Bab 37. (Membunuh Atau Dibunuh)

1223 Kata
Sementara itu, Noval, Andro dan Tino. Yang terus berjalan sejak tadi. Akhirnya tiba juga di pertigaan Pulau Hitam, dengan ketegangan yang mereka sembunyikan. Mereka bertiga, menemukan Andi dan Aryo, sedang duduk di rerumputan hijau, dengan begitu santainya. Seolah tanpa beban sama sekali. Mereka bertiga lalu menghampiri Andi dan Aryo, yang langsung berdiri. Hingga mereka berlima seakan sedang berhadapan. Satu dengan yang lainnya. "Rupanya, kalian bertiga. Kami pikir itu, adalah mereka ...," ujar Aryo, yang langsung ditangkap dengan cepatnya oleh Noval. Tanpa penjelasan lebih lanjut dari Aryo. "Kalian pikir, kami itu. Mereka yang berjubah hijau dan bertopeng tengkorak hijau?" ucap Noval, dengan mengingat sosok Malaikat Hijau. Yang tadi menyerang mereka bertiga. "Rupanya, kalian diincarnya juga. Tapi yang kami temui tadi. Bukanlah manusia berjubah hijau dan bertopeng tengkorak berwarna hijau. Tapi merah," jelas Aryo secara detail. "Sepertinya mereka berwarna-warni, dengan 7 anggota dengan warna yang berbeda-beda. Yang warna hijau, sudah Tino kalahkan di atas puncak bukit di Pulau Kuning. Hingga ia pun jatuh ke bawah bukit itu, tanpa kami ketahui masih hidup atau sudah matinya? Bagaimana dengan yang merah?" tanya Noval kembali kepada Aryo. "Sayangnya dia dapat meloloskan diri," timpal Aryo, dengan nada pasrah. "Dan yang lebih mengejutkan lagi. Dibalik topeng tengkorak hijaunya itu. Ternyata dia itu sopir minibus itu," ucap Noval kembali. "Itu sudah aku duga. Orang-orang yang pernah kita temui itu. Itu adalah anggota dari 7 Malaikat Kematian. Sopir, Kernet, Lelaki Berewokan, Lelaki Berwajah klimis dan Nahkoda Kapal Laut itu. Semuanya baru berjumlah 5 orang. Ada 2 orang yang tidak di ketahui jati dirinya itu," ucap Aryo, sambil menatap Noval dengan tajamnya. Mereka pun lalu saling terdiam, satu dengan yang lainnya. Hingga terlihat Tomy yang tengah menggendong Thomas, tampak berjalan tergesa-gesa menuju ke arah mereka berlima. Dengan wajah yang terlihat begitu panik. "Cepat, kita kembali ke pondok. Thomas terkena serangan beracun," ucap Tomy terus berjalan dengan tergesa-gesa, meninggalkan mereka berlima untuk menuju ke pondok kayu itu. "Jangan-jangan ia terluka, oleh salah satu dari anggota 7 Malaikat Kematian?" ujar Aryo, lalu melangkahkan kakinya menuju ke arah pondok itu. Yang diikuti oleh semuanya. Dengan tergesa-gesa saja. Seakan sedang dikejar oleh sesuatu yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka saja. Mereka terus berjalan mengikuti langkah Tomy. Hingga Tomy pun tiba di pondok kayu itu terlebih dahulu, daripada yang lainnya. Ia lalu membuka pintu pondok itu, mendorongnya dengan kaki kanannya. Yang membuat pintu itu pun terbuka dengan lebarnya. Tomy langsung masuk ke dalam pondok kayu itu. Lalu meletakan tubuh Thomas di sofa panjang di ruang tamu, yang ada di pondok itu. Tampak Thomas semakin terlihat lemah. Karena racun dari belati itu. Telah menyebar ke seluruh aliran darahnya secara masif. Dengan kemungkinan selamet kecil. "Sepertinya, aku sudah tidak kuat lagi Tom ....," ujar Thomas, dengan lirihnya. Dengan tatapan mata yang hampa. "Kau harus bertahan, Mas ...!" ucap Tomy, berusaha menguatkan Thomas. Walaupun ia sendiri bingung, harus melakukan apa. Untuk menolong diri Thomas, yang tengah sekarat itu. Tomy benar-benar takut kehilangan Thomas. Walaupun mereka berdua tak memiliki hubungan darah sedikit pun. "Tuhan ... Tolong selamatkan dia," doa Tomy di dalam hatinya. Dengan menatap Thomas dengan segala kepiluan nya. Waktu pun seakan begitu melambat bagi Tomy. Dirinya ingin waktu berhenti saat itu juga. Agar ia tak memiliki batas waktu, untuk memikirkan cara menyelamatkan Thomas secepat mungkin. Akan tetapi semuanya tak mungkin. Karena waktu akan terus berjalan ke depan, sesuai dengan takdirnya. Noval dan yang lainnya, akhirnya tiba di tempat di mana Thomas dan Tomy berada. Semuanya tampak terdiam tak tahu harus berbuat apa. Ketika melihat keadaan Thomas yang semakin memburuk. Hanya Aryo, yang berusaha mengambil tindakan untuk menolong Thomas. Ia lalu mendekati Thomas yang masih tergeletak di atas sofa panjang itu. Aryo lalu berjongkok untuk melihat keadaan Thomas, agar lebih jelas mengamati keadaannya. Ia lalu memeriksa denyut nadi Thomas yang semakin melemah, ia rasakan. "Denyut nadinya semakin melemah, sepertinya kita hanya bisa menungguinya seperti ini saja ...," ujar Aryo, sambil melepaskan pegangan tangannya, pada nadi Thomas. "Andai di antara kita ada yang berprofesi sebagai dokter. Pasti Thomas akan dapat tertolong," ucap Tomy, dengan penuh emosinya. Seakan tak menerima dengan keadaan yang terjadi. "Kau itu jangan menyederhanakan masalah ini. Kalaupun di antara kita ada yang menjadi seorang dokter yang profesional pun. Aku rasa itu tetap percuma. Karena di sini bukanlah rumah sakit, yang lengkap dengan segala peralatan medisnya dan obat-obatan nya. Apalagi ini masalah racun, yang harus segera di tanganin," ucap Aryo, dengan tatapan mata ke arah Thomas yang tengah sekarat. "Tapi paling tidak, Thomas tidak akan separah ini. Ia akan mendapatkan pertolongan pertama itu," timpal Tomy. Serasa tak ingin kehilangan Thomas sama sekali. "Kau itu benar-benar berpikiran praktis. Coba kau analisa sendiri keadaan pulau ini. Apakah ada rumah sakit terdekat di sekitar sini?" ucap Aryo, yang membuat Tomy hanya terdiam dan berpikir dengan pikirannya itu. "Dia benar juga, dokter tanpa obat dan peralatan medis. Sepertinya tidak ada gunanya juga di sini. Aku jadi curiga terhadap Aryo, kenapa ia bisa mengetahui tentang segala hal ya?" ujar dan tanya Tomy di dalam hatinya. Terlihat Thomas yang semakin melemah akhirnya angkat bicara. "Sudahlah kalian berdua jangan meributkan masalah ini .... Aku ingin kalian tenang dan bersatu dalam menghadapi masalah ini," ucap Thomas lirih, dengan mata yang mulai menutup, secara perlahan-lahan. Seakan ingin menyampaikan pesan terakhirnya kepada teman-temannya. "Mas ...! bukalah matamu!" kata Tomy, lalu berjongkok di samping Aryo. "Aku bahagia bisa mendapatkan teman seperti kalian di Pulau Kematian ini. Walaupun itu hanya sebentar. Tapi aku bahagia, mati dikelilingi oleh orang-orang yang peduli denganku. Terutama kau Tom, dirimu itu sudah aku anggap sebagai saudaraku. Selamat .... Tinggal ... Semuanya ...," ujar Thomas dengan lirihnya. Setelah mengucapkan akan hal itu. Akhirnya Thomas tak berbicara lagi. Ia telah menghembuskan napas terakhirnya. Dikelilingi oleh teman-teman yang baru beberapa hari ia kenalnya itu. Jantungnya telah berhenti berdetak, begitu juga dengan nadinya. Perlahan-lahan tubuhnya pun mendingin, karena aliran darahnya berhenti mengalir di tubuhnya secara total. "Sepertinya, ia sudah pergi....," ucap Aryo, lalu bangkit dari jongkoknya. "Selamat jalan Mas ...," ujar Tomy, lirih ke arah telinga kanan Thomas. Thomas pun lalu bangkit dari jongkoknya. Dan menghampiri yang lainnya "Sepertinya, kita sudah tidak memiliki pilihan lain. Kecuali membunuh mereka, atau kita yang akan dibunuh oleh mereka," kata Tomy, dengan tatapan penuh kebencian dan dendamnya. Terhadap 7 Malaikat Kematian. Atas kematian Thomas. "Ya, pilihan kita hanyalah itu. Membunuh atau dibunuh oleh mereka," sambung Tino, dengan penuh kegeramannya. "Tapi, bukannya sebaiknya kita mencari jalan keluar dari Gugusan Pulau Kematian ini? Dari pada harus melakukan hal itu," ucap Andro, dengan ringannya. "Itu, kalau ada pilihan itu. Tapi sayangnya pilihan itu, sepertinya tidak ada. Kita hanya bisa keluar dari gugusan Pulau Kematian ini, dengan kapal laut yang membawa kita kemari," ujar Aryo, dengan logikanya. "Kuncinya ada pada kapal laut itu, ya?" sambung Noval. "Kalaupun kapal laut itu ada atau kita temukan. Lalu siapa yang akan mengemudikan kapal itu, untuk mengarungi laut?" ucap Aryo, berusaha berpikir realitas. "Kau benar juga, yo? Kau memang yang paling analis di antara kami semua," ucap Noval. Lalu tersenyum untuk melepaskan ketegangan yang tengah mendera dirinya. "Itu, karena aku terbiasa berpikiran analis seperti ini. Sudah jangan banyak bicara lagi. Lebih baik kita mencari cangkul, untuk membuat kubur bagi Thomas," usul Aryo. Aryo lalu melangkahkan kakinya. Keluar dari dalam pondok kayu itu, mencari cangkul. Untuk membuat lubang kubur bagi Thomas. Langkah Aryo pun lalu diikuti oleh yang lainnya. Mereka kelilingi halaman yang mengelilingi pondok kayu itu, bersama Matahari yang tak sepanas tadi lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN