Bab 59. (Terbakarnya Pondok Kayu)

1123 Kata
Sementara itu di Jakarta, Matahari sedang bersinar dengan teriknya di langit tanpa batas. Awan-awan di langit pun nyaris tak tampak. Seolah awan-awan belum tercipta di langit. Untuk melindungi penghuni Bumi dari teriknya Matahari. Ayu sedang berada di taman kampusnya. Dirinya sedang bersama sahabatnya Nava, yang memiliki wajah seperti orang Jepang, berkulit putih dengan tinggi 170 cm. Berambut sebahu, tergerai hitam. Mereka berdua sedang memakan siomay, disertai es jeruk. Sebagai pengisi perut mereka. Sedang asyik-asyiknya Ayu menikmati siomay itu. Tiba-tiba saja ponselnya yang ia letakkan di meja berdering, pertanda ada SMS yang masuk. "Siapa yang SMS?" tanya Ayu di dalam hatinya. Tak ingat dengan nomor telepon pengirim SMS, yang memang tak ia simpan itu. SMS itu merupakan SMS dari Malaikat Hitam. Yang memberitahu jika ada penyusup di antara para pemenang kuis itu. Ayu langsung saja menghentikan aktifitas menyantap siomay nya. Gadis cantik itu langsung saja mengambil ponsel besarnya itu. Lalu langsung menggunakan jari telunjuknya untuk mengaktifkan finger print yang berada pada layarnya. Ponselnya pun segera terbuka kuncian nya. Ayu langsung saja membuka SMS yang merupakan SMS dari Malaikat Hitam. Sepupu Andro itu pun mengerutkan keningnya, ketika membuka SMS itu. Karena dirinya tak paham sama sekali dengan isi dari SMS itu. "Dasar orang aneh, aku rasa ini nomor telepon penyelenggara kuis itu. Lebih baik ku telepon saja. Agar tak mengganggu ku dengan pesan-pesan tak jelas seperti ini," kata Ayu di dalam hatinya. Lalu menelepon nomor telepon itu. Yang anehnya tak dapat dihubungi sama sekali. Seakan nomor telepon itu hanya satu arah saja. Dapat menghubungi, akan tetapi tak dapat dihubungi oleh siapa pun. Ayu pun terlihat begitu kesal. Lalu ia pun memblokir nomor telepon dari Malaikat Hitam, agar dirinya tak dapat mendapat pesan-pesan aneh lagi. "Coba aku hubungi Andro atau Noval," kata Ayu di dalam hatinya. Gadis cantik itu lalu menghubungi Andro. Yang tak bisa dihubungi karena berada di luar jangkauan. Begitu juga dengan nomor telepon Noval. Yang membuat dirinya semakin kesal saja. Yang terlihat begitu jelas oleh Nava. "Begini lagi," kesal Ayu di dalam hatinya. Sambil menaruh ponselnya kembali di meja kantin itu. "Kamu itu kenapa, Yu?" tanya Nava, lalu meminum es jeruk. Dengan tatapan tajam kepada Ayu. "Tidak apa-apa," sahut Ayu, lalu melanjutkan melahap siomay nya. Malas untuk membahas, apa yang jadi masalahnya. "Tapi kenapa, wajahmu begitu kesal?" tanya Nava dengan penuh selidik. "Biasa, Andro belum bayar hutang," jawab Ayu, menutupi masalah yang sebenarnya dari sahabatnya. Yang terlihat sudah tak tertarik untuk membahas masalah Andro. Karena Andro sosok yang ia suka. Namun ditolak oleh Andro mentah-mentah. Yang tak ingin memiliki hubungan asmara, yang dinilainya ribet untuk saat ini. "Oh ...," ucap Nava lirih. Dengan pikiran membayangkan wajah Andro. Mereka berdua pun saling terdiam. Tak ingin membahas masalah apa pun. Lebih memilih untuk menikmati makan siomay mereka. *** Sementara itu di atas puncak bukit di Pulau Hitam. Tampak Malaikat Hitam dan Malaikat Merah, sedang mengawasi keadaan di sekitar pondok kayu itu, dengan teropong khusus yang mereka pegang dengan tangan kiri mereka. Mereka pun merasa heran, karena tidak terjadi kegaduhan di dalam pondok itu. Padahal Malaikat Hitam telah membuat provokasi, dengan mengirim SMS yang sudah diterima oleh para pemenang kuis itu termasuk Ayu, terkecuali Noval yang memang bukan pemenang asli kuis itu. "Kenapa, tidak terjadi keributan di dalam pondok itu. Padahal kau sudah mengirimi mereka SMS?" ujar Malaikat Merah, dengan penuh keheranannya. Dengan apa yang sudah terjadi. "Sepertinya, mereka sudah saling percaya satu dengan yang lainnya. Putih, benar-benar sudah menyatu dengan mereka ...," timpal Malaikat Hitam, dengan penuh kegeramannya terhadap sosok Malaikat Putih. "Jika begitu, kita harus menghabisinya. Bersama mereka sekalian," ucap Malaikat Merah, dengan perkataan yang berapi-api. Seraya membayangkan dirinya dapat membunuh korbannya, dengan melakukan perlawanan sengit. Bukan korbannya yang tak berdaya sama sekali. Seperti dirinya membunuh Tigor dalam keadaan tertidur. "Tapi di mana, Biru. Kenapa ia tidak melaksanakan tugasnya, sekarang?" tanya Malaikat Hitam kepada Malaikat Merah, dengan penuh selidik terhadap keberadaan Malaikat Biru. "Sepertinya, ia tengah asyik bermain game di ponselnya itu. Lebih baik aku telepon saja ia sekarang," ujar Malaikat Merah, lalu tersenyum tipis. Malaikat Merah lalu merogoh kantong di jubah merahnya, dengan tangan kanannya. Dari dalam kantong jubah merahnya itu. Ia pun lalu mengambil ponselnya, yang segera ia hubungkan dengan nomor Malaikat Biru. Dan sesaat kemudian, terjadilah telekomunikasi seluler independen di antara mereka berdua. "Halo ..., ada apa Merah?" tanya Malaikat Biru, lewat ponselnya. Dengan seribu tanda tanyanya. Karena tumben-tumbennya rekannya menelepon dirinya. "Kenapa, kau tidak menyulut api untuk membakar pondok kayu itu?" timpal Malaikat Merah, dengan ketusnya. "Tapi mereka belum masuk ke dalam pondok itu," sahut Malaikat Biru dengan polosnya. Karena saat para pemenang kuis itu masuk ke dalam pondok kayu itu. Dirinya sedang tertidur. Padahal para pemenang kuis itu masuk lewat pintu belakang. Jadi biar pun Malaikat Biru tak tertidur. Bisa dipastikan dirinya tetap tak akan mengetahui para pemenang kuis itu masuk ke dalam pondok kayu itu. "Kau saja yang keasyikan bermain game. Mereka sudah masuk ke dalam pondok itu sejak tadi. Mereka masuk melalui pintu belakang pondok itu," jelas Malaikat Merah, dengan penuh kekesalannya. "Celaka!" pekik Marco di dalam hatinya, dengan penuh kepanikannya. "Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?" tanya Marco, dengan penuh penasarannya. "Aku dan Pimpinan mengawasinya dari atas puncak Bukit Hitam. Aku juga melihatmu tengah berbaring di ilalang itu," ucap Malaikat Merah sambil meneropong ke arah Malaikat Biru. "Jika begitu, baiklah. Akan segera kulakukan, membakar mereka hidup-hidup ...," timpal Malaikat Biru, lalu mematikan sambungan telepon lewat seluler itu. Lalu menaruh ponselnya. Di dalam saku jubah birunya kembali. Malaikat Biru lalu bangkit dari rebahan nya. Ia lalu mengambil sebatang ilalang panjang yang telah kering. Lalu ia genggam dengan tangan kirinya. Ia pun lalu melangkahkan kakinya, sambil mengambil wadah mi berisi bensin, dengan tangan kanannya. Dirinya berjalan dengan begitu cepatnya, tanpa meninggalkan suara sedikit pun. Hingga dalam waktu singkat dirinya. Malaikat Biru tiba di depan pintu utama pondok kayu itu. Marco lalu menebarkan bensin dalam wadah mi itu. Tanpa diketahui oleh siapa pun. Ia pun lalu mundur beberapa langkah, sambil membuang cup mi itu. Setelah merasa cukup jauh. Marco lalu mengambil korek gas yang ada di saku jubahnya. Dan ia pun lalu menyulutkan api dari korek gas itu ke ilalang yang ia pegang di tangan kirinya. Saat ilalang itu telah tersulut. Ia pun melemparkannya ke arah pondok kayu yang telah dilumuri oleh bensin sejak dari tadi. Api dari ilalang kering itu pun segera menyambar bensin yang menyebar dan menempel di dinding kayu pondok kayu itu. Yang membuat api membesar dan menyebar dengan cepatnya. Mengurung pondok kayu itu dalam kobaran api. Dalam waktu singkat. "Selamat terbakar hidup-hidup. Dan saatnya aku untuk kabur ...!" ujar Malaikat Biru, lalu berlari meninggalkan pondok kayu yang sedang terbakar itu, dengan penuh kebahagiannya. Dan angannya, jika orang-orang yang ada di dalam pondok kayu itu. Akan mati, terbakar hidup-hidup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN