Bab 34. (Tanpa Perintah)

1353 Kata
Matahari siang yang semakin terik dan panas mengiringi mereka untuk mengikuti jejak berdarah itu. Entah sudah berapa lama Noval, Andro dan Tino berjalan. Hingga mereka bertiga melihat Awal dari jembatan gantung kayu, yang menghubungkan Pulau Hitam, dengan Pulau Kuning yang berada di sebelah kiri dari Pulau Hitam. Mereka bertiga lalu menghentikan langkah kakinya. Tepat di tepi jembatan setinggi 30 meter dari permukaan laut. Dengan panjang bentangan 100 meteran dari ujung ke ujung, dengan lebar hanya 1 meteran. Apakah benar SMS dari mereka itu, kalau tubuh Ketut berada di pulau itu?" tanya Noval entah kepada siapa. Sembari menunjukan jari telunjuk kanannya, ke arah pulau yang ada di depan penglihatannya. "Kita tidak tahu, SMS itu benar atau tidaknya? Kalau kita belum ke pulau itu," sahut Tino, lalu melangkahkan kakinya menapaki jembatan gantung kayu itu, dengan begitu santainya. Tanpa adanya rasa ketakutan dengan bergoyang nya jembatan gantung kayu itu, karena menerima beban mereka bertiga sekaligus. "Ya, sepertinya kita harus mencobanya ...," timpal Noval. Yang mengikuti langkah Tino, yang berada di depannya. Sedangkan Andro tampak berada di samping kiri Noval. Dengan tangan kanan memegang ke tali tambang yang menjadi batas antara jembatan gantung kayu, dengan area bebas di sekitarnya. Terlihat Andro ketakutan ketika berada di tengah jembatan gantung kayu, yang bergoyang karena menerima beban 3 orang sekaligus. "Val, aku takut. Kalau jembatan gantung kayu ini roboh dan jatuh ke bawah. Lalu nasib kita akan bagaimana ya?" ucap Andro dengan rasa was-was nya. "Kamu itu, selalu berpikiran yang bukan-bukan. Sudah jalan saja, lihat Tino sudah sampai tuh. AKU DULUAN YA ...!" ujar Noval, lalu berlari meninggalkan Andro yang semakin ketakutan. Karena jembatan gantung kayu itu. Bergoyang semakin kencang, akibat dari ulah Noval itu. "NOVAL ...! BISA-BISANYA KAU BERCANDA DI SAAT SEPERTI INI!!" teriak Andro dengan penuh kekesalannya. Terus berjalan sambil memegangi tali tambang jembatan gantung itu, dengan penuh ketakutannya. Setelah berjuang melawan rasa takutnya itu. Akhirnya Andro pun tiba di ujung jembatan itu. Dengan nafas yang memburu. Yang disambut oleh senyuman Noval dan Tino. Yang menunggunya sejak tadi. "Ndro, Andro. Kau itu sebagai seorang lelaki, benar-benar payah ...," ujar Tino, yang seakan meremehkan Andro. "BIARIN ...!" timpal Andro dengan ketusnya, dengan bibir yang di monyong kan ke arah Tino. Yang hanya tersenyum melihat ulah Andro itu. "Sekarang sebaiknya kita melanjutkan perjalan kita. Lihat jejak-jejak darah itu semakin tersamar. Sedangkan jejak sepatu bergambar tengkorak itu semakin jelas terlihat di tanah," tunjuk Noval, menunjuk ke arah jejak itu. Dengan tangan kanannya. Tampak jejak-jejak itu pun, terlihat berbekas di jalan setapak yang mengarah ke puncak bukit di Pulau Kuning. "Sepertinya, kita harus ke puncak bukit itu," ujar Tino, lalu melanjutkan kembali langkahnya. Mengikuti jejak-jejak berdarah itu. Yang diikuti oleh Noval dan Andro di belakang dirinya. Mereka bertiga terus berjalan menyelusuri jalan setapak yang melingkari tubuh bukit itu, untuk menuju puncaknya. Yang memiliki ketinggian 100 meteran dari permukaan laut. Setelah berjalan cukup lama. Akhirnya mereka bertiga tiba di puncak Bukit Kuning, yang hanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau. Puncak bukit itu memiliki panjang 100 meteran dan lebar 10 meteran. Akhirnya kita sampai juga," ujar Andro, seraya mengatur napasnya yang tak beraturan. Karena kelelahan. Sambil menggelayut di pundak Noval. Yang segera menepisnya. Dan berjalan kembali bersama Tino. Yang membuat Andro mau tak mau harus mengikuti langkah mereka berdua. Mereka akhirnya tiba di tengah puncak bukit itu. Dan mereka pun menemukan, sebuah lubang sedalam 3 meteran dengan lebar 2 meteran. Dan jejak berdarah itu pun berhenti di pinggir lubang itu. Saat mereka melihat ke arah lubang itu, dengan jarak hanya 30 cm dari bibir lubang itu. Terlihatlah tubuh Ketut yang sudah tak bernyawa. Yang sedang digerayangi dan dipenuhi oleh semut rangrang merah. Mereka bertiga pun tampak sangat terkejut sekali, menyaksikan keadaan itu. Keadaan yang sangat mengerikan bagi mereka. "Ini sangat mengerikan sekali!" ucap Noval, sambil menggelengkan kepalanya. Seakan ia tak percaya dengan apa yang tengah ia lihatnya itu. Adalah benar-benar sebuah kenyataan. "Ya, kita tidak mungkin bisa mengambil tubuhnya itu. Untuk kita kuburkan secara layak," ucap Tino, sambil mengerutkan dahinya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Andro kepada Tino, seakan orang yang sedang meminta kepastian. "Sepertinya, sudah tidak ada yang dapat kita lakukan di sini. Lebih baik kita kembali ke tempat semula," timpal Tino. Mereka bertiga berniat untuk pergi dari puncak bukit itu. Tapi sebelum mereka bertiga mengembalikan tubuhnya. Tiba-tiba saja terdengarlah suara seorang lelaki dari arah belakang mereka. "Memang kalian sudah tidak dapat melakukan apa pun di sini. Karena kalian bertiga harus mati di sini, di tanganku ini!" ucapnya, yang ternyata suara dari Malaikat Hijau. Yang tampak mengambil sebuah belati bergagang tengkorak hijau, dari dalam saku jubahnya. Dengan jarak dari mereka bertiga, sejauh 3 meteran. Mendengar suara dari Malaikat Hijau itu. Mereka bertiga lalu membalikan tubuhnya, nyaris secara bersamaan. Dan saat melihat wujud dari Malaikat Hijau, dengan kostumnya itu. Mereka bertiga pun terkejut bukan main. Terutama Andro. "SIAPA KAU SEBENARNYA!? JANGAN BERSEMBUNYI DIBALIK TOPENG DAN JUBAHMU ITU!" ucap Andro dengan kerasnya, sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya ke arah Malaikat Hijau. Yang masih menggenggam belati bergagang tengkorak hijaunya, dengan tangan kirinya. Padahal sebenarnya Andro itu seorang penakut. Dirinya berani berkata keras seperti itu kepada Malaikat Hijau. Katena ada Noval dan Andro. Akulah yang sudah membunuh dan mengirim dirinya ke neraka. Tempat di mana kalian bertiga, akan segera menyusulnya.!" timpal Malaikat Hijau, dengan tatapan dingin ke arah mereka bertiga. Lalu tertawa dengan penuh kebahagiannya. "Aku menjadi penasaran, dengan wajah dibalik topeng itu," ucap Tino. Sambil melangkahkan kakinya, mendekati Malaikat Hijau dengan begitu santainya. "No, kau itu ingin apa?" tanya Noval, dengan penuh selidik. "Aku ingin membuka topengnya itu," timpal Anto, dengan nada santai. Seolah tak takut sama sekali oleh Malaikat Cokelat. "Tapi, itu berbahaya ...," timpal Noval, dengan penuh kekhawatirannya. "Itu hanya berbahaya bagi kalian berdua. Tapi bagiku dirinya itu tidak berbahaya sama sekali," sahut Tino, semakin mendekati Malaikat Hijau, dengan langkah yang mantap. Melihat Tino yang semakin mendekatinya, Malaikat Hijau pun merasa senang. Karena ada yang berani menantangnya. Dirinya pun tertawa, sebelum berkata-kata. "Kau itu sangat percaya diri sekali, pergilah kau ke neraka!" ujar Malaikat Hijau. Sembari berlari dan menyerang Tino dengan belati bergagang tengkorak hijau, yang ia genggam di tangan kirinya. Terlihat Tino tenang, menghadapi serangan dari Malaikat Hijau. Dan ia pun terus melayani serangan dari Malaikat Hijau. Hingga akhirnya, Ia pun dapat mengunci gerakan dari Malaikat Hijau. Yang ia bekap dengan tubuhnya. "Jangan kau pikir, dengan belati itu. Kau dapat mengalahkan aku. Jika pada kenyataannya, akulah yang dapat mengalahkan dirimu ...," ucap Tino, sambil memukul tangan kiri Malaikat Hijau, yang sedang memegang belati bergagang tengkorak hijau, dengan tangan kirinya. Hingga belati bergagang tengkorak hijau itu pun terlepas ke tanah di puncak bukit itu. Malaikat Hijau tak mengira, jika Tino memiliki kemampuan bela diri yang cukup untuk melawan dirinya. "LEPASKAN AKU!" teriak Malaikat Hijau dengan kerasnya. Seraya berusaha melepaskan diri dari Tino. "Baiklah, akan ku lepaskan dirimu. Tapi setelah aku buka topeng mu." Tino pun lalu menarik topeng tengkorak hijau yang dikenakan oleh Malaikat Hijau, dengan tangan kanannya. Setelah berhasil menarik dan mengambil topeng tengkorak berwarna hijau itu. Tino lalu membuang topeng itu ke bawah bukit itu. Yang tampak melayang di udara, lalu terjatuh ke bawah bukit itu. Dan saat topeng tengkorak itu terbuka. Betapa terkejutnya mereka, ketika mengetahui siapa wajah dibalik topeng tengkorak hijau itu. "Dia! sopir mobil ELF yang pernah mengantar kita!" seru Andro, dengan penuh keterkejutannya. "Sepertinya, semuanya satu komplotan?" sambung Noval, dengan penuh keyakinannya. "Jadi kalian baru menyadarinya ya? Jika kami berkomplot, untuk menjebak dan membunuh kalian di Pulau Kematian ini!?" ujarnya, lalu berhasil melepaskan diri dari Tino. Yang segera berusaha menangkapnya kembali. Akan tetapi Malaikat Hijau berusaha melawannya, dengan sengitnya. Hingga akhirnya ia pun terjatuh ke bawah Bukit Kuning, dengan ketinggian 100 meter. "Tunggu Pembalasanku!!" teriak Malaikat Hijau, saat terjatuh. "Itu kalau kau masih hidup," sahut Tino berteriak. Lalu berbicara kepada Andro dan Noval. "Sepertinya, dia sudah tamat ...," ucap Tino, lalu menghampiri Andro dan Noval. "Lebih baik kita kembali ke pertigaan tadi, untuk memberitahu masalah ini kepada mereka," ujar Tino, lalu kembali melangkahkan kakinya. Yang diikuti oleh Andro dan Noval di belakangnya. Untuk menuruni bukit itu, menuju ke pertigaan di antara 3 pulau itu. Tempat mereka berjanji untuk berkumpul kembali. Dengan harapan semuanya akan baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN