Bab 40. (Kematian Malaikat Hijau)

1185 Kata
Malaikat Cokelat terlihat sedang berada di puncak Bukit Cokelat. Sedang meneropong ke arah Laguna Kematian berada. Di mana Pulau Hitam, Pulau Merah dan Pulau Kuning berada dalam satu jajaran. Dirinya nampak tengkurap. Agar keberadaannya tak diketahui oleh siapa pun. Dengan tubuh yang tersembunyi di rerumputan hijau setinggi 10 cm. Sejak dari tadi ia memperhatikan pergerakan dari para pemenang kuis yang tersisa, dengan begitu penuh keseriusan. Dengan bermain-main di dalam pikirannya sendiri. "Aku tak menyangka sama sekali. Jika para pemenang kuis itu, tak selemah dengan yang terlihat. Ini sebuah kebetulan yang menguntungkan. Agar 7 Malaikat Kematian berakhir lebih cepat. Dan tak memakan korban lagi," ujar Malaikat Cokelat di dalam hatinya, dengan penuh kebahagiannya. "Sepertinya, aku harus mempercepat rencana ku," kata Malaikat Cokelat, masih berbicara sendiri di dalam hatinya. Malaikat Cokelat terus menggunakan teropong khususnya untuk memantau mereka. Walaupun 6 pemenang kuis itu telah masuk ke dalam pondok kayu itu. Dengan penuh keseriusannya. Hingga tak menyadari sama sekali. Kehadiran Malaikat Hitam, yang sudah berdiri di belakangnya. "Cokelat, kau sedang mengamati apa? Mereka semua sudah masuk ke dalam pondok kayu itu," pertanyaan dengan nada datar itu. Telah membuat Malaikat Cokelat tersadar dari benaknya. Malaikat Cokelat langsung saja menghentikan aktifitasnya. Menaruh teropongnya di dalam saku jubah cokelatnya. Lalu berdiri di samping Pimpinannya. Dengan bersikap sedatar mungkin, agar Malaikat Hitam tak mencurigai dirinya. "Ternyata kau, Pimpinan. Kau kucari, tapi tak bisa kutemui," sahut Malaikat Cokelat lalu tersenyum di balik topeng tengkorak cokelatnya. Hingga membuat pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu penasaran bukan main terhadap Malaikat Cokelat. "Memang ada perlu apa kau mencari ku?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh selidik terhadap anak buahnya itu. "Aku ingin menanyakan sesuatu hal," timpal Malaikat Cokelat, seakan sedang memancing Pimpinannya. "Menanyakan sesuatu?" Malaikat Hitam pun penasaran, bukan main. "Apa kau belum bertemu Merah, di tempatmu?" tanya Malaikat Cokelat. "Aku belum pulang. Aku dari tadi mengawasi mereka. Ternyata mereka dapat membunuh Kuning, dan mungkin juga hijau," tutur Malaikat Hitam dengan penuh kegeramannya terhadap para pemenang kuis itu. "Itu sudah takdir mereka," balas Malaikat Cokelat, dengan entengnya. "Itu bukan takdir. Tapi mereka lemah ...," bantah Malaikat Hitam. "Terserah kau saja," Malaikat Cokelat lalu tersenyum sinis kepada pimpinannya itu. "Sekarang apa yang kau ingin tanyakan kepada diriku?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh telisik kepada anak buahnya. Kembali pada pembicaraan awal mereka. "Aku hanya ingin bertanya. Apa kau tahu, kapal siapa yang datang dan pergi dari Pulau Biru," timpal Malaikat Cokelat dengan lugasnya. Yang membuat Malaikat Cokelat begitu terkejut mendengarnya. Deg! Jantung dari pimpinan 7 Malaikat Kematian itu pun. Berdegup dengan begitu kencangnya. Mendengar pertanyaan dari Malaikat Cokelat. "s**l! dia mengetahuinya. Tapi aku harus tetap tenang, jangan sampai dirinya atau siapa pun tahu. Jika Malaikat Biru ada dua," kata Malaikat Hitam di dalam dirinya, berusaha untuk menenangkan dirinya. "Mungkin itu hanya fatamorgana mu saja," tutur Malaikat Hitam, berusaha mengelak atas pertanyaan anak buahnya itu. "Ingin mencari alasan," kata Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Sebelum dirinya merespons perkataan Pimpinannya. "Tak mungkin itu hanya fatamorgana ku saja. Merah pun menyaksikannya dari tempatnya," papar Malaikat Cokelat, yang membuat Pimpinan 7 Malaikat Kematian itu mati kutu. "Bagaimana mereka bisa tahu. Padahal aku sangat hati-hati sekali selama ini?" tanya Malaikat Hitam di dalam hatinya. Dengan penuh kebingungannya. padahal ia sudah yakin. Jika keberadaan kapal yang membawa kembali Marco ke gugusan kepulauan kecil. Yang juga membawa Mario pulang ke daratan Pulau Jawa, tak ada yang mengetahuinya sama sekali. "Mungkin itu kapal nelayan yang nyasar. Apa kau lupa, bagaimana Putih terdampar di sini. Bukannya ia seorang nelayan?" alasan Malaikat Hitam pun berbicara. Berusaha menyakini anak buahnya itu. "Dasar .... Pandai mencari alasan," kata Malaikat Cokelat di dalam hatinya, dengan penuh kekesalannya. "Ya, mungkin hanya kapal nelayan nyasar," dengus Malaikat Cokelat. Yang sebenarnya kesal dengan Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu. Yang selalu bisa menghindari pernyataannya. "Sudahlah jangan membahas hal itu lagi. Lebih baik kita mencari Hijau. Untuk memastikan dia sudah mati atau masih hidup," Malaikat Hitam pun lalu melangkahkan kakinya, menuruni Bukit Cokelat. Untuk mencari keberadaan Malaikat Hijau. "Tak ada pilihan lainnya," kata Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Sambil mengikuti langkah pimpinannya. Bersama Matahari yang semakin condong ke barat saja. Seolah ingin menuntun 2 malaikat kematian itu, untuk menemukan Malaikat Hijau. *** Senja pun akhirnya menerpa gugusan Pulau Kematian. Matahari tampak memerah di langit barat. Awan-awan pun terlihat menggantung, di langit yang seakan telah kehilangan warnanya. Tampak di pantai di sebelah kanan, tempat jatuhnya Malaikat Hijau dari atas bukit Pulau Kuning. Malaikat Hijau sedang merangkak di antara rerumputan dan pantai Pulau Kuning. Sepertinya ia mengalami luka yang sangat parah. Hingga ia pun tak dapat berdiri, apa lagi untuk berjalan seperti biasanya. Bisa dibilang keadaannya. Hidup segan mati pun enggan. "s**l ...! Aku bisa terluka separah ini ...," ucapnya lirih, berbicara sendiri. Tentang keadaan dirinya. Malaikat Hijau terus merangkak dengan sekuat tenaganya. Tanpa jelas ke mana tujuan yang sebenarnya. Hingga ia pun tak menyadari jika Malaikat Hitam dan Malaikat Cokelat telah ada di belakang dirinya. Yang melihatnya dengan tatapan kosong. "Ternyata kau masih hidup, Hijau?" ucap Malaikat Hitam, terus melangkahkan kakinya. Lalu berhenti tepat di hadapan Malaikat Hijau, yang berhenti merangkak. Sedangkan Malaikat Cokelat berhenti di belakang Malaikat Hijau. "Pimpinan, bawalah aku ke markas kita. Obati lah diriku ...," ucap Malaikat Hijau, memohon kepada Pimpinannya. Dengan menatap tajam kepada Pimpinannya, dari balik topeng tengkorak Hijaunya. Dengan wajah yang menadah ke atas. Seakan dirinya benar-benar membutuh bantuan dari Pimpinan 7 Malaikat Kematian. "Dirimu itu sudah tidak dapat ditolong, dirimu itu sudah terluka terlalu parah ...," timpal Malaikat Hitam Lalu mengambil belati bergagang tengkorak hitam, dengan tangan kirinya. Dari dalam jubah hitamnya. "Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Malaikat Hijau, dengan keputusasaannya. Merasa dirinya sudah tak ada harapan untuk sembuh. Dan tak berguna sama sekali. "Kau hanya tinggal diam saja, aku akan mengantarmu ke neraka ..., untuk menemui Malaikat Kematian," jawab Malaikat Hitam, sambil berjongkok dan menusukan belati bergagang hitamnya ke punggung Malaikat Hijau. Hingga yang tersisa hanya kepala dari belati bergagang tengkorak hitam itu saja. "Kau terlalu kejam, Pimpinan ...," ujar Malaikat Hijau, dengan suara yang sangat lirih sekali. Tampak Malaikat Hitam lalu berdiri kembali. Lalu ia pun mengarahkan kaki kanannya. Ke arah kepala belati tengkorak hitamnya. Lalu ia pun menginjak kepala belati tengkorak hitam itu. Hingga lenyap ke dalam tubuh Malaikat Hijau. Yang membuatnya Malaikat Hijau, mati oleh ulah pimpinannya sendiri. "Jika aku tidak kejam, maka tidak mungkin aku menjadi Pimpinan kalian. Itulah akibat dari kecerobohan mu dalam menjalankan tugasmu, lagipula aku itu hanya mempermudah dirimu untuk mati. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku ...," ujarnya, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu seorang diri, tanpa mengajak Malaikat Cokelat bersamanya. Setelah Malaikat Hitam pergi. Malaikat Cokelat lalu berjongkok di samping Malaikat Hijau. "Maafkan aku yang tidak dapat menolong dirimu, Hijau .... Aku tidak menyangka dia benar-benar sekejam ini. Kepada anak buahnya," tutur Malaikat Cokelat, seakan berbicara dengan Malaikat Hijau. Ia pun lalu berdiri dari jongkoknya. "Selamat tinggal Hijau ..., semoga kau damai di sana," Malaikat Cokelat lalu melangkahkan kakinya. Setelah mengucapkan akan hal itu. "Aku harus menceritakan hal ini kepada Putih ...," tutur Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Lalu meninggalkan tempat itu, meninggalkan mayat Malaikat Hijau begitu saja. Yang hanya ditemani oleh angin dan Matahari senja. Hingga membusuk nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN