Aku tahu cara ini salah, tapi aku melakukannya demi kita." Lestari menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Keluarga? Ini bukan cara membangun keluarga, Mas. Kau malah menghancurkan apa yang kita miliki. Bagaimana aku bisa menerima anak itu tanpa teringat akan pengkhianatan ini setiap hari?” Mendengar itu, Arman merasa semakin hancur. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Lestari benar. Apa yang ia lakukan tidak hanya salah, tapi juga melukai perasaan wanita yang ia cintai. Namun, ia merasa sudah terlalu dalam terlibat dalam perjanjian ini dengan Reza dan Santi, dan sulit baginya untuk menemukan jalan keluar. “Aku... aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” kata Arman dengan suara lemah. “Aku hanya ingin semuanya kembali seperti semula. Aku ingin kita bahagia, Lestari.” Lestari menatap Arman, matanya penuh dengan campuran amarah, kekecewaan, dan kesedihan. “Kau ingin semuanya kembali seperti semula, tapi kau yang menghancurkan semuanya, Mas. Kau yang mengkhianatiku, dan sekarang kau berharap aku bisa menerima semua ini dengan tangan terbuka?” Arman tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata Lestari menggema dalam pikirannya, dan ia menyadari bahwa mungkin tidak ada jalan untuk memperbaiki kesalahan ini. Perlahan, Lestari menghela napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang bergejolak. “Aku butuh waktu, Mas,” kata Lestari akhirnya, dengan nada yang lebih tenang. “Aku butuh waktu untuk berpikir, untuk mencerna semua ini. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, apalagi menerima anak itu. Aku bahkan nggak yakin apakah pernikahan ini masih bisa diselamatkan.” Arman merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Tolong, Lestari, jangan pergi. Kita bisa bicarakan ini lagi. Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaikinya.” Namun, Lestari sudah memutuskan. Dia perlahan berjalan menjauh dari Arman, meninggalkan suaminya sendirian di ruang makan, tenggelam dalam keputusasaan dan rasa bersalah. Arman hanya bisa memandang kepergian istrinya, sadar bahwa hubungan mereka berada di ambang kehancuran, dan dia mungkin telah kehilangan satu-satunya kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Hari itu, meskipun Arman mencoba menghubungi Lestari berulang kali, Lestari tidak merespons. Dia butuh waktu sendiri, jauh dari segala hal yang mengingatkannya akan pengkhianatan ini. Dalam keheningan, Arman duduk sendiri di ruang makan, memandangi foto-foto yang sebelumnya dihempaskan Lestari ke lantai, dan menyadari bahwa tidak ada penjelasan yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang ia ciptakan. Kehidupannya yang semula tampak begitu sempurna, kini berubah menjadi serpihan masalah yang seolah tak mungkin diperbaiki. Perjanjian yang ia buat dengan Reza dan Santi awalnya hanya tampak sebagai solusi sederhana untuk masalah keturunan, tapi sekarang ia sadar bahwa keputusan itu telah menghancurkan lebih dari yang ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN